Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
REKONFIGURASI politik nasional yang terjadi dewasa ini, terutama disebabkan meluapnya dukungan politik baru sehingga pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) nyaris tanpa 'oposisi' lagi. Dukungan itu hadir dari sejumlah partai politik peserta Koalisi Merah Putih (KMP), sebuah kekuatan oposisional pasca-Pilpres 2014. Pemerintah kini tengah mengalami 'surplus dukungan', akankah ia memicu rekonfigurasi kabinet? Akankah ada menteri baru dari partai pendukung baru?
Konfigurasi politik nasional pasca-Pilpres 2014 hingga dewasa ini dengan sekali perombakan kabinet masih ditandai eksistensi dan peran partai-partai politik yang memiliki kursi kementerian. Mereka ialah PDIP, PKB, Partai NasDem, dan Partai Hanura. Mereka tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) meskipun kemudian berubah nama menjadi Partai-Partai Pendukung Pemerintah (P4). Di sisi lain, KMP tampak tidak solid, kalau bukan tidak dapat konsisten lagi mempertahankan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan, ketika PAN menyatakan mendukung pemerintah.
Demikian pula belakangan ini, dalam kerangka penyelesaian konflik internalnya, Partai Golkar juga menyatakan hal yang sama.
Langkah serupa juga dilakukan kubu Djan Faridz yang tengah berseteru dengan kubu Romahurmuzy di PPP. Maka, di KMP tinggal PKS dan Partai Gerindra yang masih tersisa.
The real oposition
Belakangan ini, PKS juga tampak bersikap sangat longgar ke pemerintah, dengan kunjungan para elitenya ke Istana. Adapun Gerindra, pascapertemuan Prabowo-Jokowi tak lama setelah pilpres usai, tampak tidak menampilkan dirinya sebagai the real oposition.
Di atas semua itu, pada praktiknya, KMP memang tidak dapat disebut sebagai sebuah kelompok 'oposisi' yang gigih dan konsisten untuk berbeda dengan sikap serta kebijakan pemerintah.
Hal tersebut ditunjukkan dalam berbagai proses penentuan kebijakan di DPR. Kendati demikian, posisi-posisi kunci kepemimpinan parlemen masih dipegang partai-partai KMP yang tampaknya masih membiarkan dirinya eksis sebagai 'paguyuban'. Apakah setelah rekonfigurasi politik terjadi, setidaknya masih sebatas membanjirnya dukungan politik ke pemerintah oleh sejumlah partai KMP, masa depan politik pemerintah akan terjamin stabilitasnya?
Hal ini bergantung pada pertanyaan selanjutnya, apakah rekonfigurasi politik demikian akan merekonfigurasi komposisi kabinet pula?
Hingga kini, isu reshuffle kabinet jilid kedua terkesan meredup, seiring tidak adanya pemicu yang mendesak, sebagaimana ketika perombakan jilid pertama dilakukan. Ketika itu pemicunya, kekhawatiran bahwa krisis ekonomi akan terjadi karena melemahnya nilai tukar rupiah.
Kini, kondisi ekonomi dunia tak lagi mencemaskan jika dibandingkan dengan yang lalu. Anjloknya harga minyak dunia, dalam aspek tertentu 'menguntungkan' pemerintah, setidaknya pihaknya tidak lagi dihadapkan pada situasi dilematis yang memaksanya menaikkan harga bahan bakar minyak. Kondisi ekonomi nasional dinilai telah berjalan normal kembali kendatipun ancaman resesi bukan berarti menghilang sama sekali.
Apakah perombakan kabinet ke depan, kalaupun Presiden Jokowi melakukannya, akan juga dipicu masalah ekonomi? Tampaknya tidak lagi demikian. Jokowi bisa mengalihkan isunya ke konteks evaluasi kinerja sebagai pemicu perombakan. Memang konsekuensinya ia akan dihadapkan hal-ihwal keseimbangan politik baru pascaperombakan kabinet. Apalagi, manakala kabinet baru memasukkan kader partai politik di luar P4.
Kegaduhan politik potensial bisa terjadi di titik ini, dipicu kekecewaan 'partai-partai asli' pendukung pemerintah yang berkurang kursi menterinya. Di sinilah konsep 'koalisi tanpa syarat' yang pernah dilontarkan Jokowi diuji kembali. Apakah Jokowi akan tetap membiarkan komposisi kabinet sebagaimana sekarang, dalam arti tidak akan mengutak-atik jumlah pos kementerian yang dimiliki partai-partai P4?
Dengan kata lain, apakah sejumlah partai yang memberikan dukungan dibiarkan tanpa konsesi jabatan menteri hingga 2019?
Apakah partai-partai non-P4 pendukung pemerintah akan naik posisi tawarnya sehingga tak mampu lagi mengerem Jokowi untuk tidak mengajak mereka duduk dalam kabinet? Semuanya masih akan ditentukan dinamika dan interaksi politik yang terus berkembang.
Struktur insentif
Konsolidasi politik pemerintah dewasa ini tengah mengalami perkembangan cukup pesat. Sekali lagi, ukurannya dukungan. Secara psikopolitik, pemerintah bisa lebih percaya diri dalam menggulirkan ragam kebijakannya. Maka, yang akan lebih banyak dihadapi pemerintah justru kritik-kritik langsung dari publik. Publiklah yang akan menjadi the real oposition.
Memang, dalam konteks ini, publik berdiri sebagai kelompok penekan, tetapi di era digital yang memungkinkan partisipasi opini politik dilakukan secara ekstra-cepat dan masif ini, mereka sering lebih efektif ketimbang kekuatan politik partai. Pemerintah dengan segenap resultan kepentingan partai-partai pendukungnya akan lebih berpeluang besar dalam memuluskan agenda-agenda kebijakannya di parlemen. Namun, lagi-lagi mereka akan berhadapan dengan opini publik.
Karena itu, menjadi menarik untuk mencermati, bagaimana kelak masalah revisi UU tentang KPK misalnya, berujung. Apakah publik akan menilai revisi itu makin menguatkan posisi KPK atau sebaliknya? Di level partai, tampaknya 'revisi' telah dianggap sebagai kebutuhan, tetapi tidak demikian halnya di ranah publik populer. Bagaimana Presiden Jokowi hendak menjembatani masalah ini? Dilema mungkin mengemuka di sini. Satu sisi aspek 'populisme politik' yang melekat dalam karakter kepemimpinan Jokowi menuntutnya tidak melawan arus opini publik.
Namun, di sisi lain, ia dihadapkan pada realitas tarik-menarik kepentingan di level elite yang melibatkan partai-partai. Dilema atau simpang jalan sesungguhnya merupakan hal yang wajar dihadapi pemimpin mana pun. Maka, bagaimana pemerintah mampu keluar dari dilema?
Itulah masalahnya.
Sesungguhnya, masalah utama yang dihadapi pemerintah terkait erat dengan konteks pengelolaan dukungan. Bagaimana ia mampu menciptakan 'struktur insentif' dalam mempertahankan tambahan dukungan, tetapi tidak menuai resistensi pendukung lama sehingga jalan keluarnya tidak harus ada menteri baru dari partai pendukung baru.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved