Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
KARTINI diposisikan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai pendahulu pemikir modern Indonesia. Pernyataan tersebut ditulisnya dalam pengantar karyanya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Menurut Pramoedya Ananta Toer, meskipun kekuatan dan kekuasaan Kartini hanya di bidang moral, tidak memiliki alat-alat untuk mewujudkan konsep pemikirannya, serta tanpa dukungan organisasi massa yang memang waktu itu belum lahir, ia merupakan sosok yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan pada masanya. Dari paparan Pramoedya, tampak sekali sosok Kartini yang merupakan sosok yang pikiran-pikirannya melampaui zaman.
Kartini mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda. Posisi Kartini sebagai bagian dari kalangan bangsawan membuat ia mendapatkan kemewahan merasakan suasana persekolahan. Padahal, pada masa itu bersekolah merupakan hal yang sangat tabu dan terlarang bagi perempuan.
Kartini menulis, “Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah yang memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak-anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat di negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah.” (Habis Gelap Terbitlah Terang, Terjemahan Armijn Pane, Balai Pustaka, Cetakan ke-29, 2011).
Di masa bersekolah yang singkat itu, Kartini mengalami kesulitan dalam memahami bahasa Belanda karena dalam keseharian ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Sementara itu, bahasa Belanda hanya digunakannya sesekali. Pada masa itu, bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan. Tinggi rendahnya pengetahuan diukur dari kemampuan berbahasa Belanda. Penguasaan bahasa Belanda berarti akses ke sumber pengetahuan Barat.
Pencinta buku
Di usia 12,5 tahun ia harus berpisah dengan masa kecil yang menyenangkan dan harus dipingit. “Empat tahun, yang terkira lamanya, saya berkhalwat di antara tembok tebal, tiada sedikit jua pun melihat dunia luar.” tulis Kartini (Pane, 2011). Meskipun demikian, dalam masa pingitan, Kartini memiliki kemewahan untuk membaca berbagai buku dan majalah asing.
Buku dan berbagai bacaan tersebutlah yang membuka daya imajinasi serta cakrawala Kartini dalam memandang kehidupan. Barat, sebut Pramoedya, dikenal Kartini melalui tiga jalan. Pertama, melalui pancaindranya. Kedua, melalui observasi hubungan pribumi dan Barat yang memberinya kesimpulan urgensi untuk pergi ke Eropa. Dan yang ketiga, bacaannya terhadap karya sastra orang-orang Eropa di berbagai bidang terutama karya sastra (Toer, 2012).
Kartini pembaca yang sangat lahap sehingga digambarkan Pane (2011) bahwa kecintaannya terhadap pustaka bagaikan candu. Buku dan bacaan lain tak pernah lepas dari jangkauannya meski sering kali bacaan-bacaan tersebut tidak dimengertinya. Setelah ia menyelesaikan beban pekerjaannya, tangannya akan menggapai buku atau koran. Yang jelas bacaan-bacaanya yang ia lahap memberinya kenikmatan dan juga pelajaran yang tiada habisnya (Pane, 2011).
Pramoedya menarasikan secara detail kekaguman Kartini terhadap beberapa karya sastra penulis Eropa ketika itu. Akses bacaan yang luas pada masa itu. Bagi seorang perempuan pada masa itu, hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa. Salah satu karya yang sangat berpengaruh bagi Kartini ialah karya Multatuli, yang bernapaskan pembelaan terhadap keadilan dan kemanusiaan. Bacaan tersebut tampaknya begitu merasuk ke jiwa dan cara pandang Kartini sehingga tampak dalam tulisan-tulisannya.
Di berbagai kesempatan di dalam surat-surat yang ditulis Kartini banyak membahas perihal buku. Di masa ini mungkin seperti Kartini membuat resensi terhadap buku-buku yang sudah dibacanya. Kekaguman terhadap buku-buku yang dibacanya dibahas dalam surat-surat yang dikirimnya ke berbagai pihak.
Penyusun buku Habis Gelap Terbitlah Terang mengidentifikasi beberapa nama yang dituju Kartini dalam berbagai suratnya, antara lain Nona Estelle H Zeehandelaar, Nyonya MCE Ovink-Soer, Tuan Prof Dr GK Anton dan Nyonya, Dr N Adriani, Nyonya HG de Booij-Boissevain, Tuan JH van Kol, Mr JH Abendanoon, Nyonya Abendanoon, dan beberapa lainnya.
Pelajaran penting
Lalu, dalam konteks hari ini, apa yang bisa dipelajari dari Kartini? Ada banyak segi yang tentu saja dapat dipelajari dari Kartini. Salah satu hal yang penting ialah semangatnya untuk membedah berbagai buku yang ia pelajari. Di tengah keterbatasan akses, meski ia masih dapat kemewahan karena dari kalangan bangsawan, ia masih terus membaca. Di tengah banjir informasi dan kemudahan akses dewasa ini, tentu saja semangat untuk mempelajari berbagai hal menjadi penting.
Poin penting, yang terpenting dari tulisan-tulisan Kartini ialah semangatnya mempertanyakan berbagai perihal kehidupan, yang tampaknya sudah mapan dan tidak bisa dikritik. Dari berbagai tulisannya, tampak sekali logika berpikir kritis dan rasional. Keresahan-keresahan terhadap belenggu bagi perempuan, adat istiadat, pendidikan, agama, kemajuan Barat, dan sebagainya, ia bagikan dalam surat-suratnya. Kegelisahan itu yang membawa ia maju dari segi pemikiran. Dari surat-surat tersebut, juga tampak kecintaan Kartini terhadap ilmu pengetahuan.
Bacaan-bacaan itu yang tanggapi secara kritis dan dikontekstualkan dengan kehidupan kesehariannya. Ia mencurahkan keresahan-keresahan setelah mendapati betapa ada dunia yang jauh berbeda dengan dunia tempat ia hidup. Jika dihubungkan dengan konteks saat ini, cara Kartini merespons bacaan dan kehidupan keseharian, patut menjadi contoh. Terutama, bagi proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat berperan untuk membangun anak-anak yang memiliki logika, kritis, dan rasional sehingga tidak mudah terjebak pada belantara informasi. Pola yang dapat dicontoh dari Kartini ialah kemauan dan kemampuannya untuk selalu mempertanyakan berbagai hal mengenai kehidupan. Dari sosok Kartini, kita belajar bahwa membaca menjadi sangat penting untuk memantik daya kritis dan pikiran maju ke depan.
Sayangnya, memang ruang pendidikan kita belum menginternalisasikan pola pikir kritis dan reflektif. Tidak semua anak mendapatkan kemewahan membaca ragam literatur secara reflektif, disertai dengan pendampingan pembelajaran yang berupaya membangun logika.
Memperingati Hari Kartini, berarti mengingat sosok visioner, bukan semata terjebak pada parade busana. Hal tersebut tentu tidak salah, tetapi akan lebih berarti jika kita juga mengingat pikiran-pikiran Kartini yang maju.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved