Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 10 dan Tantangan Global

A Prasetyantoko Rektor Universitas Katolik Indonesia,Atma Jaya
15/2/2016 00:15
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 10 dan Tantangan Global
(MI/PANCA SYURKANI)

PEREKONOMIAN hampir semua negara di seluruh dunia terus melesu akhir-akhir ini. Setiap negara mengembangkan respons kebijakan yang berbeda-beda meski tujuan mereka sama, yaitu mengungkit kinerja perekonomian domestik agar keluar dari zona perlambatan. Bank Sentral Amerika Serikat dan Bank Sentral Inggris sudah mulai menaikkan suku bunga acuan mereka. Sementara itu, Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang justru mendorong ekspansi dengan cara menekan suku bunga menjadi negatif. Meski berbeda arah kebijakan, kelompok negara maju memiliki kesamaan dalam mendorong perekonomian, yaitu mengandalkan instrumen kebijakan moneter, fiskal, dan campuran keduanya.

Negara maju memelopori kebijakan moneter yang tak biasa (non conventional monetary policy) dengan racikan ekspansi moneter dan fiskal dalam satu paket.
Inovasi kebijakan terus dilakukan demi mendorong perekonomian dari kemandekan struktural yang panjang (secular stagnation). Perekonomian secara global benar-benar dalam bayang-bayang ketakutan kemandekan. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pada kelompok negara berkembang. Meski daya upaya terus dilakukan untuk mendorong ekspansi dunia usaha, pertumbuhan ekonomi terus saja melemah. Tiongkok sebagai salah satu negara yang mengalami risiko perlambatan paling besar sangat progresif merilis kebijakan ekonomi mereka, terutama dengan cara manipulasi nilai tukar mereka.

Sementara itu, perekonomian domestik kita juga mengalami simptom persoalan yang kurang lebih sama. Perlambatan ekonomi terus menggerogoti dinamika perekonomian domestik.
Bukan saja perekonomian di luar Jawa yang berbasis komoditas, melainkan juga di wilayah Jawa yang berbasis manufaktur. Bukan saja menyerang sektor produktif, sektor konsumsi pun mengalami koreksi. Pemerintah terus berupaya mendorong dinamika perekonomian domestik lewat berbagai cara. Meski paket deregulasi terus digulirkan, tetap saja pertumbuhan ekonomi tak bisa dipacu secara signifikan. Kalaupun ada potensi perbaikan, prospek pertumbuhan ekonomi tetap tak terlalu menjanjikan.

Minggu lalu, pemerintah merilis Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 10 yang isinya terutama mengenai revisi terhadap daftar negatif investasi (DNI). Sebelumnya, DNI telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 34 Tahun 2014. Paket kebijakan yang nantinya akan dituangkan dalam peraturan presiden itu diatur berbagai sektor yang porsi kepemilikan asingnya akan menjadi 100%. Sektor ekonomi yang terkena revisi DNI mencakup 35 bidang usaha yang meliputi industri perkebunan, pariwisata, transaksi perdagangan secara elektronik (e-dagang), dan restoran. Dengan kata lain, akan semakin banyak sektor ekonomi domestik yang terbuka bagi partisipasi asing secara total.

Memecahkan dilema
Dalam setiap kebijakan ekonomi, selalu terkandung unsur dilema karena secara alamiah kebijakan ekonomi menimbulkan efek negatif di tempat lain (trade-off). Karena itu, setiap kebijakan ekonomi wajib mempertimbangkan efek samping dengan memformulasikan kebijakan mitigasi. Dalam konteks paket kebijakan ekonomi, salah satu implikasi negatif yang diproyeksikan akan terjadi ialah dampaknya pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab itu, sejak awal dilansirnya kebijakan ini sudah diantisipasi, kecuali bagi sektor UMKM.
Definisi yang digunakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Sesuai dengan definisi yang dijelaskan dalam UU itu, unit usaha yang memiliki kekayaan bersih di bawah Rp100 miliar akan mendapatkan perlindungan terkait dengan revisi DNI tersebut.

Lebih jauh lagi, tujuan dilakukannya 'liberalisasi' investasi itu sejalan dengan dua aras kebijakan pokok. Pertama, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tak memungkinkan proteksi terhadap sektor domestik yang terus dilakukan. Kedua, keterlibatan investor asing tak selalu berdampak negatif. Justru sebaliknya, semakin banyaknya pelaku di sektor industri tertentu, kompetisi terjadi sehingga harga turun. Secara umum, perekonomian domestik diuntungkan dengan kebijakan tersebut, paling tidak dalam dua hal. Pertama, sektor produktif meningkat sehingga kapasitas produksi nasional bertambah.

Kedua, daya beli domestik meningkat seiring dengan peningkatan sektor produktif sekaligus penurunan harga. Dengan demikian, hal itu diharapkan bisa mengungkit pertumbuhan ekonomi yang telah melemah ini. Tentu saja secara normatif kebijakan itu tampak begitu ideal dan memecahkan beberapa masalah sekaligus. Namun, tentu saja pada realitasnya, kebijakan itu tak selalu menghasilkan hasil optimal. Dipastikan, ada berbagai efek negatif yang selalu muncul di setiap kebijakan yang bersifat deregulasi dan liberalisasi. Hanya, dampaknya tak selalu segara dirasakan, tapi baru muncul setelah sekian lama.

Investasi asing
Orientasi Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 10 ini memang merelaksasi berbagai sektor industri yang selama ini cenderung tertutup. Akibatnya, investasi asing tak leluasa masuk pada ekonomi domestik kita ini. Melalui revisi kebijakan, diharapkan investasi asing meningkat sehingga bisa mendorong dinamika perekonomian domestik kita. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan ada kenaikan realisasi investasi 2015 dari tahun sebelumnya sekitar 18%.

Sementara itu, izin prinsipnya naik kurang lebih 45%. Aliran modal asing langsung menjadi salah satu tumpuan harapan di tengah lesunya arus modal asing ke negara berkembang. Pada 2015 lalu, neraca pembayaran indonesia (NPI) mengalami defisit sebesar US$1,1 miliar. Padahal, pada 2014, NPI mengalami surplus sebesar US$15,2 miliar. Penyebab utamanya ialah melemahnya arus modal asing dalam neraca modal dan finansial (NMF). Jika pada 2014 NMF tercatat surplus US$44,9 miliar, pada 2015, NMF hanya mengalami surplus sebesar US$17,12 miliar.

Padahal, neraca transaksi berjalan yang merekam transaksi barang dan jasa terus mengalami tekanan. Memang total defisit transaksi berjalan pada 2014 (sebesar US$27,49 miliar) masih lebih besar ketimbang defisit pada 2015 sebesar US$17,7 miliar. Turunnya defisit transaksi berjalan bukan diakibatkan meningkatnya ekspor, melainkan penurunan impor yang lebih tajam. Dengan kata lain, fakta itu menunjukkan adanya gejala perlambatan ekonomi domestik. Perlambatan ekonomi domestik di tengah melemahnya arus modal asing menjadi kombinasi persoalan yang serius, ditambah dengan meningkatnya utang swasta domestik yang tentu menimbulkan peningkatan dalam kerawanan ekonomi domestik.

Sinyal peringatan dini (early warning system) mestinya mulai menunjukkan sinyal tak menggembirakan meski masih belum menyalakan tanda bahaya. Apa yang dialami perekonomian domestik kita ini sebenarnya ialah gejala umum di negara berkembang. Perbedaan terletak pada taraf keparahan di tiap negara. Jika dibandingkan dengan negara lain, perekonomian kita tergolong yang paling ringan mengalami hantaman masalah. Jadi, istilah krisis negara berkembang tak relevan disematkan pada perekonomian kita.

Namun, di berbagai negara berkembang lainnya, persoalan krisis benar-benar sangat riil. Selain disebabkan perekonomian yang terkoreksi tajam, beban utang luar negeri mereka juga meningkat drastis akibat jatuhnya harga komoditas di pasar dunia. Semakin tinggi ketergantungan sebuah negara terhadap sektor komoditas, semakin parah dampak yang dirasakan.
Perekonomian kita, meski terkena dampak negatif akibat penurunan harga komoditas, tak separah negara berkembang lainnya, seperti negara-negara di Amerika Latin dan Timur Tengah yang sangat bergantung pada harga minyak.

Sebagai negara pengimpor minyak, kita justru sedikit terbantu sehingga dampak penurunan harga komoditas terkompensasi dengan biaya energi yang juga surut.
Pemerintah, melalui perangkat kebijakannya, memang harus bermanuver mengendalikan ganasnya situasi sambil menemukan peluang untuk bertahan. Jika mungkin, kita harus keluar dari situasi dilematis ini. Paket kebijakan mulai Jilid 1 hingga 10 diarahkan untuk menemukan momentum agar perekonomian kita tak tergerus oleh perlambatan global.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya