Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
SEUSAI Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan keputusan pada Kamis (27/6) lalu, wacana politik berubah total. Diskusi bergeser ke ruang pemerintahan. Obrolan paling banyak diisi dengan diskursus pembagian kekuasaan.
Wacana pembagian kekuasan terutama ditandai dengan beberapa hal berikut. Pertama, pro-kontra keinginan satu dua pihak soal keinginan menarik sejumlah partai oposisi dalam kontestasi untuk masuk kabinet. Kedua, berkembangnya wacana pembagian kursi menteri untuk beberapa partai pendukung pemenang kontestasi. Ketiga, terkait dengan kriteria kabinet.
Di bagian ini, pertarungannya terkait dengan pilihan antara kabinet zaken (yang diisi orang cerdik-pandai) dan kabinet akomodatif (mengikuti kehendak partai yang mendukung Jokowi-Amin); antara kabinet profesional atau kabinet teknokratik; pilihan kabinet yang diisi kaum muda atau semua usia.
Ketiga fenomena itu berdampak pada beberapa hal penting berikut ini. Pertama, demokrasi ternyata mesti dibaca secara kontekstual sebab sejauh ini praktik demokrasi di banyak negara, batasan yang menang dan yang kalah sudah jelas.
Dalam politik elektoral, yang menang dalam kontestasi akan menjalankan pemerintahan, sedangkan yang kalah harus siap menjadi oposisi. Jika oposisisi diajak masuk ke kabinet, itu menunjukkan demokrasi di Indonesia khas menjadi negara yang menganut paham demokrasi kekeluargaan.
Kedua, partai pendukung pemerintah jelas berhak mengisi pos kementerian di pemerintahan. Soal menjadi lain ketika elite partai lebih sibuk berwacana daripada menyiapkan kader parpol yang berbobot dan berkualitas. Partai baru disebut hebat dan dapat dipahami kalau elite parpol berdiskusi tentang model dan karakter kabinet mendatang.
Menurut catatan, hanya Partai NasDem yang menyatakan menyerahkan urusan menteri ke presiden dan dukungan kepada Jokowi tanpa syarat. Partai lainnya belum secara eksplisit menerangkan posisi dukungannya.
Ketiga, naluri kekuasaan khas disajikan dan dipertontonkan dengan terang benderang. Di sini, politik lebih mudah dibaca sebagai mekanisme merebut kekuasaan ketimbang cara merumuskan kebijakan penting yang berguna untuk semua. Yang jelas terlihat ke permukaan ialah pertarungan antarelite partai untuk memaksakan kepentingannya sekuat mungkin.
Lalu, bagaimana kita dapat menjelaskan dan memahmi fenomena ini? Pertanyaan ini laik diangkat karena pasangan Jokowi-Amin harus berpikir dan keras bekerja untuk menyelesaikan banyak persoalan yang mendera bangsa ini.
Kalau elite parpol sibuk mewacanakan ragam pembagian kue kekuasaan, sebenarnya mereka tengah menyandera pasangan Jokowi-Amin. Pasangan ini disandera kepentingan parpol. Jika itu yang terjadi, harapan akan munculnya pemerintahan yang berkualitas dan bekerja untuk kepentingan rakyat sulit terwujud.
Tragisme politik
Dalam The Tragic Vision of Politics: Ethics, Interests and Orders, Lebow (2003) terang menjelaskan bahwa visi politik hanya dapat dijelaskan sejauh memahami etika, kepentingan, dan aturan. Dalam bahasa lain, visi politik terbentang dalam pertarungan tiga elemen itu.
Rumusan utamanya, visi politik merupakan fungsi dari bekerjanya etika, kepentingan, dan aturan. Yang dimaksud ialah politik mesti berjalan dalam etika dan didasari aturan. Ketika kepentingan terlampau kuat memengaruhi keputusan politik maka tragisme politik muncul di sana.
Pertanyaan penting kemudian ialah apakah indikator munculnya tragisme politik? Politik minus etika dan aturan serta kuatnya kepentingan. Jika etika dan aturan merupakan idealitas politik, kepentingan menjadi pembuktian atas kekosongan etika dan aturan itu di titik yang lain.
Di ruang politik demikian, gejala utama yang terjadi ialah minimnya batasan moral dan berkembangnya beragam kemungkinan, termasuk kemungkinan memanipulasi kekuasaan (Price, 2008). Saat elite politik berpolitik tanpa batasan moral yang jelas, yang berkembang kemudian ialah praktik mempergunakan semua kemungkinan dan peluang politik.
Asa kabinet mendatang
Wacana politik nasional beberapa sepekan terakhir menunjukkan fenomena yang oleh Lebow disebut sebagai fenomena politik minus etika. Memeriksa tiga fenomena yang disebutkan di bagian pertama di atas, politik sebenarnya bukan soal taruhan kepercayaan rakyat kepada mereka yang berkuasa.
Dalam praktiknya, politik nasional kental mengabaikan kepercayaan rakyat dan sungguh dipakai sebagai alat untuk tujuan segelintir elite kekuasaan.
Semua yang belajar politik akan segera tahu bahwa partai politik merupakan elemen dasar pembentuk pemerintahan. Hanya, ketika berhadapan dengan regulasi yang menempatkan presiden berikut dengan semua hak prerogatifnya, eksistensi partai dan elite partai harus pula sejalan dengan regulasi.
Berkaitan dengan penyusunan kabinet, sulit rasanya menolak anggapan bahwa parpol memang sedang menyandera calon presiden saat ini. Itu karena saat ini di Indonesia banyak partai dan elite partai bertindak atas nama partai dan hanya untuk kepentingan partai. Mereka tidak terlalu sibuk memikirkan cara penyelesaian masalah bangsa.
Ketika hampir semua partai sibuk mendiskusikan pembagian kekuasaan, etika, dan moral politik sungguh diabaikan di sana. Benar bahwa partai politik menjadi salah satu mesin produksi eksekutif. Masalahnya, ketika partai dan elite partai hanya sibuk mewacanakan pembagian kekuasaan, di sana muncul fenomena yang oleh Karagiannis (2004) sebagai ‘menghindar dari tanggung jawab politik’.
Jika benar partai politik berperan menjadi wakil dan alat akomodasi politik, perilaku politik elite tentu tidak mewacanakan pembagian kekuasaan dan memaksakan kehendak akan calon menteri sebab kekuasaan penyusunan kabinet berada di tangan presiden. Tugas parpol ialah melahirkan kader yang militan dan berkualitas serta laku dijual di pasar politik dan pasar pemerintahan.
Kita tidak ingin presiden ditekan dan dibebani berbagai macam kepentingan. Jika itu yang terjadi, presiden tentu disandera berbagai macam kepentingan politik elite. Sulit nian presiden memilih calon menteri yang menjadi tangan kanannya jika dipaksa dan dibebani kepentingan partai.
Pernyatan di atas tentu tidak sedang menolak mendiskusikan kabinet. Hanya, yang didiskusikan tentu bukan pembagian, melainkan mengenai isi kabinet dan isi program dari kabinet nanti.
Isi kabinet berkaitan dengan karakter dan tipikal menteri, sedangkan isi program berhubungan dengan pembuktian janji-janji politik yang sudah disampaikan pada saat kampanye dulu.
Kita semua mengharapkan hadirnya kabinet yang sungguh memenuhi kebutuhan masyarakat. Kita tidak butuh kabinet kepalang tanggung; kabinet yang terbentuk karena kuat kuasa kepentingan politik elite dan parpol tertentu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved