Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
TIBA-TIBA saja ivermectin naik daun. Nama obat ini dibicarakan di mana-mana, terutama di India, Indonesia, dan Malaysia. Konon, obat ini obat ajaib; bisa mengobati covid-19. Berbagai bukti disodorkan, mulai anekdot hingga studi ilmiah. Di India, sejumlah berita mengklaim bahwa penurunan drastis kasus covid-19 di negara tersebut ialah akibat penggunaan ivermectin. Memang ivermectin marak digunakan di sana saat gelombang kedua. Bahkan di Goa India, setiap orang sempat dibagikan obat ini dan diminta mengonsumsinya selama lima hari, terlepas mereka terinfeksi covid-19 atau tidak.
Keampuhan ivermectin, juga diklaim studi laboratoriun (in vitro). Obat itu dilaporkan dapat mematikan atau mengurangi replikasi virus covid-19. Sejumlah studi manusia (in vivo) juga mendukung. Salah satunya ialah studi di India, yang melaporkan orang yang mengonsumsi 2 dosis ivermectin mengalami penurunan kemungkinan terinfeksi covid-19 sebesar 73%. Maraknya isu khasiat obat itu juga dipicu pernyataan sejumlah figur publik dan politikus.
Di Indonesia, Erick Thohir, Moeldoko, dan Susi Pudjiastuti menggembar-gemborkan manfaat ivermectin. Lengkap sudah, ivermectin didukung studi in vitro, in vivo, dan testimoni figur publik dan politikus. Obat ini pun jadi masyhur. Harganya meningkat berkali-kali lipat. Karena itu, jangan heran kalau di berbagai apotek, obat ini sudah hilang.
Evidence-base medicine
Dalam bidang kedokteran, keputusan bermanfaat atau tidaknya suatu obat mesti didasarkan pada penilaian ilmiah yang sistematis, terbaru, dan berbasis bukti yang dikenal sebagai evidence-base medicine. Setiap keputusan medis mesti didasari bukti-bukti ilmiah yang relevan. Bukan didasarkan pada estimasi, perkiraan, pendapat pribadi, ataupun berita-berita yang berseliweran di media massa atau media sosial.
Bukti ilmiah itu memiliki gradasi yang berbeda. Tingkatan tertinggi dan dianggap paling sahih ialah hasil kaji ulang sistematis (systematic review) lewat metaanalisis. Tingkatan di bawahnya ialah hasil yang didapat dari studi acak terkontrol (randomized controlled trial) dan studi observasi (observational study). Tingkatan terendah ialah pendapat ahli (expert opinion). Yang dimaksud pendapat ahli ialah opini pakar yang tidak disertai bukti uji standar.
Testimoni atau pengalaman pribadi individu tidak termasuk evidence-base. Jangankan testimoni individu atau figur publik, testimoni seorang ahli medis sekalipun tidak dianggap evidence-base apabila testimoni tersebut tidak didasarkan pada studi dengan metodologi standar.
Gradasi evidence-base ini sangat penting karena memberi petunjuk tentang hasil studi mana yang sebaiknya digunakan. Misalnya, hasil kaji ulang sistematis mengatakan obat A tidak bermanfaat sementara pendapat ahli mengatakan obat tersebut bermanfaat maka yang dipilih ialah hasil kaji ulang sistematis. Demikian pula, meski studi randomized control trial menyimpulkan obat B bermanfaat, sedangkan hasil kaji ulang sistematis mengatakan obat tersebut tidak bermanfaat, yang akan digunakan ialah hasil systematic review.
Yang dilematis bahwa walaupun telah dilaksanakan secara ketat, studi klinis tetap memiliki potensi ketidakakuratan atau bias. Penyebabnya bermacam-macam. Di antaranya, tidak adanya kontrol dalam studi, ketidaktepatan menyeleksi dan mengategori subjek, adanya faktor perancu, kesalahan melakukan ekstrapolasi antara studi in vitro dengan in vivo, kekeliruan statistik, dan kesalahan pengambilan kesimpulan.
Akibat bias, hasil sebuah studi dapat menjadi tidak tepat, tidak akurat, dan tidak relevan. Bahkan, tidak jarang hasil sebuah studi bertentangan dengan studi lain. Dalam kondisi ini, ketepatan memilih hasil studi yang paling relevan berdasar evidence-base menjadi kunci.
Evidence-base dapat berubah dari satu waktu ke waktu. Obat yang saat ini tidak bermanfaat berdasar evidence-base yang ada mungkin bermanfaat beberapa bulan kemudian akibat ditemukannya bukti klinis baru. Demikian pula sebaliknya. Perkembangan evidence-base dinamis. Tergantung bukti-bukti klinis baru yang tersedia.
Bukti conflicting
Sejatinya, ivermectin ialah obat antiparasit. Lebih khusus lagi, obat untuk parasit cacing, terutama jenis strongyloidiasis dan onchocerciasis. Bentuk cream-nya, digunakan untuk mengobati penyakit kulit scabies. Selain pada manusia, obat itu digunakan juga sebagai antiparasit pada hewan. Dalam semua formularium obat, ivermectin diindikasikan sebagai obat antiparasit. Hingga kini, belum ada satu pun lembaga otorisasi obat yang mengindikasikan fungsi lain obat ini. FDA, MHRA, dan WHO mengambil posisi yang sama, bahwa obat ini ialah obat antiparasit. Bukan antivirus.
Ivermectin pertama kali ditemukan 1975. Dosis yang biasa digunakan bervariasi antara 9 mg dan15 mg pada orang dewasa. Diminum sebagai dosis tunggal 1 atau 2 hari saja dan dapat diulang setelah 3-12 bulan. Bila dikonsumsi berlebihan, obat itu dapat menimbulkan efek samping, seperti ganguan kulit, muntah, diare, pembengkakan wajah dan kaki dan gangguan saraf. Karenanya, obat ini tergolong obat keras. Penggunaannya harus dengan resep dokter.
Spekulasi manfaat ivermectin terhadap covid-19 mulai muncul dan berkembang tahun lalu, yaitu setelah peneliti Australia melaporkan hasil studi laboratoriumnya. Dalam studinya, Biomedicine Discovery Institute Australia melaporkan ivermectin dapat membunuh covid-19 dalam 48 jam. Selain studi laboratorium, belasan studi manusia (in vivo) juga mendukung penggunaan ivermectin.
Gabungan semua studi (systematic review) tersebut menunjukkan ivermectin bermanfaat bagi covid-19. Efektivitasnya cukup besar, dapat mencegah infeksi covid-19 86%, dan menurunkan risiko kematian 62% jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengonsumsinya. Hasil itu tentu sangat menggembirakan.
Sayangnya, banyak ahli mengklaim studi-studi pro-ivermectin memiliki banyak kelemahan. Pada studi in vitro, misalnya, dosis ivermectin yang digunakan sangat besar. Berpuluh kali lipat dari dosis maksimal yang dibolehkan pada manusia. Penggunaan dosis besar demikian pada manusia tentu sangat berbahaya. Karena faktor ini, ahli menyimpulkan hasil studi in vitro ini tidak dapat diekstrapolasi ke manusia.
Studi-studi pro-ivermectin yang dilakukan pada manusia pun dianggap tidak valid dan relevan. Alasannya, metodologinya tidak adekuat dan tidak terstandar. Jumlah sampelnya sedikit, dosis dan jadwal pemberian tidak konsisten, penelitian tidak dilakukan secara tertutup (blind), saat studi, pasien juga mengonsumi obat lain seperti hydroxychloroquin, azithromycin, dan kortikosteroid, tingkat keparahan pasien tidak jelas, serta luaran studi tidak tepat.
Selain itu, sebagian hasil studi itu tidak menjalani proses peer-review ilmiah atau dipublikasi pada jurnal ilmiah standar. Karena itu, para ahli menganggap validitas studi-studi itu tidak adekuat.
Lebih dilematis lagi, karena studi-studi lain justru tidak menemukan efek bermakna ivermectin.
Gabungan studi ini (kaji ulang sistematis) menyimpulkan ivermectin tidak menurunkan tingkat kematian covid-19, lama perawatan, dan pembersihan virus dari pasien. Intinya, ivermectin tidak bermanfaat dalam pengobatan covid-19. Bahkan, dikhawatirkan, pemberian obat di luar dosis standar akan memberikan efek negatif dan mengganggu efek obat-obatan lain yang dikonsumi pasien.
Adanya berbagai hasil studi yang tidak konsisten, dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya, menyebabkan WHO dan lembaga otoritas kesehatan lainnya menganggap evidence-base ivermectin conflicting alias tidak solid dan tidak konsisten. Mungkin bisa bermanfaat, mungkin bisa juga berbahaya. Padahal, untuk obat yang akan digunakan bagi populasi luas, kualitas evidence-base obat harus solid dan adekuat. Tidak setengah-setengah.
Karena kondisi itu, WHO mengambil sikap netral. Tetap tidak mengindikasikan ivermectin sebagai obat covid-19, tetapi mengizinkan penggunaan obat itu untuk uji klinis lebih lanjut. WHO menganjurkan, dilakukan uji klinis dengan menggunakan standar pengujian yang adekuat; metodologi tepat, jumlah sampel besar, dilakukan secara random dan tertutup, ujinya spesifik terhadap obat ini, serta dengan luaran yang jelas.
Intinya, WHO ingin evidence-base dari uji klinis yang lebih standar dan lebih adekuat. Semua kelemahan-kelemahan studi sebelumnya perlu ditambal dan diperbaiki agar kualitas evidence-base-nya valid dan tepercaya. Saat ini, berbagai institusi di berbagai penjuru dunia melakukan uji coba obat ini. Di Indonesia pun demikian; uji coba obat sedang berlangsung pada berbagai rumah sakit di berbagai wilayah. Hasilnya? Belum dapat dipastikan kapan hasilnya akan dirilis.
Hindari ujug-ujug
Pemerintah dan politikus perlu mengurangi kegandrungan untuk buru-buru mengumumkan khasiat suatu obat jika evidence-base-nya masih samar-samar. Kesannya, mereka melakukan manuver politik. Ironisnya, fenomena itu sudah berulang. Tahun lalu, pemerintah mempromosikan dan mengaku telah mengimpor jutaan stok avigan. Padahal, waktu itu evidence-base avigan tidak jelas. Ujung-ujungnya, avigan ditinggalkan.
Hal yang sama berulang pada ivermectin ini. Dengan informasi evidence-base terbatas dan tidak adekuat, sejumlah pejabat tampil mempromosikan efek ajaib obat ini. Akibatnya, masyarakat bingung dan rush mencari obat. Harga ivermectin jadi meroket dan stoknya menghilang. Sebagian masyarakat mengonsumsi obat ini diam-diam. Berharap mereka terlindungi dari penyakit covid-19. Padahal sejatinya, kondisinya tidak sesederhana itu.
Teman sejawat dokter perlu menahan diri. Jangan ujug-ujug. Proses pencapaian evidence-base yang komprehansif masih sementara berjalan untuk obat ini. Tidak perlu tergesa-gesa meresepkan ivermectin saat evidence-base-nya masih belum solid dan masih dalam investigasi. Kalaupun terpaksa harus meresepkan, dosis, skedul, dan indikasi pemberian harus jelas dan standar, bukan berdasar asumsi belaka, karena ujung-ujungnya, keselamatan pasien menjadi taruhan.
Masyarakat pun perlu paham bahwa hingga saat ini, WHO dan lembaga otoritas kesehatan lain belum mengindikasikan ivermectin sebagai obat anticovid-19. Obat ini, indikasinya obat parasit, terutama untuk cacing. Saat ini, uji klinis dilakukan di berbagai institusi, termasuk di Indonesia. Tunggu saja hasilnya. Bila hasilnya baik dan memenuhi standar, tentu Badan POM akan menyetujui dan merekomendasikannya. Jadi, jangan rush membeli obat ini. Kecuali memang kita cacingan dan kita ingin mengobatinya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved