Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
BEBERAPA waktu lalu, media online di NTT (Sorotntt.com) menurunkan opini seorang penulis, yang mengklaim, operasi tambang di Manggarai Timur tidak menimbulkan dampak. Karena, perbandingannya hanya 0,2 % dari keseluruhan Kabupaten, dan hanya 1,8% dari luas Kecamatan Lamba Leda. Belum ada yang menanggapi opini itu secara serius.
Menurut saya, klaim semacam itu amat perlu ditanggapi. Terutama, karena penggunaan statistik yang konyol, dan menyesatkan. Selain tidak berdasarkan studi ilmiah, ucapan semacam itu, menentang prinsip-prinsip dasar ilmu lingkungan dan ekologi. Mengapa demikian?
Pertama-tama, bicara dampak tindakan manusia pada lingkungan, harus mengacu pada ilmu lingkungan (environmental science) yang memang memeriksa interaksi. Termasuk, relasi manusia dengan dan di antara komponen fisik, kimia, dan biologi, termasuk pengaruhnya terhadap semua jenis organisme. Ilmu lainnya, adalah ekologi yang memeriksa kompleksitas relasi di antara faktor-faktor biotik (makhluk hidup). Termasuk, antara manusia dan organisme lainnya.
Dalam dua ilmu itu, relasi antara tindakan manusia, dan dampak pada ekosistem maupun lingkungan tidak semata-mata tergantung pada jumlah, atau statistik bukaan lahan. Tapi, oleh jenis tindakan dan kemampuan adaptasi dari 'tubuh ekosistem dan lingkungan'.
Salah satu yang berkaitan dengan jenis tindakan, antara lain tingkat bahaya polutan. Analogi simplifikasinya, sama dengan anda minum satu sendok teh potasium, dibandingkan dengan air pada plasma darah yang mencapai 90 %. Dengan logika statistik konyol seperti di atas, seharusnya, satu sendok teh tidak berpengaruh. Toh tersedia berliter-liter air dalam darah, yang dapat menetralkan potasium. Tetapi jelas bahwa potasium adalah racun pembunuh.
Sementara, terkait kemampuan tubuh untuk melakukan penyesuaian dapat diambil contoh orang sakit. Jika kondisi tubuh sudah keropos, maka potasium itu hanya meneruskan saja, menghabisi apa yang sudah ambyar. Jika tidak percaya dengan analogi ini, silahkan mereka yang bertahan dengan statistik 0,2 % itu mencoba satu sendok teh potasium. Semoga Tuhan menyelamatkan anda.
Berantakan
Pada ekosistem dan lingkungan pun demikian. Besarnya dampak, tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya bukaan pada lahan tertentu. Derajat toksik dan kapasitas adaptasi ekosistem sangat menentukan dampak. Persoalannya adalah, pada ekosistem dan lingkungan yang sudah rentan, misalnya lahan kering dan miskin air, ibarat tubuh yang sudah kepayahan. Guncangan sekecil apapun terhadap situasi semacam itu akan sangat berpengaruh pada keseluruhan sistem yang sudah rapuh. Berantakan.
Ingat, tidak semua relasi pada alam ini sudah dipahami manusia. Pakar astronomi dari Columbia University, Caleb A. Scharf, pada 2014 menulis bahwa kita masih tidak tahu mengenai banyak hal. Jangankan semesta, kita bahkan tidak paham biologi diri kita sendiri. Mengapa 10 triliun sel tubuh kita dikepung oleh ratusan triliun mikroba, yang tersebar di berbagai organ tubuh. Kita, juga tidak paham bumi kita sendiri, bagaimana dinamo bagian dalam bumi bekerja, dan pengaruhnya menghasilkan medan magnet bagi planet ini.
Dalam kasus Flores, sangat sedikit yang kita tahu. Memang telah tersedia studi ekologi seperti usaha yang luar biasa oleh sejumlah Organisasi Non-Pemerintah, untuk memetakan keanekaragaman hayati (Birdlife 2000).
Beberapa peneliti sudah mulai memetakan ekologi budaya seperti Pfeiffer di daerah Kempo Manggarai (2012), memodelkan daya dukung air seperti Pujiono (2015) dan Noywuli untuk DAS Aesesa (2019).
Beberapa lainnya, sudah menjelajahi ekologi dan budaya Flores Tengah dan ujung timur. Namun, banyak yang masih absen dari daftar jelajah sains. Misalnya, studi air belum mengikutkan parameter perubahan iklim global yang secara kompleks menentukan kinerja semua dimensi ekosistem yang menentukan pengatur dan penyedia air.
Kedua, bencana ekologis yang terjadi saat ini di tingkat global seperti perubahan iklim dan kepunahan spesies terjadi, bukan karena suatu tindakan raksasa yang dilakukan sekaligus, dan seketika mengubah ekosistem planet bumi. Bukan!
Perubahan iklim terjadi, melalui proses panjang sejak 1830an ketika sepak terjang revolusi industri dimulai. Sejak itu, karbon di atmosfir terakumulasi secara terus menerus dari kepulan industri maupun gaya hidup yang kita nikmati dalam 190 tahun belakangan ini. Lalu sampailah kita, pada situasi yang kita hadapi saat ini. Makin menumpuknya zat itu, mengakumulasi pemanasan global pada atmosfer bumi yang pada gilirannya memanen perubahan iklim.
Dampaknya, hampir tiap tahun kita mengalami bencana badai, banjir, longsor, hama baru, gagal panen. Bahkan virus-virus baru yang ukurannya tidak bisa diamati mata telanjang sanggup menggoncang dunia. Rusaknya ekosistem alamiah, membuat virus-virus yang sebelumnya berinang pada binatang seperti kelelawar, trenggiling, mencari cara untuk bertahan. Punahnya binatang-binatang itu, makin meningkatkan risiko. Ini adalah hukum alam.
Seperti halnya manusia, virus dan bakteri juga ingin tetap hidup. Karena populasi manusia jauh lebih besar saat ini, mereka bermutasi agar bisa adaptif dengan tubuh manusia. Karena itu, jurnalis sains David Quammen pernah menulis di New York Times pada 2013, bahwa the next pandemic is not if, but when.
Korelasi antara bencana-bencana ini, dengan perubahan iklim merupakan temuan ilmiah ratusan ribu ahli bereputasi internasional, dari berbagai negara yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Jika tidak percaya dengan fakta-fakta ini, silahkan bergabung dengan Trump dan kroninya. Kita tahu, mereka adalah kumpulan politisi dungu yang ditertawai di seluruh dunia.
Ketiga, kehati-hatian amat diperlukan. Apalagi, untuk intervensi pembangunan eksploitatif terhadap pulau-pulau berlahan kering dan iklim semi-arid seperti Flores. Kondisi alamiah yang rentan di satu sisi, dan tingkat populasi yang terus meningkat di sisi lain semestinya ditopang oleh daya dukung Pulau yang memadai. Dalam hal ini, dukungan lahan dan air.
Saat ini, belum ada teknologi yang menciptakan air, selain berharap pada kemurahan Tuhan melalui alam. Karena itu untuk pulau-pulau kering, setiap mili air sangat berharga. Apalagi tekanan iklim global menunjukkan penyusutan suplai air yang luar biasa.
Flores sendiri dan NTT secara keseluruhan belum mengidentifikasi dampak mikro yang bakal mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan menyiapkan strategi mitigasi atau adaptasinya. Sebagai perbandingan tetangga NTT, Provinsi NTB pada 2020 telah mengidentifikasi separuh mata air mereka lenyap. Pemerintah setempat menengarai pembalakan liar sebagai salah satu sebab utamanya.
Di Flores, meskipun tiap tahun banyak desa langganan antri air bersih, tidak nampak antisipasi Pemerintah Daerah untuk memetakan daya dukung air selain sibuk mengejar-ngejar orang yang masuk hutan. Tindakan penegakan hukum, kalaupun perlu, tidak menolong untuk menghidupkan kembali debit air yang terus menyusut di kampung-kampung.
Hentikan bualan
Terakhir, pertimbangan yang matang tidak sama dengan membiarkan kemiskinan dan penderitaan terus terjadi. Kalau ada pemikiran semacam itu, patut dipandang sebagai prasangka ompong yang tidak banyak gunanya untuk diskusi yang konstruktif.
Sebaliknya, pertimbangan matang yang mengukur kesiapakan ekosistem merupakan cara terbaik agar lingkungan yang relatif sehat yang kita nikmati secara gratis hari ini dapat terus dipertahankan hari esok, baik oleh generasi kita maupun oleh generasi berikutnya. Dalam hal ini, kemiskinan tidak akan tuntas hanya oleh bangunnya satu pabrik. Miskin dalam dirinya sendiri terkait dengan berbagai dimensi, termasuk struktur sosial di tengah masyarakat. Dalam hal ini, telah banyak studi menunjukan, bahwa kehadiran pembangunan gigantik justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi lokal.
Harus diakui bahwa pemahaman terhadap peran penting lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan, saat ini, masih sebatas omong-omong. Wujudnya dalam bentuk alternatif yang lebih lestari masih merupakan upaya sporadis. Di beberapa tempat mungkin sudah ada hasilnya. Tapi, lebih banyak kasus yang menunjukan orang cenderung membahas “keberlanjutan” sebagai pembicaraan di atas kertas, alih-alih tindakan nyata.
Seharusnya, tindakan itu sudah bisa dimulai, setidaknya dari pertimbangan yang lebih matang dengan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan, dari sekadar sesumbar angka 0,2 % yang diedar berbagai medsos itu. Bualan semacam itu harus dihentikan, jika sungguh-sungguh mau mendidik publik dengan informasi yang valid.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved