Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
SEORANG pemikir Barat, Oliver Leaman menyatakan puasa/saum punya peran penting dalam "In helping human beings align themselves with virtue and reject evil. Patience is a key Quranic virtue and restraining our natural desires is an excellent way of inculcating virtue in our characters."
Lebih lanjut, Leaman menyatakan puasa ialah "forms a useful role in changing the character of the individual and cementing his or her relationship with both God and the community as a whole." (Leaman: 2006).
Pendidikan akhlak
Dalam Alquran (Al-baqarah: 183) disebutkan bahwa menjadi manusia atau insan mutaqin ialah hasil akhir dari ibadah puasa. Seorang mutaqin sudah barang tentu memiliki akhlak yang terpuji. Ibadah puasa, menurut beberapa mufasir seperti Ibnu Katsir, Alhumaad, Sayyid Thanthawi, Alwasiith alzahiily, dan Al-Munkatib merupakan proses pendidikan (tahdziibun nafsi, tarbiyatur ruhaaniyah), yakni (a) pembersihan jiwa (mengubah diri menjadi seorang berakhlak terpuji dan menjauhkan diri dari akhlak tercela, seperti ria, serakah, sombong, takabur, khianat, zalim, dan sejenisnya (Ibnu Katsir, Humaad, Thanthawi). Saum juga merupakan (b) jalan untuk menyiapkan diri atau wasilah untuk mencapai ketakwaan kepada Allah dalam keadaan apa pun, serta wahana menanamkan kesabaran, jihad/usaha sungguh-sungguh, dan kemampuan menghadapi kesulitan (al-wasiith alzaahiily).
Mengapa akhlak penting? Akhlak merupakan soko guru kelangsungan umat. Sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia." Sabda Rasulullah lainnya menyebutkan, "Sesungguhnya tegaknya atau jayanya suatu umat atau bangsa lantaran akhlak mereka, jika akhlak mereka baik, umat atau bangsa tersebut akan baik atau sehat. Sebaliknya, kalau akhlak umat atau bangsa itu rusak, umat atau bangsa tersebut akan hancur." Berkaitan dengan pentingnya karakter bagi suatu masyarakat atau bangsa, seorang cendekiawan atau pemikir Barat, Billy Graham, mengungkapkan, "If wealth is lost, nothing is lost. If health is lost, something is lost. But, if character is lost, everything is lost."
Tujuh pelajaran
Pelajaran apa yang secara substansial ditanamkan melalui ibadah puasa? Puasa menanamkan nilai (akhlakul karimah) dalam relasi dengan Sang Khalik dan antarindividu, serta masyarakat secara luas. Pertama, puasa melatih atau menanamkan perilaku atau sikap manusia untuk 'takut kepada Allah'. Pengertiannya ialah komitmen menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan diketahui orang banyak dan sendirian alias ikhlas.
Dalam puasa seseorang meyakini dan merasakan bahwa Allah memantau (raaqib) seluruh apa yang dilakukan seseorang seperti puasa (asaud, alquthan) sehingga seseorang akan malu melanggar yang diperintah dan melakukan apa yang dilarang. Keyakinan ini memengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam relasi sesama makhluk sehingga ia tidak akan khianat atau zalim terhadap orang lain, makan atau mengambil harta dengan tidak halal, seperti korupsi, menyakiti orang lain, atau perbuatan tercela atau merugikan orang lain (al-maraaghy).
Kedua, melatih atau menanamkan kemampuan pengendalian diri (temperance) yang tecermin dalam sikap; (i) kemampuan membatasi gerak nafsu syahwati yang ada pada seseorang dan mengarahkan nafsu sesuai ketentuan syar’i (al-maraagy)
. Kemudian (ii) kemampuan mengendalikan diri, tidak dendam, tidak memandang dirinya sebagai orang yang harus diperlakukan khusus atau meminta perlakuan istimewa; (iii) keinginan untuk berprestasi atau berkarya bukan untuk mengejar perhatian orang lain atau publisitas; (iv) hati-hati dalam membuat suatu pilihan dan tidak mengambil risiko di luar kemampuan dirinya. Keempat, tidak mengatakan atau melakukan sesuatu kemudian menyesalinya; (v) mengontrol emosi dan tidak mengeluarkan suatu ucapan atau tindakan yang bakal mengakibatkan keburukan bagi orang banyak.
Ketiga, menanamkan kasih sayang dan humanis (syafaqah dan rahmah). Syafaqah dan rahmat merupakan salah satu ciri orang bertakwa sebagaimana disebutkan dalam tafsir Al-Quthan tentang la'allakum tattaqun. Syafaqah dan rahmat merupakan kemampuan seseorang dalam hubungan antarpribadi, yaitu kemampuan memperlakukan orang lain dengan baik dan bersahabat, cinta kasih yang dicirikan, antara lain, dengan sikap dan perlakuan hangat dalam menghadapi orang lain, bersedia berbagi, pemurah, berbuat baik kepada orang lain, membantu orang lain dan penuh perhatian kepada orang lain dan memahami atau merasakan perasaan orang lain (empati), serta peduli terhadap mereka yang mengalami kesulitan dalam kehidupan.
Keempat, melatih kesabaran. Saum adalah nishfush shabri atau perwujudan kesabaran. Islam mengajarkan umatnya berperilaku sabar. Siapa mereka? Orang-orang sabar tangguh mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta tabah menghadapi musibah, juga orang sabar adalah mereka yang tahan banting (resilient) dan tidak mengenal putus asa (istikamah) dalam mengajak dan menebarkan kebajikan.
Kelima, puasa melatih atau menanamkan sikap istikamah atau konsistensi. Menurut Al-Mawardi, orang istikamah (i) berpegang teguh kepada akidah (tauhid) secara kukuh mengabdi kepada Allah dan tidak mensyarikatkan-Nya; (ii) konsisten taat kepada aturan Allah dan menjalankan perintah-Nya; (iii) ikhlas dalam menjalankan agama; (iv) menggunakan ilmu sebagai dasar amaliah, dan (v) konsisten antara ucapan dan perbuatan.
Keenam, puasa melatih atau menanamkan sikap amanah. Dalam tafsir Ar-razi, amanah dimaknai sebagai (i) attauhid, menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya, memanfaatkan anugerah Allah seperti anggota badan, harta benda untuk kebaikan; (ii) amanah antarpribadi dan pemimpin yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti transaksi, kegiatan kemasyarakatan, pekerjaan, dan sejenisnya. Termasuk berlaku adil dan berbuat untuk kemaslahatan umat dan tidak menyalahgunakan kekuasaan, serta (iii) amanah terhadap ulama adalah tidak membawa umat kepada taashub (sektarianisme), tetapi membawa umat pada iktikad dan amal yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat dan tidak melakukan zalim.
Ketujuh, pegendalian diri. Kemampuan untuk memaafkan perbuatan zalim dan hilm serta akhlak mulia yang merupakan parameter ketakwaan seseorang sebagai mana tercantum dalam Ali Imran (QS 3: 134).
Perlu kiranya menimbang ungkapan Mufasir Asy-Sya’rawi; "Aneh atau janggal kalau selama Ramadan kita rajin berbuat baik (ibadah) dalam relasi dengan Allah dan sesama manusia. Namun, amaliah tersebut berakhir ketika Ramadan telah pergi."
Ramadan datang untuk mendidik kita agar hidup dan berakhlak baik sepanjang masa dalam kondisi apa pun. Semoga nilai ibadah kita melekat dan terpancar dalam kehidupan kita pascabulan Ramadan. Amin. Walallahu ‘alam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved