Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
LAMUNAN saya melambung ke tahun sembilan puluhan. Pada masa itu, kegiatan Kirab Remaja Nasional dimulai dan terus merebut hati anak-anak muda Indonesia. Menjadi peserta kirab remaja menumbuhkan kebanggaan sebagaimana kesukacitaan yang juga dirasa generasi muda yang terpilih sebagai anggota pasukan pengibar bendera serta peserta pertukaran pelajar dan pemuda internasional.
Kini, boleh jadi kebanggaan serupa tetap ada. Namun, seiring dengan terbukanya ruang-ruang baru bagi kiprah anak muda, deru hasrat menjadi peserta kirab, paskibra, dan sejenisnya mungkin tidak sekencang dulu.
Pada masa kini, kaum muda sudah dapat menunjukkan eksistensi luar biasa mereka di bidang kreativitas dan kewirausahaan melalui dunia digital. Tentu, tidak ada yang salah dengan itu. Dengan tampil sebagai pengusaha ataupun desainer belia papan atas, mereka pun sudah turut membuat 'Merah-Putih' berkibar dengan megahnya.
Terlepas dari itu, nostalgia saya akan kirab remaja belum juga tergantikan. Sayangnya, sejak awal tahun ini, dan entah sampai kapan, wabah covid-19 merebak di seluruh permukaan dunia sehingga keinginan menghimpun beratus-ratus pemuda dari Sabang sampai Merauke belum juga kunjung terealisasi hingga kini.
Padahal, saya yakin, momen-momen yang menautkan hati anak-anak Indonesia patut terus digelorakan. Benih-benih persaudaraan sebangsa, yang tidak mengecilkan latar dan identitas kehidupan masing-masing, harus senantiasa disemaikan.
Namun, pandemi korona semestinya bukan tanpa penawar. Program-program bagi anak dan remaja yang menyatukan kawula muda semestinya tetap dapat diselenggarakan secara virtual. Skalanya pun beragam, mulai tingkat nasional hingga tingkat lokal. Tidak melulu harus bergantung pada inisiatif kementerian atau lembaga negara.
Sekolah-sekolah pun dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lintas budaya dengan dukungan teknologi maya seperti yang sudah digunakan selama ini.
Unik sekali membayangkan bagaimana, misalnya, anak-anak Minangkabau bisa saling menatap wajah dan bercengkerama di depan layar monitor. Kepada setiap anak, bahkan diberikan tugas untuk saling belajar berbahasa dan berkreasi sesuai dengan budaya masing-masing.
Idealnya, kegiatan sedemikian rupa didahului dengan pengajaran tentang tata krama dalam bertutur kata sekaligus penguatan tentang jati diri ulayat yang telah hidup dalam diri anak.
Para guru, juga dapat memberikan pengenalan singkat tentang latar anak-anak seberang pulau, yang nantinya akan diajak berinteraksi oleh anak-anak didik mereka. Dengan fondasi seperti itu, pantas kita berharap bahwa antaranak akan dapat bertegur sapa, dan mengeksplorasi perbedaan satu sama lain, dengan cara yang cukup santun dan menyenangkan.
Cara-cara kreatif
Kegiatan yang saya imajinasikan di atas, hemat saya, dapat memenuhi harapan Mendikbud. Di dalam salah satu surat edarannya, Mendikbud berpesan kepada para guru agar--setidaknya di musim pandemi ini--mengedepankan kesehatan mental anak didik.
Saya pun, lewat berbagai tulisan dan forum diskusi, terus-menerus menyemangati para pendidik agar menemukan cara-cara kreatif untuk membangun karakter siswa. Membuka ruang jelajah antarpulau secara virtual kepada anak sejak bangku SD, dengan dos and don'ts seminimal mungkin, diharapkan akan dapat memenuhi dua kebutuhan dasar anak, yaitu berteman dalam suasana yang penuh sukacita serta memenuhi rasa ingin tahu mereka akan hal-hal baru.
Pada tahap lebih lanjut, dialog antaranak seperti itu dapat diperluas dengan menyertakan keluarga mereka. Betapa senangnya membayangkan--sebagai contoh--keluarga Makassar dan keluarga Aceh bertukar resep kue-kue kering tradisional mereka.
Betapa mengharukannya ketika mereka kemudian saling berkirim panganan itu. Tatkala paket panganan itu datang di rumah masing-masing, semerbak kenikmatan sebagai bagian dari Nusantara akan merasuk ke relung hati mereka.
Pendekatan alami di atas, saya yakini, jauh lebih andal daripada sekadar kampanye memaksa anak-anak menghafal Pancasila dengan cara-cara pemaksaan ataupun kekerasan.
Saya berkeyakinan, hampir seluruh anak bangsa Indonesia tidak meragukan kepancasilaan mereka satu sama lain. Bahwa ada segelintir yang mengalami kegamangan, jumlahnya amat sedikit dan tidak perlu terlalu dibesar-besarkan, seolah bangsa ini mengalami krisis kepancasilaan.
Persoalan kolektif hari ini bukan pada 'anak berpancasila' atau bukan. Yang masih kurang dewasa ini ialah hadirnya suasana menyenangkan dalam menerapkan butir-butir Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kita semua memiliki kesadaran: belajar yang baik adalah belajar yang dinaungi perasaan riang gembira.
Pengalaman
Atas dasar itulah, agenda besar yang patut kita wujudkan ialah meningkatkan kegiatan setiap warga mengindra langsung pengalaman mereka bertegur sapa sebagai sesama orang Indonesia.
Bertegur sapa yang, sekali lagi, penuh dengan keadaban timbal balik, dan berlandaskan kekukuhan jati diri ulayat masing-masing.
Penyeragaman yang berlebihan sering justru akan menghilangkan ketangguhan yang sejatinya merupakan inti paling indah dalam jelajah anak antarnusa secara virtual.
Virus korona, yang semakin buas itu, memang menyandera lahiriah kita. Meski demikian, semua pihak memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa pandemi itu tidak menghalangi kerinduan kita untuk bertandang ke pulau terjauh di Tanah Air dan bertamu ke rumah-rumah masyarakat asli di sana.
Buku-buku pelajaran tentang Pancasila, tentang kebinekaan, sudah saatnya diperkaya lagi dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan secara virtual, yaitu dengan memfasilitasi anak-anak kita agar dapat sesering mungkin merasakan pengalaman autentik nan menyenangkan bergaul ceria dengan sesama mereka, yang berbeda budaya dan hidup di tanah-air-udara yang beragam coraknya.
Semoga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved