Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PADA periode pertama kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo, beberapa kali, suka ngasih tebak-tebakan kepada murid sekolah untuk menyebutkan nama-nama ikan. Tidak banyak, cukup lima dan berhadiah sepeda.
Dari beberapa siswa yang maju, jarang yang bisa menjawabnya dengan benar. Entah gugup atau memang tidak tahu.
Barangkali jika ditambah lima lagi, orang dewasa pun kesulitan menyebutkannya. Jangan-jangan jenis ikan yang biasa terhidang di meja makan saja yang kita tahu, seperti mujair, teri, dan tongkol.
Tahukah kita, misalnya, ikan Napoleon dan berapa harga per kilo-nya di pasar internasional?
Asal tahu saja, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jenis ikan hias yang bisa dikonsumsi dan hidup di perairan Indonesia ini, di Beijing, Tiongkok, dihargai hampir Rp5juta/kg untuk yang berbobot 1,5-2,5 kg.
Lantaran harga yang cukup menggiurkan, perburuan ikan jenis ini meningkat sehingga populasinya menyusut. Apalagi, penangkapan ikan ini umumnya menggunakan racun sianida. Habitat dan ekosistem terumbu karang pun ikutan rusak.
Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan sampai perlu mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon. Melalui ketetapan ini, hanya ukuran tertentu saja yang boleh diperjual-belikan.
Itu baru salah satu jenis ikan, belum jenis-jenis lainnya.
Di perairan Indonesia yang luas ini, ada jutaan jenis ikan. Tentunya butuh tata kelola perikanan yang lebih baik, agar aset yang terkandung di dalam perairan laut kita bisa lebih bermanfaat dan juga berkelanjutan.
Atas dasar pertimbangan inilah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional menggelar workshop Perikanan Berkelanjutan di Kuta, Bali, 11-12 Desember 2019.
Melalui event ini, para stakeholder di bidang perikanan, termasuk para pakar, berdiskusi mengenai tata kelola perikanan.
Kita tentunya berharap, dari forum ini lahir strategi maupun inovasi sehingga industri perikanan di negeri ini tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tapi juga dapat menunjang percepatan pembangunan ekonomi nasional.
Sebagai bangsa maritim yang 70% wilayahnya adalah lautan, perairan Indonesia tentunya menyimpan potensi kekayaan alam yang tidak sedikit. Bukan cuma minyak, tapi juga ikan, terumbu karang, rumput laut, dan sebagainya. Sayang jika semua potensi ini tidak tergarap maksimal.
Tentunya pengelolaannya harus baik dan memerhatikan seluruh aspek, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun lingkungan. Jangan main asal larang seperti penggunaan kapal cantrang yang dulu diprotes lantaran dianggap mematikan kehidupan nelayan kecil.
Oleh karena itu, pelibatan para pakar dari berbagai disiplin ilmu sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan penggunaam teknologi. Industri perikanan sudah saatnya modern. Jangan sampai kalah dari Malaysia dan Vietnam.
Saya kira apa yang dilakukan Jokowi bertanya nama-nama ikan kepada anak-anak sekolah, bukan sekadar iseng. Bukankah ada pepatah tak kenal maka tak sayang?
Bagaimana mau membangun daerah jika potensi yang ada di wilayahnya saja tidak tahu. Bagaimana mau memelihara dan membudidayakannya, jika namanya saja tidak tahu. Pemahaman wawasan Nusantara ini mesti diajarkan sejak dini agar tumbuh rasa cinta.
Bangsa ini, seperti dikatakan presiden di berbagai kesempatan, sudah terlalu lama memunggungi laut. Padahal, dalam nyanyian yang diajarkan di sekolah dasar, nenek moyang bangsa ini selalu diagung-agungkan sebagai bangsa pelaut. Namun, ironisnya, kehidupan nelayan kita hingga hari ini tetap marjinal.
Saya kira sudah semestinya lagu itu digaungkan kembali sebagai
pemantik semangat, terutama bagi para stakeholder di bidang kelautan dan perikanan, untuk mengelola seluruh potensi bahari demi masa depan anak cucu, bukan lagi sebatas kidung romantika masa lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved