Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
"JIKA para pelajar mendapatkan pengajaran cukup tentang sejarah, efek sosial, dan dampak psikologis dari teknologi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang mengetahui bagaimana menggunakan teknologi dan bukan sebaliknya, generasi yang diperbudak teknologi."
Pada 1992, Neil Postman menyampaikan peringatan itu dalam buku Technopoly: the Surrender of Culture to Technology untuk menyoroti dampak media televisi terhadap masyarakat.
Peringatan yang sama itu tetap relevan hingga hari ini ketika dominasi media televisi semakin terkoreksi.
Kita menghadapi perubahan ekologi komunikasi massa sebagai akibat perkembangan luar biasa eksposur media internet dan teknologi smartphone (telepon pintar) ke berbagai lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Perdebatan tentang media sosial dan dampak-dampaknya, khususnya yang terkait dengan isu ujaran kebencian (hate speech), terorisme, dan ajaran fundamental agama, belakangan ini perlu dikaitkan dengan peringatan Neil Postman itu.
Pertama, jika terjadi kontroversi tentang dampak buruk media (apa pun bentuk media itu), reaksi yang jamak diperlihatkan pemerintah, DPR, dan penegak hukum ialah segera merumuskan perubahan regulasi, aturan baru, keputusan, atau edaran yang tendensinya memperketat kontrol terhadap media. Fokus perhatian ditujukan kepada pelaku atau operator media dan yang ditonjolkan ialah pendekatan kontrol.
Literasi media
Harus diakui reaksi semacam itu sering kali memang dibutuhkan. Namun, mengapa di saat yang sama kita mengabaikan pentingnya penanganan yang berfokus kepada masyarakat sebagai pengguna atau pengakses media? Mengapa pendekatan kontrol tidak dibarengi dengan pendekatan edukatif yang dikenal luas dengan istilah literasi media? Literasi media sejauh ini dianggap sebelah mata.
Literasi media selalu menjadi unsur penyedap rasa dari program-program pemerintah di bidang media dan teknologi informasi.
Jika pengaturan tentang operasionalisasi dan pelaku media ditetapkan dalam kebijakan resmi, literasi media umumnya hanya muncul dalam program-program yang bersifat komplementer, insidental, atau dikerjakan secara ad hoc.
Padahal, jika mempertimbangkan begitu besar ketergantungan masyarakat terhadap berbagai jenis media saat ini, sebenarnya sudah saatnya ada regulasi yang mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum pendidikan. Seperti yang telah dipraktikkan di Australia. Sejak di pendidikan dasar, anak-anak telah diajari bagaimana menonton televisi dan mengakses internet secara sehat dan ramah keluarga.
Sejak dini, kesadaran ditanamkan kepada generasi muda bahwa teknologi memang mempermudah hidup manusia, tapi bisa juga merusak jika manusia tidak mampu mengambil jarak darinya. Pelembagaan literasi media ini dapat terjadi karena khalayak media di 'Negeri Kanguru' itu diperlakukan sebagai publik, bukan sebagai semata-mata konsumen produk teknologi komunikasi.
Karena stasiun televisi mendapatkan izin dari negara, tentunya negara berkewajiban menyiapkan masyarakat agar mampu menghindari dampak negatif dan mampu menyerap dampak positif media televisi. Karena berbagai produk teknologi informasi diedarkan ke pasar dengan seizin pemerintah, pemerintah dan para produsen berkewajiban untuk menjelaskan disclaimer (sisi baik dan sisi buruk) perangkat teknologi informasi itu kepada masyarakat luas.
Strategi kebudayaan
Kedua, Indonesia ialah pasar yang luar biasa besar bagi berbagai produk perangkat teknologi informasi. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan pengguna internet di Indonesia 2015 diperkirakan mencapai 139 juta orang. Sebanyak 85% dari total pengguna internet itu mengakses internet dengan menggunakan perangkat smartphone.
Perlu ditambahkan, saat ini ada sekitar 266 juta kepemilikan smartphone di Indonesia. Indonesia telah menjadi pasar penjualan smartphone dan tablet terbesar di Asia Tenggara, dengan angka penjualan mencapai angka 61% dan 40% dari total penjualan pada 2014.
Para produsen dan distributor perangkat keras serta operator seluler meraih keuntungan besar dari bisnis ini.
Pemerintah menarik pajak.
Lalu bagaimana dengan masyarakat? Sejauh ini masyarakat seperti dibiarkan sendirian tanpa proteksi menghadapi terpaan berbagai bentuk produk teknologi komunikasi dan informasi itu. Pemerintah hanya mau menjadi peniup peluit jika ada pelanggaran dan memperketat kontrol jika muncul tekanan opini publik.
Para pelaku bisnis teknologi komunikasi-informasi masih memperlakukan masyarakat sekadar sebagai konsumen sehingga pemberdayaan dan pendampingan masyarakat belum menjadi prioritas mereka. Literasi media di era digital ialah sebuah keharusan. Masyarakat, khususnya generasi muda sebagai proporsi terbesar pengakses internet dan pengguna smartphone, harus dibekali dengan pengetahuan memadai tentang sisi baik maupun sisi buruk dari teknologi informasi yang mereka gunakan.
Bagaimana menggunakan smartphone secara smart? Berapa lama dan untuk apa saja kita sebaiknya menggunakannya dalam sehari?
Bagaimana menyeimbangkan kebebasan berbicara di media sosial dengan penghargaan terhadap harkat-martabat orang lain? Bagaimana agar para netizen tidak bersikap reaktif, apriori, mudah menghakimi orang lain, dan sanggup menerima perbedaan pendapat sebagai keniscayaan di ruang publik?
Bagaimana menghindari ujaran-ujaran kebencian baik sebagai pengirim maupun penerima pesan? Pendekatan kontrol untuk mengeliminasi dampak-dampak media tidak akan efektif jika tidak ada proses pengondisian masyarakat. Perubahan atau pengetatan regulasi harus benar-benar dibarengi dengan gerakan untuk mendidik masyarakat agar menjadi melek media dan teknologi.
Gerakan media literasi ini sudah saatnya dilembagakan menjadi agenda resmi nasional. Merujuk pada peringatan Neil Postman tadi, pengajaran tentang genealogi, sejarah, peran sosial, dan bias-bias psikologis dari teknologi komunikasi-informasi semestinya menjadi bagian integral dari strategi kebudayaan nasional.
Urusannya sungguh serius di sini; generasi muda dengan karakter dan etos seperti apakah yang akan memimpin negeri ini di era digital ke depan? Pemerintah perlu memikirkan benar masalah yang muncul pada aras literasi media ini dan bagaimana penanganannya.
Demikian juga dengan para pelaku bisnis di bidang komunikasi dan informasi.
Mereka memiliki kewajiban moral untuk mendidik masyarakat agar melek media dan teknologi, dan tidak sekadar menjadi objek pemasaran dan penjualan produk-produk teknologi informasi terbaru. Media massa jelas tidak bisa berdiam diri dalam masalah ini.
Ada peran besar yang mengikuti untuk ikut mendidik masyarakat.
Setidaknya, dengan usianya yang kini 70 tahun (9 Februari 1946-9 Februari 2016), media massa ikut bertanggung jawab di dalamnya agar tercipta masyarakat yang terdidik di era digital. Selamat Hari Pers Nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved