Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Mencegah Asap, Memanen Energi

Oki Muraza Associate Professor di King Fahd University of Petroleum And Minerals, Arab Saudi
26/9/2019 02:40
Mencegah Asap, Memanen Energi
Opini(MI/Seno)

KABUT asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan telah menjadi bencana nasional dan mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional.

Kabut asap ini tidak hanya memengaruhi kehidupan rakyat Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, tapi juga seluruh penduduk Sumatra, Kalimantan, bahkan Malaysia dan Singapura.

Korban penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) semakin banyak, mencapai angka puluhan ribu korban. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mempelajari bagaimana mencegah karhutla ini di masa depan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan bahwa 99% dari karhutla ini akibat kesalahan manusia. Secara umum, penyebab karhutla dapat dibagi dua. Pertama, pembukaan lahan gambut (land clearing). Kedua, peremajaan kebun sawit (replanting). Mengingat pemerintah sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, beberapa paragraf berikut ini hanya akan mendiskusikan usulan untuk membuat beberapa program nasional untuk mengolah pohon tua sawit saat akan melakukan peremajaan kebun sawit.

Teknologi untuk membuka lahan baru secara lestari (sustainable land clearing) dan pentingnya menjaga lahan gambut akan didiskusikan pada tulisan lain.

Luas perkebunan kelapa sawit (elaeis guineensis) di Indonesia saat ini lebih dari 14.6 juta hektare (ha). Setiap tahun, setidaknya ada sekitar 400 ribu ha kebun yang membutuhkan replanting untuk pohon sawit yang berumur 20-25 tahun.

Salah satu permasalahan saat peremajaan kebun sawit ialah bagaimana mengolah batang pohon sawit yang sudah berumur tua. Batang pohon tua sawit ini sebenarnya dapat diolah menjadi produk unggulan, mulai plywood hingga glukosa bahan baku industri makanan.

Sehubungan dengan status Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi darurat energi (BPPT, 2018), berikut ini akan dipaparkan potensi pohon tua sawit sebagai sumber energi untuk mengurangi beban impor energi.

Ada tiga rute pengolahan pohon tua sawit menjadi energi. Pertama, biomass pellet sebagai bahan bakar padatan (solid fuel). Kedua, glukosa sebagai pencampur bensin. Ketiga, rute thermal melalui gasifikasi untuk pembangkit listrik tenaga biomassa.

 

Bahan baku biomass pellet

Pohon sawit tua ialah bahan baku untuk produksi bahan bakar padatan (biomass pellet). Dengan tingginya angka impor liquified petroleum gas (LPG) untuk kebutuhan rumah tangga, diharapkan pemerintah dapat memecah kebutuhan besar LPG dengan memproduksi kompor biomassa (biomass cooking stoves), produksi dimethylether (DME), dan kompor listrik.

Saat ini kompor biomassa dengan desain yang modern dan teroptimasi sudah dapat mengurangi emisi dengan efisiensi pembakaran yang sangat baik. Beberapa universitas di Tanah Air bahkan sudah mampu membuat kompor biomassa yang efisien, antara lain Universitas Brawijaya (oleh tim yang dipimpin Prof Dr M Nurhuda).

Dengan program nasional Kompor Biomassa, sebagian produksi sampah pertanian dan perkebunan seperti pohon tua sawit dapat diserap sebagai sumber energi, di saat yang bersamaan mencegah musibah asap dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini Indonesia impor LPG dengan nilai Rp40 triliun per tahun atau 70% dari pasokan LPG nasional.

Jika sepertiga kebutuhan LPG diganti dengan bahan bakar padatan, puluhan triliun rupiah dapat dihemat setiap tahunnya. Dengan asumsi PT Bukit Asam akan mulai mengoperasikan pabrik coal-to-DME di 2022, Indonesia akan mampu swadaya energi untuk sektor rumah tangga dalam jangka lima tahun mendatang.

 

Bahan baku campuran bensin

Secara umum, pohon sawit merupakan lignocellulose yang terdiri atas cellulose, hemicellulose, dan lignin. Pohon sawit tua mengandung 65% hingga 80% holocelloluse yang dapat dipecah menjadi glukosa (glucose). Glukosa berpotensi diolah menjadi ethanol dan furan yang merupakan bahan pencampur bensin (gasoline). PT Pertamina dikabarkan impor minyak bumi dan BBM lebih dari Rp 200 triliun per tahun.

Sejak November 2014, Indonesia merupakan negara pengimpor bensin terbesar di dunia. Dengan semangat mencampur diesel dari minyak bumi dengan biodiesel dan green diesel, kita tentu perlu juga memikirkan bagaimana mengurangi impor bensin untuk meningkatkan ketahanan energi negara. Glukosa dari pohon sawit tua yang dikonversi menjadi bioethanol, furan, dan asam levulinat (levulinic acid) yang berpotensi untuk mengurangi impor BBM.

Amerika Serikat sudah sukses memperkenalkan bensin yang dicampur dengan 10% ethanol (E10) dan sedang mengembangkan 2-methyltetrahydrofuran (MTHF) sebagai fuel additive. Yang masih merupakan tantangan ialah teknologi yang ekonomis untuk hidrolisa (hydrolysis) proses untuk mengubah cellulose menjadi glukosa.

Perlu dipelajari jenis hidrolisa yang paling cocok dan paling ekonomis untuk memproduksi glukosa, apakah dengan asam cair atau dengan menemukan enzim yang murah meriah. Ada banyak produk akhir yang dapat dikembangkan dari glukosa, termasuk biodegradable plastic.

Teknologi pengolahan minyak sawit dan sampah biomassa ada dua penelitian strategis yang harus terus dikembangkan hingga mencapai tahap komersialisasi yang mencakup kesiapan teknologi, keunggulan ekonomis, dan keramahan pada lingkungan.

 

Gasifikasi biomassa

Pohon tua sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk gasifikasi biomassa untuk memproduksi listrik. Dengan suksesnya pembangkit listrik tenaga biomass (PLTBm) di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, kini pemerintah diharapkan terus memberikan insentif untuk PLTBm.

Perkebunan sawit dapat menjadikan energi sebagai produk tambahan (byproduct) selain CPO. Pembiayaan, yang menjadi tantangan PTLBm dapat dinegosiasikan dengan pengelola industri sawit. Beberapa negara seperti Finlandia berhasil menjadikan biomassa, khususnya kayu sebagai sumber energi.

Dengan semakin menipisnya sumber batu bara Indonesia, bahan bakar kayu dapat mulai secara berangsur sebagai sumber energi di pembangkit listrik yang mengandalkan pasokan batu bara. Setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, wood pellet juga merupakan produk ekspor yang diminati Jepang, selain cangkang sawit (palm kernel shell).

Selain untuk kebutuhan energi, pohon tua sawit tentu memiliki banyak manfaat. Dengan ratusan triliun rupiah kerugian musibah karhutla beberapa tahun lalu, Indonesia membutuhkan program nasional pemanfaatan pohon sawit tua.

Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat karhutla di 2015 mencapai Rp221 triliun (US$16 juta) untuk kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 2,6 juta hektare.

Proyek riset strategis yang diharapkan menjadi prioritas pemerintah pusat, pemda, industri, dan akademisi. Jika teknologi pengolahan pohon sawit tua mencapai tahap komersial di tahun-tahun mendatang, rakyat akan mendapatkan banyak lapangan pekerjaan, lingkungan yang aman, tidak ada asap lagi di akhir tahun, dan industri sawit diuntungkan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya