Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Atas Nama Keabadian

30/12/2015 14:59
Atas Nama Keabadian
()

Gino F Hadi Indopos/Ukon Furqon Sukanda

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'' Pramoedya Ananta Toer

Pitutur sarat makna dari legenda sastra itu semoga tak berlebihan bila saya cuplik dalam konteks fotografi jurnalistik. Ya, memotret ialah laku hidup demi sebuah kekekalan. Menulis dan memotret lalu mengabarkannya kepada khalayak membuat kita menjadi bagian dari sejarah. Tentu saja keduanya tetap bertumpu pada kekuatan makna.

Bagi jurnalis foto, berkarya dengan kedalaman makna ialah pembuktian akan eksistensi. Seperti ungkapan Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Kalimat sakti filsuf Prancis beraliran rasionalisme pada abad ke-17 itu setidaknya merefleksikan tiap-tiap langkah pewarta foto yang ingin diperhitungkan di dunianya. Berkarya demi kepatuhan pada kesaksian tentang sebuah peradaban.

Ingin menjadi bagian dari jejak sejarah dan menunjukkan eksistensi diri itulah pesan yang saya tangkap dari percakapan dengan fotografer senior Media Indonesia Gino Franki Hadi, Kamis (30/4) malam lalu. Nada bicara dan sorot matanya memberi gambaran daya hidup yang menyala benderang. Gesture tubuh gempalnya mengisyaratkan semangat yang membara. Tak terlihat sedikit pun kegelisahan di wajah.

Bagi saya, perbincangan malam itu terasa hangat dan menyenangkan. Cerita masa silam hanya sedikit diperbincangkan. Tidak ada keluhan, pun juga kesedihan. Sebaliknya, rencana masa depan lebih banyak disampaikan. Semangat mencuat dari kalimat-kalimat yang diucapkan. Bertumbuhnya kesadaran bahwa tak ada masa kerja yang tak berakhir kian menyemangatinya dalam berkarya.

Gino mengaku tergugah setelah membaca kisah para fotografer kelas dunia, antara lain Eugene Richards, Sebastiao Salgado, dan James Natchwey yang tetap berkarya di usia senja. Kisah dalam tulisan Spektrum dua pekan lalu itu mengoyak kesadarannya. Seperti mereka, ia juga ingin mengurai episode akhir dalam berkarya menjadi sebuah epilog yang indah.

Pekan lalu, Gino memberi bukti bahwa dirinya tidak sekadar bicara. Rangkaian foto ritual masyarakat adat Badui bertatap muka dengan Gubernur Banten Rano Karno yang terbit di rubrik Foto Media Indonesia edisi Minggu (3/5) menjadi saksi. Karya bertajuk Badui Seba Kota itu membeberkan fakta visual ketaatan suku Badui pada tradisi di tengah menyeruaknya pengaruh modernisasi.

Pembuktian tersebut kian meneguhkan bahwa jurnalisme visual tak mengenal batasan usia. Itulah sebabnya tiap-tiap jurnalis foto harus berlaku sebagai petarung sejati, menjadi sosok kuat yang siap berlaga dengan siapa saja. Tidak hanya bermodal kemampuan fotografi yang mumpuni, tetapi juga memiliki militansi, pantang menyerah, dan jeli menangkap peluang. Semuanya wajib menyatu dalam jiwa sang pemberi kesaksian itu.

Jurnalis foto yang paham fungsinya pasti tak hanya berdiri diam di ujung jalan. Ia selalu tegap melangkah menyusuri sudut-sudut kota. Menyisir setiap jengkal tanah desa. Dari matahari belum lagi naik sejengkal hingga gelap malam. Bekerja bukan sekadar mencari nafkah belaka, melainkan untuk menorehkan catatan sejarah. Bekerja atas nama keabadian.

Hidup itu singkat, sedangkan karya bersifat abadi, ars longa vita brevis....



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya