Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Kembali Belajar

Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
28/6/2021 05:05
Kembali Belajar
(Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma)

AKHIR-AKHIR ini, salah satu isu paling hangat yang dibicarakan di ranah pendidikan ialah tentang pembelajaran tatap muka (PTM) pada pertengahan Juli 2021. Persebaran covid-19 yang semakin mengkhawatirkan--sampai 26 Juni 2021 tercatat 2.093.962 kasus terkonfirmasi positif dengan angka sembuh 1.842.457 dan kasus kematian sebesar 56.792--merupakan ancaman serius bagi kesanggupan Indonesia untuk memberi respons yang sepadan. Ditambah kekhawatiran akan mutasi virus yang melahirkan varian yang dianggap semakin berbahaya, rencana pemerintah untuk mendorong PTM menjadi menarik untuk didiskusikan.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah memberikan berbagai petunjuk dan aturan terkait rencana PTM. Sinyalemen untuk melakukan PTM sebenarnya telah disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makarim sejak akhir Maret 2021. Seperti dikutip beberapa media massa, Menteri Nadiem menyatakan bahwa semua sekolah diharapkan telah melakukan pembelajaran tatap muka pada Juli mendatang.

Perdebatan yang mengiringi rencana pembelajaran tatap muka melibatkan berbagai pihak yang tidak hanya datang dari kalangan pendidikan. Berbagai sudut pandang dan pertemuan/persilangan ide-ide yang menarik pun mengemuka. Namun, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan.

 

Dikotomi dan hambatan

Kalangan yang mendukung segera diberlakukannya PTM umumnya membangun basis argumen atas dasar beberapa pandangan yang mewakili kekhawatiran atas dampak buruk pembelajaran jarak jauh/daring, seperti potensi learning loss/lost generation atau kegagalan pendidikan karakter. Selain itu, mengemuka alasan terkait soal degradasi motivasi, kesulitan pengawasan pembelajaran oleh orangtua/wali murid, dan kerentanan terhadap meningkatnya praktik kekerasan pada anak.

Desakan PTM juga muncul dari kebutuhan nyata terkait pembelajaran bagi (misalnya) anak berkebutuhan khusus, serta kebutuhan praktik dan kehadiran fisik untuk mata pelajaran/mata kuliah atau jenis pendidikan tertentu yang dipandang tak tergantikan oleh pembelajaran daring.

Adapun kalangan yang ragu atau bahkan dengan tegas menolak PTM segera dilakukan biasanya menggunakan data persebaran virus dan mengangkat isu kesehatan dan keselamatan pelaku pendidikan sebagai isu utama yang tak boleh dikalahkan oleh kebutuhan kemajuan pendidikan. Isu kesiapan sekolah/lembaga pendidikan terutama terkait infrastruktur—sebagai syarat kapasitas respons atas pandemi di lembaga pendidikan—juga menjadi alasan yang muncul dalam menimbang kesiapan PTM.

 

Pro-kontra yang muncul sesungguhnya dapat dipahami dan didukung berbagai data dan fakta yang mendukung argumen masing-masing. Namun, dominasi cara pandang yang dikotomis dan mempertentangkan antara isu kesehatan/keselamatan dan 'kemajuan pendidikan' sesungguhnya tidak membantu dalam melihat persoalan pengelolaan pendidikan di masa pandemi secara lebih jernih dan menyeluruh. Menimbang fakta bahwa covid-19 tidak akan segera menghilang—sehingga diperlukan kerelaan dan penyesuaian untuk 'berdamai' dengannya—jelas tak bisa lagi dihadapi dengan memisahkan persoalan kesehatan/keselamatan dengan upaya memajukan pendidikan. Karena jaminan kesehatan/keselamatan atas pelaku pendidikan diperlukan bagi upaya memajukan pendidikan. Juga upaya memajukan pendidikan adalah jalan bagi munculnya tatatan baru kesehatan/keselamatan para pelaku pendidikan.

Jaminan dan keluasaan yang diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui beberapa kebijakan yang memungkinkan para pelaku pendidikan memutuskan pilihan mereka terkait PTM, perlu dibaca sebagai upaya untuk melihat persoalan pendidikan di masa pandemi secara lebih komperehensif dan jernih. Namun, dalam pelaksanaannya, memutuskan pengelolaan pembelajaran di masa pandemi, apakah secara tatap muka atau tidak, daring atau luring, tanpa beranjak dari logika dikotomis antara kesehatan/keselamatan dan 'kemajuan pendidikan' bukanlah soal mudah.

 

Mindset dan kapasitas bersiasat

Setidaknya ada dua masalah mendasar yang masih perlu diperhatikan, yaitu persoalan mindset atas pandemi dan kapasitas/kesediaan untuk belajar. Tidak mudah mengubah cara berpikir bahwa pandemi covid-19 adalah sebuah keniscayaan; fenomena yang tak terhindarkan (inevitable), harus dihadapi (non-voluntarily), dan berpeluang besar untuk tak kembali pada situasi sebelumnya (irreversible). Karena itu, pilihan terbaik untuk meresponsnya ialah bagaimana menerima situasi pandemi sebagai bagian dari kehidupan (embrace the pandemic) dan memikirkan berbagai siasat cerdas untuk menghadapinya.

Masih banyak kesulitan di kalangan pendidik, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua/wali siswa yang lebih menganggap bahwa pandemi covid-19—dan segala kesulitan yang menyertainya; tekanan ekonomi, perubahan ritme kehidupan, relasi dan lainnya—sebagai sebuah bencana atau kutukan yang harus dihindari dan bukan untuk diatasi/dikalahkan, sehingga pandemi tidak dilihat sebagai penanda atas munculnya berbagai perluang baru dalam pengelolaan pendidikan.

Padahal, pandemi juga menghadirkan beberapa dorongan akselerasi bagi munculnya berbagai inovasi pendidikan, baik yang diinisiasi oleh negara/pemerintah (akselerasi pembelajaran daring, modul pembelajaran, inovasi kurikulum, dll) maupun inisiatif yang muncul dan berserak di masyarakat (gerakan relawan pendidikan, berbagai donasi pandemi untuk pendidikan, dll). Tekanan dan tantangan yang muncul akibat pandemi belum sepenuhnya dapat dikelola sebagai energi yang semestinya menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam pengelolaan pendidikan.

Kebebasan untuk memodifikasi kurikulum, misalnya, lebih menjadi beban daripada ruang bagi penggalian potensi di lembaga-lembaga pendidikan. Fakta ini dapat dipakai sebagai tanda bahaya belum terciptanya lingkungan belajar positif yang mampu memberi ruang dan kesempatan bagi munculnya upaya menggali potensi yang ada baik di kalangan pendidik, orangtua, maupun murid.

Kesediaan merespons pandemi sebagai sebuah kesempatan untuk berubah dan belajar, melatih kelenturan dalam menghadapi perubahan yang cepat, tak terduga, rumit, dan mengejutkan, belum sepenuhnya tumbuh di kalangan pelaku pendidikan. Sementara kapasitas untuk bersiasat dan mengelola pendidikan di masa pandemi mensyaratkan penerimaan dan adaptabilitas atas situasi pandemi yang tak pasti.

 

Menganggap pembelajaran tatap muka sebagai subsitusi dari pembelajaran daring adalah bentuk pengabaian pada kenyataan yang ada. Penting untuk terus memikirkan respons dan siasat cerdas dengan menimbang kesehatan dan keselamatan pelaku pendidikan demi mencegah kualitas pendidikan terpuruk. Upaya memperbaiki kemampuan menemukan cara terbaik dalam mengelola pendidikan harus menjadi bagian dari kebiasaan baru yang terus dibangun. Pilihan pada perbaikan kapasitas dalam mengupayakan dan melakukan blended learning, misalnya, adalah sebuah keharusan bagi semua pelaku pendidikan dan satuan pendidikan; sebuah inisiatif yang perlu ditumbuhkan sebagai kebutuhan baru.

Pada akhirnya, PTM adalah saat keselamatan/kesehatan pelaku pendidikan perlu beriring dengan upaya-upaya cerdas dalam memajukan pendidikan. Ia adalah saat untuk menemukan kapasitas dan potensi baru yang bisa terus dikembangkan untuk memajukan pendidikan. Ia adalah saat semua pelaku pendidikan untuk kembali belajar.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya