SEMARAK peringatan HUT ke-74 kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2019 masih terasa hingga tulisan ini dibuat. Di kawasan perkantoran ibu kota hingga perkampungan kota/kabupaten di tepian kota besar, ragam perlombaan pun digelar.
Tidak hanya itu, momentum pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan wakil rakyat pada 16 Agustus 2019 masih relevan untuk diperbincangkan. Selain perihal permohonan izin kepada parlemen untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan, Jokowi juga menyampaikan RUU tentang APBN tahun anggaran 2020 beserta nota keuangan.
Dalam RUU itu terungkap asumsi dasar ekonomi makro sebagai landasan anggaran tahun depan, di antaranya pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 3,1%, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp14.400/dolar AS. Kurang dari satu pekan, DPR menggelar rapat paripurna yang bertujuan mendengarkan pandangan umum fraksi-fraksi atas RUU tentang APBN 2020. Selain dukungan terhadap RAPBN 2020 yang berfokus pada peningkatan kapasitas SDM, ada pula kritik yang disampaikan Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS.
Pertumbuhan ekonomi dan inflasi
Tahun depan, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Prediksi itu lebih rendah jika dibandingkan dengan target yang tertera dalam APBN 2014, yaitu 5,4%. Asumsi itu masuk akal di tengah gejolak perekonomian global yang dipicu berbagai hal, mulai perang dagang antara AS dan Tiongkok, Brexit, resesi di sejumlah negara besar macam Jerman, hingga ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Beberapa waktu lalu, IMF memangkas pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,1% menjadi 3,2% untuk tahun ini dan 3,5% untuk tahun depan. Apabila pertumbuhan ekonomi dunia dipangkas, berdampak kepada semua negara, termasuk Indonesia. Untuk tahun ini, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2% atau lebih rendah 0,1% jika dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya.
Demi mencapai target pertumbuhan ekonomi itu, konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utama harus dikawal ketat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto Indonesia, yaitu 56%-an. Disusul komponen pembentukan modal tetap bruto sekitar 32%-an.
Bicara konsumsi, maka tak dapat dilepaskan dari tingkat inflasi. Semakin rendah inflasi, daya beli masyarakat makin terjaga. Muara dari itu semua ialah konsumsi yang tetap stabil. Tahun depan, inflasi diproyeksikan berada pada level 3,1%. Asumsi itu lebih rendah daripada target dalam APBN 2019 sebesar 3,5%. Dalam beberapa tahun terakhir, realisasi inflasi dalam APBN lebih rendah ketimbang target. Terbaru pada tahun lalu, realisasinya tercatat 3,13%, sedangkan targetnya 3,5%.
Inflasi rendah selalu dipandang dari dua sisi oleh berbagai kalangan. Sudut pandang pertama menilai hal itu menunjukkan daya beli menurun. Sudut pandang kedua menilai harga-harga rendah sehingga daya beli positif. Penulis lebih memilih sudut pandang kedua dan target inflasi 3,1% pada tahun depan amat sangat mungkin tercapai. Semua dengan catatan sinegi semua pihak terus ditingkatkan. Sudah ada wadah yang soliditasnya teruji, yakni tim pengendali inflasi pusat (hingga level daerah).
Memang ada tantangan yang tidaklah ringan. Apalagi El Nino diramalkan masih 'gentayangan' hingga Januari 2020. Semua itu bakal berefek kepada produksi pangan, terutama beras yang notabene menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Harga beras yang terkerek akan membuat daya beli tertekan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan antisipasi, mulai penyiapan stok demi operasi pangan hingga impor dari negara-negara tetangga macam Vietnam hingga India agar harga terkendali.
Nilai tukar rupiah
Dalam pidato kenegaraan, Jokowi mengatakan nilai rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar AS. Asumsi itu ditetapkan dengan melihat kondisi eksternal yang masih dibayangi ketidakpastian. Namun, yang pasti, penurunan pertumbuhan ekonomi dunia telah 'memaksa' bank sentral di sejumlah negara menurunkan suku bunga acuan. Tidak terkecuali Bank Indonesia (BI) yang dalam dua bulan belakangan telah menurunkan bunga acuan menjadi 5,5%.
Jika melihat kelaziman, seyogianya penurunan itu membuat aliran modal tak mengalir kencang karena suku bunga rendah tidaklah menarik bagi investor. Kenyataannya berbeda. BI justru mencatat aliran modal asing yang deras hingga mencapai Rp192,5 triliun per Juli 2019. Sementara itu, rupiah sampai dengan 21 Agustus telah menguat 0,98% dari pada level akhir 2018.
Semua itu menunjukkan tingginya kepercayaan investor, terutama asing, terhadap perekonomian Indonesia. Penulis menilai hal tersebut berkorelasi erat dengan telah berakhirnya pemilu, khususnya Pilres 2019. Di mata investor, sudah ada gambaran dalam pemerintahan ke depan. Infrastruktur yang gencar akan terus dilanjutkan, ditambah fokus pengembangan SDM menuju Indonesia Maju yang dicita-citakan masyarakat Indonesia.
Ketiga asumsi dasar ekonomi makro di atas memang masih bisa berubah. Itu karena setelah rapat paripurna, Kamis (22/8), akan digelar berbagai rapat, baik di tingkat komisi maupun Badan Anggaran DPR RI sebelum ketok palu pada Oktober nanti. Kendati demikian, patut ditarik kesimpulan bahwa asumsi dasar ekonomi makro yang diajukan pemerintah telah memperhitungkan gejolak perekonomian dunia. Harapannya tentu gelombang ketidakpastian nanti dapat diarungi dengan mulus. Semoga.