Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
HAJAH Halimah bukanlah tokoh bangsa, apalagi pahlawan nasional. Ia juga tidak ada dalam buku teks kesejarahan Indonesia atau laporan yang sekadar menggambarkan peran seseorang semasa hidupnya. Namun, bagi saya dan anak-anak, apalagi istri saya Qaimah Umar, sosok Hajah Halimah ialah pendekar dan pejuang yang amat gigih dalam membela kepentingan dan kebutuhan anak-anaknya untuk terus belajar dan belajar. Ia juga seorang ibu dan nenek yang akan terus menjadi anutan anak cucunya di kemudian hari, terutama tentang nilai-nilai persahabatan dan cara berkomunikasi dengan sejawat dan orang lain meskipun berbeda etnik dan agama.
Hajah Halimah menjanda sejak 1965 dalam usia 34 tahun dan dengan delapan anak. Suaminya, Muhammad Umar, ialah perbekel atau kepala desa pertama di Desa Tegallinggah, Sukasada, Buleleng, Bali, yang dipilih secara aklamasi, baik oleh komunitas Hindu maupun Islam yang menempati Desa Tegallinggah. Dengan sedikit pengetahuan sebagai istri kepala desa yang kemudian wafat, dia berusaha tegar mengayomi dan membimbing anak-anaknya. Saat sang suami wafat, Hajah Halimah sudah ditinggal wafat terlebih dahulu oleh empat anaknya.
Anak-anak yang dirawat sejak 1965 ialah anak ke-5 sampai ke-8.
Semuanya perempuan. Dengan alasan inilah kemudian dia urung menikah kembali kecuali menanamkan tekad kuat untuk terus merawat dan menjaga keempat anak perempuannya.
Ketika Hajah Halimah wafat di usia 86 tahun pada 6 Februari 2016 lalu, tentu saja hampir semua anak, cucu, dan menantu merasa kehilangan yang luar biasa akan sosok yang tak tergantikan perannya. Saya hanya bisa terkenang akan pertemuan pertama kali dengan mertua saya ini pada 1985, yang saya gambarkan sangat lugu, bersahaja, tak lancar berbahasa Indonesia, tetapi hanya selalu mengumbar senyum kepada siapa pun yang menyapanya.
Satu hal yang mengagetkan saya ternyata ibu mertua saya ini seorang buta huruf dan angka. Ia hanya bisa membaca Alquran dengan pengetahuan yang minim. Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana seorang yang buta huruf dan angka bisa sukses mengelola perkebunan cengkih, kopi, cokelat, kapuk, padi, serta berdagang layaknya seorang yang lancar baca tulis?
Pernah suatu ketika saya mencoba membantu ibu untuk mengantarnya ke pasar setelah panen cengkih. Selain menjual cengkih yang telah kering dijemur, dia pun ingin berbelanja beberapa kebutuhan untuk kebunnya, seperti rabuk dan pupuk. Ketika sampai di pasar, saya sungguh takjub karena hampir semua pedagang, baik yang Hindu ataupun dari etnik Tionghoa, sudah mengenal ibu dengan baik.
Ini terlihat dari cara mereka melakukan tawar menawar selama proses jual beli berlangsung. Ketika harga sudah disepakati dan tiba giliran ibu harus membayar, dengan lugunya ibu mertua saya membuka tasnya yang ternyata berisi banyak sekali uang. Ibu mempersilakan si pedagang mengambil sendiri uangnya berdasarkan harga yang disepakati. Saya pun teringat beberapa penggalan dialog dengan ibu ketika saya bertanya mengapa dia sedemikian kuat untuk berkebun dan berdagang sekaligus. Jawaban sambil senyumnya selalu berucap, "Ibu orang bodoh, ndak bisa baca dan ndak tahu angka, tapi berdagang hanya mengandalkan baik sangka (husnuzan) dengan orang lain."
Bagi ibu, berprasangka baik terhadap orang ialah modal utama dalam berhubungan dengan orang lain, termasuk hubungan dagang. Lebih terkejut lagi ketika tahu bahwa hampir lebih dari separuh orang yang bekerja dengannya ialah warga dari komunitas Hindu, bukan Islam atau saudara-saudaranya. Ketika hal ini saya tanyakan, jawabannya juga sungguh mengagetkan saya.
Ibu bilang, "Nak, Bali luwung ye hatine (anak Bali baik hatinya). Lebih banyak yang jujur daripada nak Slam (orang Islam)." Jadi, dari pengalaman dia menjadi warga 'minoritas' di tengah komunitas Hindu, cara terbaik ialah mengelola hubungan dan komunikasi dengan baik. Ibu mertua saya ini tak pernah melihat orang Hindu dari agamanya, tetapi dari etniknya.
Sebutan 'Nak Bali' yang dia kenakan terhadap umat Hindu menggambarkan Hajah Halimah sangat paham dan mengerti artinya bertoleransi. Inilah yang di kemudian hari saya tunjukkan kepada anak-anak saya tentang nilai toleransi yang mereka dapatkan dari sosok mbah mereka. Saking karib dan akrabnya pergaulan ibu dengan warga Hindu yang disebutnya 'Nak Bali', mereka pun memperlakukan ibu sebagaimana layaknya orangtua. Tak sedikit, baik ketika sakit maupun wafat dan bahkan ketika akan mengantarkan ke kubur, beberapa warga Hindu ikut bertakziah ke rumah dan bahkan berbaur dan menyawerkan uang receh yang ditebar di tepi jalan sebagai tanda penghormatan kepada ibu mertua saya.
Tentu saja nilai-nilai persaudaraan ini penting untuk diangkat dalam konteks hubungan antaragama dan budaya, apalagi di dunia pendidikan kita. Saya dan anak-anak saya beruntung memiliki anutan langsung dari sosok ibu yang bukan hanya kuat akan keyakinannya terhadap Islam sebagai agama yang dianutnya, melainkan juga pada waktu yang bersamaan dia menunjukkan pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Ibu Hajah Halimah yang mempraktikkan agama secara sederhana ini menurut saya sangat sulit dicari padanannya. Saya memastikan sepanjang hidupnya, ibu tak pernah lalai untuk selalu salat lima kali sehari dalam posisi yang selalu tepat waktu. Jika azan terdengar, tak ada yang dilakukannya kecuali bergegas mengambil wudu dan segera salat. Begitu pun di malam hari, hampir sepanjang tahun ibu selalu bangun tengah malam untuk bertahajud, yang dilakukannya hingga menjelang subuh. Di pagi hari, salat duha juga menjadi rutinitas yang tak pernah ditinggalkannya.
Pendek kata, beragama dengan cara sederhana itu ternyata banyak pengaruhnya terhadap cara pandang seseorang dalam melihat dunia sekitarnya, terutama orang-orang yang secara etnik dan agama berbeda. Selamat jalan ibu dan mbah Hajah Halimah. Allahumma ighfirlaha warhamha wa'afiha wa'fu anha. Ampunan Allah selalu di sisimu dan doa kami insya Allah tak akan pernah putus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved