Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PADA 9 April 2021, DPR telah memberikan persetujuan atas rencana perubahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi lembaga otonom. Presiden Jokowi juga telah ‘melebur’ Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan pemberitaan media massa, DPR mengungkap bahwa BRIN bakal menjadi lembaga negara yang bekerja langsung di bawah presiden.
Tepat pada 28 April 2021, Presiden Jokowi melantik Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko. Dalam wawancara dengan media nasional, dirinya mengaku diminta menghadap presiden sehari sebelumnya untuk berdiskusi mengenai BRIN. Kepala BRIN yang sebelumnya ialah Kepala LIPI, ternyata sudah cukup lama mengamati manajemen lembaga riset pemerintah di Indonesia. Menurutnya, tata kelola alias manajemen lembaga riset pemerintah di Indonesia harus dibenahi.
Apa yang disimpulkan mantan diaspora itu sebenarnya tidak jauh dari citra lembaga riset pemerintah di mata publik. Kotler (1995) secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari keyakinan, gambaran, dan kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud dalam tulisan ini, ditujukan pada sebuah organisasi yang meliputi seluruh keyakinan, gambaran, dan kesan di mata publik.
Kotler juga menyebutkan, citra sebuah organisasi merepresentasikan nilai-nilai seseorang dan kelompok masyarakat yang mempunyai hubungan dengan organisasi itu. Definisi yang diungkapkan Kotler cukup mengonfirmasi fenomena BRIN, yang tidak lepas dari persepsi publik mengenai performanya.
Citra memang hanyalah gambaran dalam benar seseorang tentang sesuatu yang tentu saja bisa kita bentuk. Namun, gambaran yang kita coba bentuk itu haruslah sesuai kenyataan (realitas) dan tidak boleh dilakukan upaya pembohongan. Misalnya, sesuatu hal yang sebenarnya tidak baik digambarkan menjadi baik. Kebohongan pada akhirnya tidak akan membawa kebaikan apalagi meningkatkan citra, yang terjadi justru sebaliknya, citra akan menjadi rusak dan hancur. Jadi citra (image) ialah realitas. Oleh karena itu, pengembangan dan perbaikan citra harus didasarkan pada realitas.
Citra yang baik akan mendukung reputasi yang baik dan sebaliknya. Reputasi merupakan penilaian terhadap sebuah organisasi. Di dalamnya, melekat sebuah kepercayaan publik. Reputasi, menjadi komponen yang sangat dinilai dan dipertimbangkan, ketika BRIN melakukan proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik.
Ekspektasi yang besar
Sebagai lembaga riset dengan konsep dan paradigma baru, publik memiliki ekspektasi yang besar kepada BRIN. Untuk itu, lembaga ini harus banyak berkomunikasi dengan berbagai publiknya. Dalam sebuah forum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, Kepala BRIN mengakui tidak mudah mengomunikasikan sains ke publik yang levelnya berbeda-beda. Komunikasi sains dibutuhkan untuk mendukung rebranding BRIN dalam membangun kepercayaan publik dan menjawab ekspektasi mereka.
Menurut Muzzelec dalam Irish Marketing Review (2004:34-35), rebranding mempunyai empat tahap yang harus dilakukan perusahaan. Dalam tulisan ini, perusahaan yang dimaksud ialah sebuah instansi bernama BRIN.
Tahap pertama, repositioning. Proses rebranding yang dilakukan BRIN ialah untuk menciptakan posisi baru di benak publik. Hal ini tentu harus disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika sosial dan pembaruan sesuai dengan perubahan kebutuhan publik dan mitra kerja BRIN.
Repositioning bukan hanya dilakukan untuk produk, melainkan juga bisa dilakukan pada misi organisasi. Biasanya repositioning disebabkan dua faktor. Faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal telah menyebabkan perubahan terjadi pada BRIN. Salah satu alasannya, perubahan itu terjadi karena adanya ekspektasi publik terhadap eksistensi lembaga riset pemerintah di Indonesia.
Mungkin tidak banyak yang mencermati, tapi merasakan langsung dampak perubahan nomenklatur dari riset dan teknologi ke riset dan inovasi. Mungkin juga, banyak orang menganggap tidak ada bedanya, atau malah bingung mengapa nomenklatur ‘riset’ harus muncul di kementerian dan lembaga dengan ‘superbody’ seperti BRIN. Dari sini jelas, BRIN harus melakukan repositioning karena publik butuh ketegasan eksistensi dari lembaga ini.
BRIN boleh saja melakukan sosialisasi, tapi sebaiknya tidak sendiri. BRIN dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, misalnya, keduanya perlu bersinergi membuat program-program komunikatif untuk mempertegas batas dan pemahaman publik mengenai ‘urusan’ riset di setiap instansi itu.
Selanjutnya, nomenklatur ialah indikator dari sebuah brand. Dalam melakukan rebranding, nama dalam instansi itu diubah untuk menginformasikan kepada publik bahwa di balik perubahan sebuah nama instansi, ada transformasi ke arah yang lebih baik. Nomenklatur menjadi brand yang melekat di benak publik dan menjadi tombak utama untuk dikenal publik. Dalam tahap ini, BRIN sebenarnya tidak melakukan renaming. Nomenklatur BRIN ialah keputusan dari presiden. Jadi sebenarnya presidenlah yang telah melakukan renaming terhadap instansi yang menangani manajemen lembaga riset ini.
Perubahan nama dari Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN ke BRIN mungkin dianggap sepele dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan bagi sebagian orang. Kemiripannya, memang otomatis membuat BRIN tidak terlalu sulit mempromosikan dirinya. Namun, jika kita melihat pada visi dan misi serta arahan presiden untuk lembaga ini, tidaklah benar jika masih berfikir bahwa perubahan nomenklatur dianggap tidak penting.
Merancang ulang
BRIN juga perlu merancang ulang semua sistem identitas visual instansi yang mengekspresikan nilai-nilai, ambisi organisasi, bisnis, dan karakteristik perusahaan. Identitas visual berperan penting dalam menghadirkan profil BRIN kepada stakeholder internal dan eksternalnya. Dalam tahap yang disebut redesign ini, perubahan yang dimaksud meliputi semua hal yang tampak oleh mata, antara lain logo, colour brand, slogan, seragam, desain kantor, brosur, situs web, media sosial.
Dalam masa transisinya, BRIN memilih masih menggunakan simbol yang diambil dari logonya yang lama. Perubahannya hanya pada tulisan di bawahnya, dari Kemenristek/BRIN menjadi BRIN. Tentu ke depan, BRIN akan menyiapkan logo yang mencerminkan semangat barunya sebagai hub sekaligus multiplatform enabler kolaborasi riset di Indonesia.
Tahap akhir dari rebranding itu sendiri ialah relaunching, yaitu menyampaikan segala informasi mengenai profil baru BRIN kepada khalayak luas. Media ialah stakeholder utama untuk mengetahui tentang perubahan brand di dalam BRIN dan meneruskannya kepada publik.
Agar tercipta kepercayaan publik yang berkesinambungan dan membenahi citra lembaga riset pemerintah di Indonesia, BRIN perlu segera melakukan rebranding.
Dari enam strategi yang dikemukakan Tjiptono dan Gregorius (2012: 258), satu-satunya strategi yang tepat dijalankan BRIN ialah phase-in/phase out strategy. Strategi itu ditempuh lewat dua tahap. Dalam tahapan phase-in, brand baru masih dilekatkan pada brand lama selama proses introduksi. Selama melewati transisi, brand lama perlahan akan dihapus. Mengingat keberadaannya yang masih baru, seyogianya BRIN sudah memulai rebranding sejak dini, tanpa harus menunggu 1 Januari 2022.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved