Membangun Kesadaran Kota Bebas Banjir

Nirwono Joga, Koordinator Kemitraan Kota Hijau
05/2/2016 00:00
Membangun Kesadaran Kota Bebas Banjir
(ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

MEMASUKI puncak musim hujan, banjir telah menenggelamkan berbagai kota/kabupaten di Nusantara, terutama di Sumatra dan Jawa. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim turut meningkatkan intensitas hujan dan curah hujan terhadap bencana banjir. Kini nyaris tidak ada kota/kabupaten dan kawasan perkotaan yang bebas banjir. Tidak ada lagi pengembang yang berani menyatakan kawasan perumahannya bebas banjir. Pemerintah dan sebagian masyarakat masih beranggapan hujan ialah penyebab tanah longsor dan banjir.

Gambaran traumatis masyarakat terhadap banjir ialah menenggelamkan permukiman, menggenangi jalanan, menghanyutkan jembatan, dan memutuskan arus lalu-lintas sehingga menghentikan aktivitas warga dan melumpuhkan perekonomian kota. Gambaran itu seolah mempertegas sikap untuk menghindari hujan. Prinsip yang dianut ialah bagaimana membuang air hujan secepat-cepatnya ke saluran air, masuk ke sungai, kemudian langsung dibuang ke laut.

Pemerintah menormalisasi (lebih tepatnya betonisasi) bantaran sungai dengan cara membuat sodetan dari kali ke sungai/kanal terdekat, rencana terowongan air bawah tanah, dan penguatan saluran air langsung ke sungai terdekat. Sementara itu, di Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sekelompok warga, ratusan seniman, dan siswa/i sekolah dasar berkolaborasi menari lincah dan bersukacita dalam Festival Hujan Internasional ke-2 (9/1).

Mereka mentas di kandang kerbau, kolam ikan, panggung terbuka, dan tanah lapang, di bawah rintik hujan. Mereka ingin mensyukuri hujan. Hujan selayaknya dipandang sebagai berkah yang membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia karena dapat ditampung sebanyak-banyaknya oleh bumi agar dapat diserap sebesar-besarnya ke dalam tanah (ekodrainase).

Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, kesadaran akan pentingnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) harus dipahami pemda. Provinsi, kota, dan kabupaten yang sudah mengesahkan perda tentang RTRW ialah provinsi (51%), kota (72%), dan kabupaten (62,6%). RTRW harus menjadi acuan dan alat pengendali pembangunan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Kedua, pemda harus memetakan alur sungai utama, sungai pendukung, sebaran daerah tangkapan (waduk, danau, situ), dan daerah resapan (taman, hutan kota, kebun raya) di sepanjang hulu hingga hilir, dari puncak gunung sampai tepi pantai.

Peta kawasan rawan dan risiko banjir disebarkan ke tingkat kecamatan, kelurahan, RT/RW, dan masyarakat. Ketiga, pemda mengecek ulang regulasi peruntukan lahan (RTRW) dan legalisasi kepemilikan (sertifikat lahan) di sepanjang badan sungai, daerah tangkapan, dan daerah resapan (negara, perusahaan, warga). Pemda segera berkoordinasi dengan lembaga terkait, membeli atau mengembangkan lahan bersama perusahaan, atau mempermudah penggantian sertifikat kepemilikan.

Pastikan peruntukan lahan ialah konservasi RTH. Keempat, pemda melibatkan pemangku kepentingan (akademisi, asosiasi, pengembang, komunitas masyarakat) untuk duduk bersama mencari terobosan kreatif, inovatif, manusiawi, dan berkelanjutan. Pemimpin daerah menugasi dinas terkait untuk menyosialisasikan program peremajaan kawasan, merelokasi warga, dan menghijaukan bantaran sungai, daerah tangkapan, serta daerah resapan menjadi taman dan jalur hijau. Kelima, pemda menaturalisasi sungai, bukan normalisasi.

Naturalisasi dilakukan dengan cara betonisasi, pelurusan badan sungai, kanalisasi, dan pembuatan sodetan yang bertujuan mempercepat aliran air ke laut. Badan sungai harus dikembalikan ke bentuk alami, lebar penampang melintang harus bervariasi, dan ditumbuhi tanaman sebagai habitat ekosistem tepian sungai (reptil, mamalia, amfibi, ikan, burung, dan serangga). Tanaman berfungsi sebagai hidrolis ekologis alami, mencegah erosi dasar dan tebing sungai, serta meredam kecepatan aliran.

Muka air yang naik dan menggenangi bantaran dibutuhkan tanaman untuk kelangsungan ekosistem tepian sungai. Keenam, pemda merevitalisasi daerah tangkapan air dari tempat pembuangan sampah dan limbah (rumah tangga), ledakan gulma (enceng gondok), pendangkalan akibat pengendapan lumpur, dan pelanggaran tata ruang (rumah liar, bangunan komersial). Waduk, danau, dan situ dikeruk dari 1-2 meter menjadi 5-7 meter atau lebih dalam dan diperlebar agar kapasitas daya tampung besar.

Tepian badan air jangan diperkeras dengan batu kali dan beton, tetapi dengan tanaman tepian air agar tidak mudah erosi. Itu dilakukan untuk melestarikan ekosistem tepian air. Waduk dan danau dibangun di kawasan rentan banjir, di bagian tengah, dan hulu kiri-kanan alur sungai hingga tepi pantai untuk mengurangi debit air hujan yang masuk ke sungai. Ketujuh, pemda harus menyusun rencana induk saluran air yang menggambarkan peta jaringan dan hierarki saluran. Rehabilitasi saluran air makro (kota, berdiameter 5 meter, meso kawasan, 3 meter), dan mikro (lingkungan, 1 meter) diiringi dengan penataan jaringan utilitas terpadu (pipa gas, air bersih, air limbah; kabel listrik, telepon, serat optik).

Pembersihan sampah dan lumpur, penertiban bangunan di atasnya, dan pembuatan sumur resapan juga harus dilakukan. Kedelapan, pemda harus memperbanyak taman kota, hutan kota, hutan mangrove, kebun raya, dan lapangan olahraga. Taman waduk, danau, dan situ menjamin pelestarian habitat satwa liar dan keanekaragaman fauna (edukasi), menciptakan iklim mikro udara (ekologis), ruang bermain dan rekreasi (sosial), meningkatkan nilai properti (ekonomi), dan tempat evakuasi. Kesembilan, warga yang bermukim di bantaran kali dan tepian waduk atau situ diajak untuk secara sukarela bergeser ke permukiman bebas banjir. Pemerintah menggerakkan masyarakat untuk membuat sumur resapan di halaman rumah, kolam penampung di area parkir perkantoran dan pusat perbelanjaan, serta menanam pohon di taman dan jalur hijau.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya