Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
MENGUATNYA kecenderungan siswa, bahkan guru, untuk setuju dengan aksi-aksi intoleransi dan radikal, telah menjadi keprihatinan bersama. Sayang masih sebatas keprihatinan, belum diwujudkan dalam langkah-langkah konkret dari semua pemangku kepentingan pendidikan untuk mengatasinya secara lebih komprehensif. Akibatnya, fenomena tersebut seperti berhenti di tempat, untuk tidak mengatakannya mengalami eskalasi yang mengkhawatirkan. Data lapangan menunjukkan belum adanya perbaikan-perbaikan yang berarti menyangkut persoalan krusial dimaksud.
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tahun lalu (Media Indonesia, 17 Oktober 2018) menemukan setengah dari jumlah guru di Indonesia mempunyai opini radikal dan intoleran. Guru-guru itu tersebar mulai tingkat TK sampai SMA. Persentase guru radikal di Indonesia mencapai 50,87%. Survei melibatkan 2.237 guru yang dijadikan sampel terdiri atas 1.811 guru sekolah dan 426 guru madrasah. Menurut PPIM, hanya 45% guru yang setuju nonmuslim boleh mendirikan tempat ibadah di lingkungan mereka. Intensi aksi toleransi pada umat agama lain dalam bentuk menandatangi petisi penolakan sekolah berbasis agama non-Islam sebesar 34%. Sebanyak 57% guru menjawab setuju saat diajukan pertanyaan seberapa setuju menyumbang uang atau barang untuk mendirikan negara Islam dan 81% guru setuju mendoakan orang yang meninggal karena ikut berperang mendirikan negara Islam.
Hasil survei PPIM mengonfirmasi temuan LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) sebelumnya (Tempo: 2011). Survei tentang radikalisme yang dilakukan di 100 sekolah menengah di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan. LaKIP menyajikan data menguatnya pandangan intoleransi dan islamis di lingkungan guru pendidikan agama Islam (PAI). Dukungan terhadap tindakan pelaku pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah (guru 24,5%, siswa 41,1%). Perusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (guru 22,7%, siswa 51,3%). Perusakan tempat hiburan malam (guru 28,1%, siswa 58,0%), atau pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain (guru 32,4%, siswa 43,3%). Pertanyaannya kemudian ialah mengapa beragama kini sedemikian penuh prasangka?
Prasangka sosial
Secara normatif, prasangka sebenarnya termasuk larangan agama. "Prasangka jauh dari kebenaran" (QS 10: 36). "Jangan berprasangka buruk." Demikian nasihat yang sering dilontarkan para pemuka agama. Meskipun belakangan ujaran-ujaran berbau prasangka, baik lisan maupun lewat berbagai media sosial, banyak diucapkan para tokoh terhormat ini. Dapat dimaklumi, jika tokohnya saja memandang lisan dengan penuh prasangka, tentu pengikutnya akan menggunakan pandangan yang kurang lebih sama untuk melihat orang dan kelompok yang berbeda.
Prasangka ialah sikap, biasanya negatif, kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron dan Byrne: 2000). Misalnya, karena pelaku pengeboman di Bali ialah orang Islam yang berjanggut lebat, seluruh orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki iktikad buruk untuk meneror. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka sering terlihat dalam bentuk aksi diskriminasi, melakukan pelecehan verbal, seperti menggunjing dan melontarkan ujaran kebencian. Sementara itu, pengetahuan mengenai objek prasangka umumnya berupa informasi-informasi, yang sering kali tidak berdasar, mengenai apa pun yang berkaitan dengan objek prasangka.
Dapat dibayangkan bagaimana suasana hubungan interpersonal yang terjadi jika para pihak saling berprasangka, ketegangan berlangsung terus-menerus. Padahal, sebuah hubungan yang baik hanya dapat dibangun dengan hadirnya kepercayaan. Sementara itu, dengan prasangka, apalagi jika diperkuat ujaran-ujaran kebencian yang masif lewat berbagai media, sangat sulit dapat memunculkan kepercayaan. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antarpribadi yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat Bhinneka Tunggal Ika.
Setidaknya terdapat tiga hal penting yang saling terkait dalam prasangka; yaitu stereotip, jarak sosial, dan diskriminasi. Stereotip, yang tidak lain ialah penilaian terhadap seseorang yang hanya didasarkan pada persepsi terhadap kelompok yang mana orang tersebut dikategorikan, memunculkan prasangka. Prasangka yang sudah hadir karena stereotip ini kemudian memunculkan jarak sosial. Dengan jarak sosial yang dirasakan, individu dan kelompok cenderung melakukan diskriminasi. Dalam pandangan Sears, Freedman, & Peplau (1999) bahwa prasangka, stereotip, dan diskriminasi merupakan komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk 'perlawanan' terhadap kelompok lain.
Strategi pendidikan keagamaan
Perbaikan pola asuh dalam keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi salah satu pilihan menarik, di antara sekian strategi penanggulangan yang dapat di lakukan untuk mengurangi prasangka lewat pendidikan. Semua pemangku kepentingan pendidikan perlu mengubah praktik-praktik pengasuhan anak menuju praktik pendikan yang lebih kondusif dan menghargai kelompok lain dengan sudut pandang yang lebih positif. Bukankah Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling taaruf, kenal-mengenal, dan menghargai (QS 49: 13)? Karenanya memperbanyak model--teladan perilaku empatik dan toleran dari orang dewasa menjadi keharusan.
Strategi kedua yang perlu disarankan ialah meningkatkan kontak langsung antarkelompok. Kontak langsung dapat memperkecil jarak sosial yang dirasakan. Memperbanyak kontak langsung dengan kelompok agama dan etnik yang berbeda dapat memberikan kesadaran pada individu-individu anggota kelompok bahwa ternyata mereka lebih memiliki banyak kesamaan, jika dibandingkan dengan keyakinan tentang perbedaan yang sebelumnya dimiliki. Kontak langsung mempercepat terbangunya identitas bersama (common identity). Perasaan sama-sama warga bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam strategi kedua ini, memperbanyak silaturaim dengan kelompok dan komunitas yang berbeda merupakan tindakan bijak. Keterbatasan pergaulan karena sekat-sekat prasangka, sudah saatnya diganti dengan memperbanyak ruang dialong dan kerja sama program antariman agar lebih dapat tercipta suasana sosial yang sejuk dan produktif. Pada saat yang sama perlu diperkecil ruang gerak politisasi identitas, yang acap kali menggunakan sentimen agama sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan. Politik identitas memang dapat memberikan keuntungan sesaat, tapi dalam jangka panjang justru memperkuat polarisasi masyarakat.
Institusi pendidikan, utamanya yang berbasis agama, sangat perlu tidak hanya menyemaikan ajaran damai dan toleransi, tetapi secara konkret hendaknya juga sering melakukan aktivitas-aktivitas bersama dengan lembaga-lembaga lain, yang memiliki basis agama dan entik yang berbeda. Mungkin dapat diawali dengan saling beranjangsana. Saling mengenal secara lebih mendalam satu sama lain. Dilanjutkan dengan aktivitas-aktivitas sosial bersama. Dapat bersifat rekreatif atau aktivitas lain yang lebih serius, seperti peningkatan mutu pembelajaran, penguatan karakter, yang dilakukan komunitas agama dan etnik beraneka.
Kita juga dapat menggunakan strategi kategorisasi dalam upaya menurunkan kecenderungan menguatnya prasangka di kalangan pelajar. Strategi ini dapat berupa rekategorisasi dan dekategorisasi. Dengan rekategorisasi kita mengembangkan suatu identitas baru dalam kelompok 'ke-kita-an', untuk menghindari menguatnya perasaan in-group dan out-group dengan basis ideologi. Siswa dengan latar belakang agama dan etnik yang berbeda dapat dikelompokkan dalam kategori baru sebagai 'klub bola basket', 'robotik', 'pramuka', 'pencinta alam' atau pengelompokan-pengelompokan lain yang tidak berbasis agama.
Adapun dekategorisasi ialah upaya-upaya yang menonjolkan eliminasi kategorisasi kelompok. Strategi ini lebih menekanan pada pemahaman bahwa setiap individu memiliki keunikan tiap-tiap dalam kelompok. Dengan kata lain, meski seseorang berada dalam kelompok berbeda, bukan berarti individu tersebut kehilangan keunikannya sebagai pribadi. Pemahaman ini penting untuk dapat menurunkan kecenderungan stereotyping dalam melihat seseorang yang berada dalam kelompok yang berbeda. Ada orang baik di kelompok lain, ada pula pencundang di kelompok sendiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved