Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Pembangunan Karakter yang Terlupakan

Aulia Keiko Hubbansyah Dosen FEB Universitas Pancasila
25/7/2019 01:20
Pembangunan Karakter yang Terlupakan
Ilustrasi(Thinkstock)

TELAH lama sistem pendidikan nasional kita berdimensi tunggal dengan mengedepankan materi dan penguasaan konsep-konsep sulit sebagai ukuran kecerdasan anak. Semakin sulit model bahan ajar yang dikuasai si anak, dianggap semakin cerdas pula anak tersebut.           

Janganlah heran, jika dibandingkan dengan model pendidikan di negara-negara maju semisal Jepang, materi yang diajarkan di level sekolah dasar (SD) kita jauh lebih sulit. Bayangkan saja, anak usia 7 tahun di Indonesia dipaksa untuk belajar IPA, IPS, TIK, dan banyak mata pelajaran lain yang seharusnya belum siap mereka terima.       

Akibatnya, proses belajar mengajar menyisakan beban berat di pundak anak. Materi yang dipelajari terasa jauh dari kehidupan mereka sehari-hari sehingga sulit untuk bisa mereka mengerti.

Karena takut anaknya dianggap bodoh, orangtua pun menambah waktu belajar anak dengan memberi les tambahan. Akibatnya, beban pendidikan yang ditanggung anak pun semakin berat.  

Penekanan pada capaian akademik juga membuat model pendidikan menjadi sangat kuantitatif. Proses belajar anak pun direpresentasikan ke dalam angka-angka. Berebut nilai tertinggi menjadi asas tunggal yang mendasari sikap anak didik.

Tanpa penanaman karakter yang baik, maka model persaingan kuantitatif yang dikembangkan hanya akan mengarah pada pembusukan proses pembudayaan. Dengan sendirinya tujuan pun dianggap menghalalkan cara.

Maka dari itu, jangan heran bila berlaku curang, seperti mencontek, mengakui hasil karya orang lain atau plagiarisme, membeli jawaban, bahkan menyuap, pun akan dianggap benar sejauh ini menjamin perolehan nilai tertinggi.

Dalam kasus UAN, banyak kita dengar dari pemberitaan bahwa tak jarang justru kecurangan oleh guru. Guru mengajarkan bahwa apa pun boleh dilakukan atas nama hasil; ranking sekolah; nama baik sekolah, dan sebagainya.  

Bukti bahwa sistem pendidikan nasional mengabaikan aspek penting terkait dengan pembentukan dan pembangunan karakter. Padahal, keduanya sangat dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan suatu bangsa.

Apalah artinya sistem pendidikan jika hanya menghasilkan sekumpulan orang pintar, tapi nirnilai dan tanpa panduan etis dalam menjalani hidup. Model pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan manusia serigala yang akan memangsa manusia lain yang lebih lemah.   

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporannya menunjukkan kasus kriminalitas pelajar dari tingkat SD hingga SMA didapati terus meningkat dari tahun ke tahun dengan aksi yang juga makin bervariatif, mulai kasus pencurian, narkoba, tawuran, sampai pelecehan seksual.      

Berbeda dengan kita, yang mengedepankan pendidikan akademis dengan pengajaran materi belajar superrumit, negara Jepang di tingkat pendidikan dasarnya justru lebih memprioritaskan penanaman karakter. Di negara yang kita sebut sangat teknologis-mekanistik ini justru keunikan pendidikannya terletak pada pengutamaan perilaku (manner) terlebih dahulu daripada penguasaan pengetahuan.   

Mereka tidak memaksa siswa, entah itu atas nama sekolah IT atau apa pun namanya, untuk paham teknologi sejak usia dini. Namun, yang ironisnya, mereka justru mampu menjadi negara yang maju dengan kapasitas teknologi yang sangat mumpuni.  

Di sana, siswa tidak mengambil ujian sebelum menduduki kelas empat. Siswa hanya mengikuti sejumlah tes kecil untuk memantau bakat dan penguasaan materi. Mereka percaya bahwa tiga tahun pertama masa sekolah bukanlah periode menanamkan pengetahuan akademis, tetapi untuk membangun perilaku yang baik dan untuk mengembangkan karakter mereka.

Karena itu, sejak usia awal sekolah, pelajar-pelajar Jepang diajarkan tentang nilai-nilai moral terlebih dahulu. Pendidikan moral ini yang kemudian menjadi landasan proses pembentukan karakter di kelas. Mereka diajarkan untuk pertama menghargai diri sendiri. Kedua, menghargai orang lain. Ketiga, menghargai lingkungan dan keindahan, dan yang keempat, menghargai kelompok dan komunitas.  

Bukan soal matematika rumit, melainkan pesan moral, seperti kedisiplinan, ketaatan terhadap waktu, kejujuran, menghormati orang tua, budaya malu, kerja keras, yang diberikan dan diajarkan setiap hari.

Sekolah-sekolah Jepang mengajarkan agar siswa harus membersihkan ruang kelas, kafetaria, dan bahkan toilet sendiri. Prioritas pada pembangunan karakter inilah yang mendorong kemajuan Jepang dalam peta kekuatan internasional hingga hari ini menjadi salah satu negara maju di dunia.

Modal utama
Berkaca dari keberhasilan Jepang ini, maka pembangunan dan pendidikan karakter harus menjadi modal utama yang harus dimiliki setiap bangsa jika ingin maju dan berkembang.

Kita sadar bahwa persoalan bangsa Indonesia hari ini bukan kekurangan orang-orang pintar, tapi kita kekurangan orang-orang yang berintegritas. Pribadi yang jujur dalam berpikir dan bertingkah laku.  
 
Akhirnya, negeri ini pun kekurangan tokoh yang dapat menjadi teladan (role model). Meminjam istilah Ichsanuddin Noorsy, pengabaian pembangunan karakter membuat kita sering melihat orang yang beramanat tapi berkhianat, berpangkat tapi tidak terhormat, dan menjabat tapi tidak bermartabat.    

Karena itu, fokus pada pembangunan dan pendidikan karakter menjadi sangat urgent dewasa ini, terutama bagi anak dan kelompok muda sebagai calon pemimpin nasional di masa depan. Satu yang pasti, pembangunan karakter tidak bisa dilakukan secara sporadis, apalagi sekadar seremonial. Ia harus terencana secara komprehensif dan diimplementasikan lintas sektoral.

Maka dari itu, perlu keterlibatan dan kerja sama semua pihak, dari sekolah, otoritas pendidikan, guru, murid, orangtua, keluarga, sampai pada organisasi pemuda agar proses pembangunan karakter anak bangsa bisa berjalan baik.

Tentu saja ini bukanlah hal mudah, bahkan mungkin tidak populer. Di tengah praktik demokrasi yang membuat semua pengambil kebijakan ingin kebijakan publik yang dilakukan memberi hasil cepat agar dapat dikapitalisasi sebagai ‘keberhasilan’, maka melakukan tindakan yang baru akan memberi implikasi dalam jangka panjang, tentulah bukan pilihan yang menarik.

Akan tetapi, jika tak kita lakukan, terlalu besar yang kita pertaruhkan, yakni nasib bangsa ini.      
 
 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya