Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Krisis Komunikasi Keluarga

S Sahala Tua Saragih Dosen LB Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
29/6/2019 09:10
Krisis Komunikasi Keluarga
Ilustrasi Keluarga berkumpul.(THINKSTOCK)

SUNGGUH aneh tapi nyata betul, dari hari ke hari semakin banyak warga masyarakat yang memiliki, menggunakan, dan menguasai satu atau beberapa perangkat dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Di sisi lain, pada saat yang sama kita justru semakin miskin berkomunikasi dengan orang-orang paling dekat, yakni anggota keluarga inti. Kini sungguh telah terjadi krisis komunikasi keluarga. Inilah sebuah paradoks.

Sekarang semakin banyak anggota keluarga yang setiap hari berjumpa di rumah, tapi tak bertemu. Mereka berjumpa secara fisik, tapi tak bertemu secara emosional. Sarapan saja belum tentu bisa bersama-sama karena jam bangun dan berangkatnya dari rumah berbeda-beda. Makan siang? Makan malam?

Setiap anak yang sudah memiliki kamar masing-masing sering sekali membawa makanannya ke kamar tidur yang merangkap kamar belajar. Di kamarnya, anak makan sambil asyik bergawai ria di laptop atau telepon selular (ponsel). Tentu saja orangtua tak kuasa memantau apa yang anak tonton dan simak di laptop/ponsel masing-masing. Meski duduk berhadapan atau berdampingan di meja makan, suami-istri belum tentu jua saling berkomunikasi dengan intim. Sang suami dan istri sambil makan justru asyik bergawai ria. Ada pula suami makan sendiri di meja makan sambil berselancar di media sosial, sedangkan istri makan sambil menonton sinetron di ruang keluarga/tamu.

Hal yang paling parah, suami-istri tidur seranjang, tapi berbaring saling bertolak punggung sambil asyik dengan ponsel masing-masing. Semua anggota keluarga memakai satu atau lebih dari satu ponsel pintar, tetapi mereka tak cukup pintar menggunakan TIK canggih itu. Keluarga yang demikian tentu sangat perlu segera belajar literasi ber-TIK canggih.              

Dari dulu banyak anggota keluarga di kota-kota besar yang sama sekali tak berjumpa di rumah. Kini orangtua dan anak lebih sering saling menyapa melalui ponsel. Akan tetapi, sanggupkah ponsel menyamai mutu pertemuan emosional langsung sesama anggota keluarga?

Rupanya masalah besar ini disimak dengan cermat oleh pemerintah. Dalam rangka Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXVI pada 29 Juni ini, pemerintah membuat sebuah gerakan nasional untuk memulihkan komunikasi keluarga. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kini melakukan kampanye 'Gerakan Nasional kembali ke Meja Makan'. "Gerakan ini bertujuan mengingatkan kembali keluarga Indonesia tentang pentingnya meluangkan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi bersama keluarga," kata Sekretaris Utama BKKBN Nofrijal, di Jakarta (Media Indonesia 18/6).

Sayangnya, Nofrijal tak mengungkapkan apa saja program nyata yang sedang dan akan dilaksanakan BKKBN dalam rangka mewujudkan kampanye tersebut. Ia hanya mengatakan hal-hal yang prinsipal tentang peran keluarga dalam negara. Katanya, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama tempat terbentuknya kepribadian manusia dan nilai kehidupan serta moral setiap pribadi (anggota keluarga).

"Keluarga juga adalah pranata sosial pertama dan utama yang mengemban fungsi strategis dalam membekali nilai-nilai kehidupan bagi anak manusia, yang tengah tumbuh dan berkembang untuk mencari makna dalam perjalanan hidupnya sehingga terbentuk karakter manusia sejak dini hingga dewasa," ujar Nofrijal.

 

Mulai terkikis

Dalam sebuah penjelasan latar belakang tema Harganas 2019, BKKBN mengutip pernyataan psikolog Roslina Verauli. Ia pernah berkata, "Kenapa keluarga masa kini sangat mudah dipecah belah, anak muda mudah diadu domba, dan terjadi perceraian di sana-sini? Semua ini terjadi karena kurangnya komunikasi dan waktu bincang-bincang di keluarga, bahkan untuk sekadar makan bareng."

BKKBN juga mengutip hasil sebuah studi Ibrahim pada 2015 yang menunjukkan betapa budaya berkumpul dan makan bersama keluarga sudah mulai terkikis. Ia mengungkapkan, sebanyak 20% dari 1.165 responden mengaku jarang makan bersama keluarga di rumah. Lima dari 10 laki-laki mengaku tak punya waktu untuk makan bersama keluarga di rumah karena terlalu sibuk. Alasan serupa ditemui pada responden remaja, yang sekitar 26% mengaku sibuk dan bosan dengan menu yang disajikan. Itu menjadi alasan mereka enggan makan di rumah bersama keluarga.

Menurut Ibrahim, makan bersama keluarga di rumah ialah momen kebersamaan yang sangat berharga. Meski terdengar sederhana/sepele, kegiatan itu menyimpan dampak positif yang bisa membantu menguatkan keharmonisan keluarga dan menentukan eratnya hubungan antaranggota keluarga. Bila ini dijadikan kebiasaan sehari-hari, anak-anak akan tumbuh sehat karena relasi keluarganya yang sehat. Memang tidak ada waktu tertentu yang harus diluangkan untuk berkumpul bersama para anggota keluarganya, setidaknya sekitar 15-30 menit setiap hari. Pendapat lainnya menyebutkan, cukup dengan meluangkan sekitar 20 menit dalam sehari (Surapaty, 2015).

Seorang arsitek bernama Christopher Alexander pada 1977 pernah menyatakan, interaksi yang paling intensif terjadi bila orang saling menyentuh. Meskipun teknologi informasi menawarkan banyak peranti canggih, tidak sampai memenuhi esensi kebutuhan orang akan komunikasi. Adanya sentuhan fisik dan emosi yang hanya didapat jika bertatap muka, berada dalam satu waktu dan ruang yang sama. Sentuhan fisik dan ekspresi emosi tidak bisa diketik atau diwakilkan dengan emotikon, emoji, bahkan video call sekalipun.

Sampai kapan pun, dengan TIK secanggih apa pun, pasti tak mampu menyamai, apalagi melebihi kualitas pertemuan langsung. Bahasa sentuhan tubuh, emosi, elusan, air mata, belaian rambut diiringi kata-kata dan sapaan khas yang mesra, pelukan intim, cium pipi kiri dan kanan, serta gerak tubuh yang lain sungguh tak dapat diwakilkan kepada TIK secanggih apa pun. 

Dalam hal kembali ke meja makan ini, para orangtua tertentu perlu mengoreksi diri. Tak sedikit anak malas makan bersama orangtua di meja makan bukan karena menunya itu-itu juga setiap hari, bukan pula karena berbeda selera. Meja makan kerap dijadikan orangtua sebagai ruang ceramah panjang tanpa dialog. Yang lebih parahnya lagi, meja makan kerap dijadikan orangtua sebagai ruang 'pengadilan' anak. Perilaku buruk para orangtua itu jelas tidak disukai anak.

Jadi, untuk memperbaiki kualitas komunikasi dalam keluarga, semua anggota mesti belajar berkomunikasi antarpribadi yang baik. Semua anggota keluarga harus mampu saling berempati. Dengan demikian, meski beda generasi, berbeda pengalaman dan pengetahuan, mereka mampu saling memahami melalui komunikasi yang baik di rumah, terutama di meja makan. Jayalah keluarga-keluarga yang menjadi tiang utama negara. Selamat merayakan Harganas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya