Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Menakar Fungsi Pengawasan OJK

Haryo Kuncoro Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi PPs UGM Yogyakarta
17/1/2020 06:20
Menakar Fungsi Pengawasan OJK
(seebi.org)

SEKTOR asuransi nasional terus mendapat sorotan tajam belakangan ini. Kasus gagal bayar (default) beberapa perusahaan asuransi besar, ironisnya, terjadi di saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan tengah menggodok pembentukan lembaga penjamin polis (LPP).

Dari sini muncul tesis kasus gagal bayar perusahaan asuransi merupakan harga yang harus dibayar dari penundaan pembentukan LPP. Keberadaan LPP diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan terhadap industri asuransi. Lantaran, dalam kondisi yang sangat ekstrem polisnya tetap dijamin regulator keuangan.

Dalam perspektif teoretis, masalah finansial perusahaan asuransi di atas berawal dari kaidah asuransi sebagai wahana berbagi risiko (risk sharing). Nasabah dapat mengalihkan beban risikonya kepada lembaga asuransi melalui pembayaran premi. Saat risiko benar-benar terjadi, pemegang polis asuransi dapat mengklaim uang pertanggungan.

Tanpa jasa asuransi, nasabah harus menanggung sendiri risikonya. Kalkulasi dana untuk meng-cover risiko yang dihadapi niscaya lebih besar daripada kemampuan finansialnya. Berbasis pada kaidah probabilitas dan hukum bilangan besar (the law of large numbers), asuransi mulai menjalankan fungsi proteksi.

Jika klaim nasabah lebih besar dari premi yang terhimpun, lembaga asuransi harus mencari sumber pembiayaan lain. Dengan skema kerja ini, asuransi akan mengalokasikan dananya ke berbagai instrumen portofolio untuk mendapatkan imbal hasil. Semakin besar investasi yang dialokasikan, semakin tinggi pula ekspektasi pendapatannya.

Hasrat ekspansi ke berbagai macam bentuk investasi didukung informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara nasabah dan lembaga asuransi. Nasabah sangat minim informasi atas dananya yang disetor ke perusahaan asuransi sehingga tidak bisa ikut mengontrol ke mana alokasi portofolionya.

Informasi asimetri semacam ini potensial memunculkan perilaku sembrono (moral hazard). Indikasinya ialah keberanian perusahaan asuransi menanggung risiko berlebih guna mengejar imbal hasil yang lebih tinggi. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara kepentingan nasabah dan perusahaan asuransi itu sendiri.

Dengan logika di atas, industri asuransi terjebak dalam stigma mencari premi setinggi-tingginya. Karena itu, banyak perusahaan asuransi lewat agennya tidak bekerja sesuai standar. Agen diberi beban untuk mencari nasabah sebanyak mungkin sehingga asuransi bukan produk dibeli, tetapi dijual.

Agen asuransi

Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) mencatat kasus sengketa asuransi mayoritas disebabkan agen asuransi. Alhasil, perusahaan asuransi berat sebelah menonjolkan sisi kelebihan produknya sehingga banyak calon nasabah merasa 'dipaksa' untuk membeli asuransi.

Fakta lainnya, banyak modus marketing asuransi yang merugikan konsumen. Hal-hal penting yang harus diketahui konsumennya kadang dikaburkan, apalagi kalau marketing-nya lewat telepon. Bahkan, ada agen yang hanya membacakan polis dan mengisikan perjanjian kontrak polis pihak tertanggung.

Tumbuh suburnya praktik tidak sehat disokong pula pemahaman konsumen perihal dunia perasuransian yang masih dangkal. Kalaupun sudah 'melek asuransi', konsumen jarang yang secara teliti membaca detail hak dan kewajiban dalam polisnya. Konsumen hanya memercayakan kepada agen yang secara personal sudah dikenalnya.

Harus diakui, asuransi ialah bisnis kepercayaan dalam hal pembayaran klaim, alih-alih mencari premi. Dengan filosofi ini, perusahaan asuransi wajib memperhitungkan risiko calon tertanggung yang dilakukan penjamin (underwriter). Artinya, fungsi agen harus sejalan dengan peran penjamin.

Problem informasi asimetri juga eksis antara perusahaan asuransi dan instrumen portofolionya. Kebanyakan lembaga asuransi tidak memiliki informasi yang komprehensif atas instrumen portofolio pilihannya. Pengetahuan perusahaan asuransi terbatas hanya dari prospektus yang hanya ada di atas kertas.

Informasi asimetri semacam ini, lagi-lagi, memunculkan perilaku sembrono. Indikasinya ialah keberanian perusahaan asuransi menanggung risiko berlebih guna mengejar imbal hasil yang lebih tinggi. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara kepentingan nasabah dan perusahaan asuransi itu sendiri.

Pengawasan

Solusi untuk menekan moral hazard di sisi hulu dan hilir ialah pengawasan. Dengan alur logika ini, secara individual nasabah semestinya menjadi pengawas atas dana yang disimpan di lembaga keuangan (LK). Kalaupun hal ini bisa dilakukan, biayanya sangat mahal. Akibatnya, tidak satu pun nasabah yang mau melakukannya.

Keengganan nasabah mengawasi LK juga disebabkan 'penebeng gratis' (free rider). Nasabah lain yang tidak mengeluarkan biaya pengawasan bisa ikut menikmati manfaat. Alhasil, pengawasan menjadi kebutuhan kolektif semua nasabah dan menjelma jadi masalah kolam bersama (common pool problem).

Dalam konteks ini, OJK diinisiasi untuk menjalankan fungsi dasar supervisi. Sadar atau tidak, nasabah asuransi (sebagai prinsipiel) mendelegasikan pengawasannya kepada OJK (sebagai agen) agar tercapai skala efisiensi. Alhasil, OJK bertugas mengawasi perusahaan asuransi demi kepentingan pemegang polis.

Dengan alur logika prinsipiel-agen di atas, OJK perlu turun tangan membenahi industri keuangan nonbank ini dalam banyak aspek. Langkah pembukanya, OJK mesti melakukan kajian menyeluruh terhadap kontrak perjanjian standar polis antara konsumen dan perusahaan asuransi.

Asosiasi asuransi bersama OJK juga perlu menyeragamkan kontrak standar polis. UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen patut menjadi rujukan. Dengan koridor ini, tidak ada peluang bagi perusahaan asuransi menyerimpung hak konsumen yang secara sepihak menambah poin persyaratan saat pencairan klaim.

Dari sisi hilir, OJK juga perlu memantau alokasi investasi portofolio perusahaan asuransi. Pengawasan inilah yang barangkali agak sulit dilakukan. Alokasi investasi portofolio ialah informasi privat dan menjadi 'rahasia perusahaan' sehingga efektivitas peran pengawasan OJK sering digugat.

Sambil menunggu terbentuknya LPP, OJK juga diharapkan bisa terus aktif dalam mengedukasi masyarakat agar tingkat literasi terhadap industri asuransi bisa kian meluas. Jumlah perusahaan asuransi jiwa saat ini mencapai 62 dan asuransi umum 76 perusahaan ialah potensi besar dalam mendukung akselerasi pembangunan nasional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya