Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DALAM film October Sky (Joe Johnston, 1999) yang diangkat dari kisah nyata Homer Hickam (lahir 19 Februari 1943), dikisahkan Miss Riley, guru yang suka memotivasi muridnya mewujudkan impiannya. Ia bahkan memberikan hadiah buku yang sangat bermanfaat bagi Homer. Homer bersama tiga temannya yang dijuluki Rocket Boys sering membuat percobaan meluncurkan roket mini yang mereka rakit bersama.
Rocket Boys tergerak membuat berbagai percobaan karena takjub dengan Sputnik Rusia yang membelah angkasa. Kepala sekolah Homer sempat khawatir, bahkan tampak kurang setuju kalau Rocket Boys diiming-imingi harapan palsu. Menurut kepala sekolah, lulusan sekolahnya kalau tidak bekerja di tambang seperti kebanyakan warga lainnya, paling melanjutkan kuliah setelah mendapat beasiswa karena berprestasi di bidang olahraga.
Namun, Miss Riley yakin akan kegigihan Homer dan Rocket Boys. Keyakinannya pun tak mengecewakan. Dalam ajang perlombaan sains tingkat nasional, Homer dan teman-temannya menjadi juara. Tak sia-sia perjuangan mereka merakit dan mempelajari roket. Belakangan, Homer Hickam menjadi trainer yang bekerja untuk NASA (National Aeronautics and Space Administration) sepanjang 1981-1998.
Freida Riley sayangnya tak melihat banyak perkembangan dan keberhasilan anak-anak muridnya. Pada 1969 Miss Riley meninggal karena penyakit hodgkin’s lymphoma, semacam kanker getah bening. Tentang kegigihannya, Homer pernah berujar bahwa gurunya itu bersikeras mengajar saat sakit, bahkan ketika murid-muridnya harus membawanya dengan tandu ke ruang kelasnya.
Guru yang visioner
Kita baru saja masuk di gerbang baru, 2019. Para guru dan murid saat ini mungkin sedang bersiap-siap memulai semester baru. Di awal semester ini, apakah yang perlu kita tilik kembali dari masa lalu,cara mengajar, penilaian, interaksi di dalam kelas, atau lainnya? Yang terpenting, dalam semuanya itu, apakah kelas yang kita kelola membangkitkan antusiasme belajar bagi siswa?
Antusiasme belajar ialah sesuatu yang perlu diperhatikan dalam kelas. Siswa bisa saja hadir di dalam kelas, tapi ia sebenarnya tak mempelajari apa pun, atau mungkin ia belajar, tapi yang ia pelajari semata-mata memang harus dipelajari karena dibebankan kepadanya. Murni rutinitas. Tidak ada inovasi dan kreativitas. Pikirannya dipenuhi rumus dan berbagai hafalan, tapi tidak pernah mendapatkan life skill yang membuat hari-harinya selama di sekolah bergairah.
Bukan hanya aktivitas belajar yang tidak bergairah. Penilaian yang dilakukan akhir semester pun kadang begitu membosankan. Mungkin untuk semua mata pelajaran bertumpu pada hafalan. Lihatlah kertas-kertas ujian dari tahun ke tahun, banyak yang isinya pilihan ganda. Kalaupun pertanyaannya membutuhkan jawaban esai sering diawali dengan kata ‘sebutkan’ atau ‘apa saja’.
Hal-hal itu membuat siswa jadi kurang bernalar atau berimajinasi. Kartono (2002: 82) menyebutkan bahwa imajinasi anak-anak yang miskin dan rendah akan membuat kemampuan mengarang dan berbicaranya mampat. Bila diberi tugas mengarang atau menulis esei, tulisan itu akan berantakan. Bila diminta mengemukakan gagasan secara lisan lewat pidato, pidatonya akan semrawut.
Karena itulah, menjadi guru seperti Miss Riley tidak mudah. Bahkan, guru yang inovatif kadang malah ditentang, seperti dalam kisah October Sky. Profesi guru memang kerap menuai decak kagum, bahkan ketika seseorang baru menyebutkannya. Ya, kita mungkin sudah sering mendengar bahwa betapa sering profesi guru dianggap mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa, demikian para guru dijuluki, berdasarkan lirik lagu Hymne Guru yang ditulis Sartono.
Namun, benarkah predikat ‘mulia’ itu hanya patut disematkan kepada guru atau beberapa profesi lain yang terkesan altruis, seperti rohaniwan, perawat, atau pekerja sosial? Semua dari cara pandang kita.
Bila kesahajaan seorang guru, berikut ilmu, motivasi, dan inspirasi yang melekat erat pada dirinya dijadikan tolok ukur kemuliaan pekerjaannya, pekerjaan lain dapat diukur dengan standar lain, yang akan menjadikannya mulia. Jadi, guru yang mengajar asal-asalan sesungguhnya kalah mulia jika dibandingkan dengan pedagang yang rajin nan jujur sekaligus rajin berderma.
Adaptasi dan masa depan
Di sebuah SMU negeri di Sumut, Rabu (23/4/2008), beberapa anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Daerah setempat mendobrak sebuah ruangan yang digunakan guru untuk membetulkan jawaban siswa atas ujian nasional (UN) bahasa Inggris.
Para guru sadar bahwa itu kesalahan mereka. Kepala sekolah mengaku kasihan melihat pensil anak-anak tidak bergerak ketika soal diberikan. Ia mengeluhkan pelaksanaan dan kesenjangan dalam UN. “Bagi anak Jakarta, soal bahasa Inggris itu mungkin mudah. Namun, bagi siswa kami, soal UN sangat sulit. UN ini terlalu dipaksakan sehingga kami pun terpaksa membantu siswa,” ujarnya.
Kisah di atas cukup viral pada masa itu, dan tentunya menjadi masukan bagi pemerintah agar melaksanakan ujian secara lebih independen, tidak sentralistis. Karena bila terlalu sentralistis, masa depan (baca: kelulusan) siswa menjadi taruhannya. Di sisi lain, peristiwa itu pun menjadi keprihatinan tersendiri, yang masih relevan direnungkan hingga kini, apakah karena guru ingin muridnya berhasil, ia rela melakukan segala cara, walaupun curang?
Tentu idealnya tidak demikian. Peristiwa itu pun mesti disikapi dengan kemauan guru untuk beradaptasi dan terbuka dengan perubahan yang terjadi. Bila pada masa 10 atau belasan tahun lalu pelajaran bahasa Inggris masih menjadi momok atau tantangan tersendiri, pada masa kini, apakah tantangannya? Itulah yang perlu dipikirkan.
Para siswa yang ada di bangku sekolah saat ini merupakan generasi Z (lahir sekitar 1993 hingga 2011). Generasi ini selalu mengikuti tren terbaru, menyukai kebebasan, senang mencari pengalaman baru, dan gemar menjadi bagian dari komunitas yang selalu ingin ada (eksis) untuk masyarakat sekitar (Media Indonesia, 12/11/2017).
Karakteristik generasi ini perlu dihadapi dengan cara yang berbeda. Ceramah yang berlarat-larat, gaya mengajar yang terlalu dominan dan bahkan cenderung represif, juga tugas yang tidak relevan akan ketinggalan zaman. Perlu ada model atau pendekatan baru yang kreatif dan inovatif dalam mendidik dan mengajar. Gurulah yang bertugas untuk mencari, menemukan, dan pada akhirnya memformulasikan cara-cara belajar yang relevan.
Itulah yang harus dipikirkan dan dikembangkan guru, agar ruang-ruang kelas menjadi hidup dan berdaya gugah. Awal semester sudah menanti, mari kita lakukan tugas mulia, yakni mencerdaskan siswa agar siap menghadapi tantangan di hari depan. Selamat mengajar!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved