Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
MENGAPA aku menjadi teroris? Di usiaku yang baru sedikit bergeser dari seperempat abad, mengapa aku tidak peduli tubuhku berkeping karena bom yang sembunyi di balik jaketku? Hal terpenting bagiku, mampu meledakkan kenyataan yang bagiku salah, jahat, dajjal, dan jahil. Karena aku percaya, dan tahu, dengan ledakan itu aku akan terbebas dari segala kejahilan hingga jiwaku suci dan cukup berharga untuk menjadi penghuni tempat hanya kebaikan yang terjadi, tempat Ia bersinggasana.
Tapi bagaimana aku bisa menjadi teroris? Aku tak tahu. Menurutku, aku tidak berbeda dengan umumnya anak-anak lain yang tumbuh di negeri ini. Sekolah, ngaji, main dengan teman-teman, dan sesekali kumpul keluarga untuk makan malam bersama. Orangtua memang tradisional, cara hidup hingga cara berbahasa. Tapi itu di antara mereka saja, mungkin dengan para orangtua lainnya.
Aku sendiri? Tumbuh biasa, dalam bahasa nasional dan pergaulan yang, tentu saja seperti diinginkan orangtua, modern. Aku mengenali dan belajar handphone, misalnya, dari milik ayahku, sejak kelas satu es de. Umur sembilan tahun aku sudah piawai memainkan LCD touch screen, mencari aplikasi-aplikasi menarik sesuai dengan usiaku. Sesekali menengok, tentu saja, aplikasi untuk yang lebih dewasa. Asyik. Umur sepuluh aku sudah bisa mengendarai motor. Kelas enam es de Ibu bahkan menyuruhku ke warung membeli kebutuhan rumah tangga dengan sepeda motor.
Dengan itu semua kemudian aku berkembang, hingga mahasiswa: gadget, internet, program televisi ratusan channels dengan pay TV, pergaulan bermotor, dan game dengan berbagai jenis serta peruntukan. Lewat game dan internet aku familier bahkan hafal banyak jenis senjata dengan spesifikasinya.
Terbiasa bahkan cenderung bergairah dengan film action dengan tangan bahkan dada memuncratkan darah saat dipotong pedang, belati menembus mata hingga belakang kepala, atau 30 mobil hancur terbakar, atau tubuh yang luluh lantak dalam ledakan film-film perang Hollywood.
Tentu, aku tak mau ketinggalan oleh teman-teman ngopi atau sahabat di medsos, selalu mengikuti berita-berita mutakhir, baik yang keras maupun isapan jempol. Semua terpilin dan terjalin jadi pengertian. Pengertian apa? Sesungguhnya, aku tidak mengerti. Sekolah, guru ngaji atau tradisi orangtua tidak memberiku bekal perangkat yang bagus untuk bisa memahami berita atau data yang luar biasa banyaknya itu. Big Data, kata ahlinya. Jadi, jujur saja, walau sering sok berpendapat bahkan sok tahu saat ngobrol, aku tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Apa dan bagaimana hidup atau dunia yang kujalani ini. Bingung. Absurd, kata teman mahasiswaku yang aktivis.
Terus terang saja, aku merasa lebih nyaman dengan dunia virtual yang belasan tahun aku masuki. Lewat komik Jepang, animasi, serial Korea hingga Turki, atau dunia ajaib dan misterius yang bertebar di Youtube.
Hingga aku akhirnya merasa kaget, bingung, tidak tahu arah dan harus apa, saat aku sejak mahasiswa berhadapan langsung kehidupan yang kata orang nyata, tapi semua tidak sesuai dengan yang kubayangkan, kuidealkan atau aku merasa menjadi 'sesuatu' alias 'seseorang' dalam dunia virtualku. Aku tidak suka kenyataan itu. Beberapa hal bahkan membuatku benci dan marah. Aku galau, bete, gabut, lebay dan baper.
Aku mau jadi sarjana, tapi aku tak tahu harus berbuat apa, akan jadi apa setelahnya?
Dunia khaos
Kisah di atas anonim tokohnya. Tidak penting nama, tapi justru kejadiannya yang mesti diakui dianggap umum bahkan lumrah di masyarakat. Umum dan lumrah ialah dasar sebuah norma, dan menjadi moralitas ketika ia disepakat sebuah konsensus dari para tokoh masyarakatnya. Kisah panjang yang umum di atas menjadi krusial ketika kita mau tak mau menyadari realitas psikologis kita, sebagai manusia atau sebagai bangsa, bernama Indonesia.
Realitas itu bukanlah fakta yang menggembirakan. Realitas mental manusia atau bangsa yang inkapabel merumuskan diri dan kenyataan yang ada di sekitarnya. Bahkan untuk menciptakan hubungan bermakna (significative relation) di antara dua atau lebih data/peristiwa yang menghujani kita di tiap detiknya. Perangkat ilmu di sekolah tak cukup, agama terasa tak memadai, tradisi jauh sekali, pemerintah tak mengerti, pejabatnya tidak peduli. Ini bukan sebuah absurditas, melainkas kekacauan yang cenderung khaotik di tingkat mental, berimbas ke tingkat intelektual bahkan spiritual.
Hidup pun kehilangan acuan, ketika semua otoritas tradisional (guru, orangtua, rohaniwan, seniman, hingga pejabat pemerintahan) mengalami degradasi karena justru perbuatan sebagian dari mereka yang melanggar otoritas mereka sendiri.
Ketiadaan acuan--yang bersifat abstrak seperti nilai, norma, moralitas atau etika--ialah alasan untuk lenyapnya figur-figur yang bisa menjadi role model atau ideal type. Apa yang disebut anak muda galau atau bete, enggak jelas orientasi atau gabut, sehingga sering bertindak kacau alias lebay dan sangat emosional atau sensitif alias baper, sebenarnya juga menjadi identitas psikologis kita bersama.
Inilah situasi labil yang biasanya melanda kaum remaja dalam proses pendewasaan dirinya. Namun, kini juga terjadi secara masif, bahkan juga di kalangan orangtua bahkan orang yang berilmu (apa pun). Bagi mereka yang masih terbatas debu pengalaman hidupnya, labilitas psikis itu ialah ruang rapuh tempat intervensi 'ideologis' apa pun dapat masuk dan memengaruhi dengan cara mudah. Mari kita memeriksa diri masing-masing, seberapa kuat dan hebat alat penangkal telah kita berikan atau wariskan pada anak-anak kita menghadapi situasi semacam di atas?
Bangsa mediokratik
Karena itu, tidak perlu lagi kita beretorika tentang kekerasan atau terorisme tidak memiliki akar kulturalnya di negeri ini. Itu sangat benar. Tapi apa yang telah diberikan kebudayaan kita, diwakili tradisi setiap suku bangsanya, sebagai bekal para ahli warisnya untuk menghadapi dunia yang selalu menjadi preseden bagi tradisi itu? Nil. Kosong. Kenapa? Karena kita sesungguhnya secara kolektif juga sudah tidak lagi menghargai apalagi mengikuti tradisi-tradisi itu, kecuali sebagai proforma, semacam upacara-upacara genit yang sudah menjadi mayat karena kehilangan rohnya.
Tidak perlu lagi kita berlagak optimistis bila kita sangat siap menghadapi dunia persaingan bebas, MEA, dan seterusnya. Karena manusia atau bangsa dengan etat psikologis seperti sulit untuk melahirkan kesejatian, pribadi yang berintegritas, jadi anutan, kecuali segerombolan medioker yang sudah merasa bisa (bahkan ahli) sebelum ia terbiasa.
Kekuatan bangsa, mana pun dan kapan pun, tidak diukur pencapaian-pencapaian fisik atau materialnya, seperti jalan-jalan yang mulus, gedung tinggi, bendungan hebat atau bandara yang cantik, tapi oleh manusia yang ada di baliknya, yang menciptakan dan mengoperasikan. Apa yang dapat diandalkan dan dibanggakan bila semua yang fisik itu sesungguhnya hanya tetiron, aplikasi, konsumsi, dan sikap tengik yang sok tahu?
Inilah persoalan utama kita, pembangunan yang katanya hebat ini: manusia. Kita selalu beranggapan, mazhab pembangunan yang berkonsentrasi pada infrastruktur dan fasilitas akan menciptakan manusia. Saya kira itu sikap dan cara berpikir yang keliru besar. Kita harus membaliknya: pembangunan yang berkonsentrasi pada manusialah yang menciptakan semua produk kebudayaan itu.
Tapi syukur alhamdulillah, para pejabat yang mengurusi manusia Indonesia kita tidak paham dan sudah sangat gembira dengan pencapaian-pencapaian temporer, fisis-material yang bagus untuk portofolionya saja. Bukan portofolio kita bersama, sebagai bangsa.
Mau apa lagi? Sudah hampir kering lidah bicara, sudah hampir tamat kata berkata.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved