Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
FAJAR Tahun Baru 2019 sebentar lagi menyambut dan usia kita menyusut. Akhir tahun tentu menjadi momen berharga untuk sebentar menyingkir istirah merefleksikan seluruh peristiwa yang dialami sepanjang 2018. Harapannya masa depan kebaikan bisa berlipat dan segenap kejelekan selamanya istirahat.
Silam sebagai titik pijak agar langkah kita tidak terperosok ke lubang yang sama kedua kalinya. Karena bukan keledai, kita dituntut punya kesanggupan memaknai sejarah masa lalu sekaligus cermat membangun riwayat masa depan.
Kata kuncinya ‘sejarah’. Ini diksi menarik. Berasal dari bahasa Arab syajarah yang artinya pohon. Ada banyak orang yang berkepentingan dengan sejarah terutama kelompok elite. Bahkan, bagi elite karena mereka memiliki modal kekuasaan biasanya acap kali mendominasi dan bahkan memonopoli narasi sejarah itu sendiri. Tujuannya tentu sangat beragam.
Terbentang mulai urusan ingin dikenang sebagai pahlawan atau sebagai legitimasi bagi proses-proses kekuasaan yang tengah digenggamnya. Kekuasaan bukan saja berkelindan dengan birokrasi, melainkan juga pengendalian pikiran dan sistem makna salah satunya yang paling sering digunakan ialah memanipulasi sejarah.
Pernah suatu masa bagaimana negara Orba, misalnya, menafsirkan sepihak sekian data dari sebuah peristiwa dan pada saat yang sama menggelapkan data lain. Menafsirkan kejadian dan menganggap tafsir yang berseberangan sebagai keliru dan harus dicurigai.
Sejarah ternyata tidak hanya bergerak pada medan epistemologi, tapi juga sering berwajah ideologis atau bahkan mistis.
Karenanya, aparatus negara berkepentingan menertibkan (dan mengontrol) suara-suara yang berbeda. Tentu hari ini, ketika kekuasaan sudah tidak lagi dipandang sakral, yang kita lihat setiap saat ialah fenomena perebutan bikin sejarah. Heterogenitas tafsir menjadi tak terhindarkan.
Mana yang paling benar? Tak perlu melakukan pendakuan, biarkan khalayak yang menyimak dan menimbang sendiri. Mereka punya kearifan dan nalar yang sering kali jauh dari sangka para penulis, propagandis, dan pelaku sejarah itu sendiri.
Serupa pohon
Ya. Syajarah itu pohon. Sejarah tak ubahnya pohon. Akar, batang, daun, ranting atau buah satu kesatuan yang mustahil bisa dipisahkan. Pohon yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, bercengkerama, memetik buahnya agar sehat. Namun, juga penanda banyak hal terutama tentang usia perjalanan kita (dan bangsa).
Nyaris tidak terasa di 2045, kita sebagai bangsa akan memasuki satu abad, tahun emas. 100 tahun bukan rentang pendek, melainkan perjalanan panjang dengan segala dinamikanya, dan kita harus bersyukur kepada manusia pergerakan generasi Bung Karno yang telah meletakkan dasar negara yang mampu memberikan jawaban terhadap persoalan kebangsaan sehingga hari ini kita masih bersatu dan tetap sepakat berada dalam naungan NKRI.
Tampaknya Tuhan menciptakan generasi itu sebagai pribadi-pribadi unggul yang memiliki sensitivitas membaca laju sejarah bangsanya. Ziarahnya ke masa lalu bukan hanya dilakukan berulang kali, bahkan tak pernah henti mengupayakan agar bangsa yang diperjuangkannya itu dijangkarkan pada bentangan kedalaman akar kearifan budaya Nusantara.
Mereka ialah ‘bangsawan pikir’ yang tidak antiliterasi Barat juga tidak menganggap capaian leluhurnya sebagai takhayul. Mereka menyimak ayat-ayat Tuhan dalam Kitab Suci, tapi tidak membuat mereka menjadi dogmatis kalau tidak justru semakin membuka ruang terciptanya dialog mencerahkan seperti dilakukan Soekarno dengan M Natsir atau A Hassan.
Ketika RI diproklamasikan, tidak canggung Natsirlah yang diangkat Bung Karno sebagai menteri penerangan dan sempat menjadi Perdana Menteri.
‘Pancasila’ yang disodorkan Bung Karno dan kemudian dimusyawarahkan pada sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dengan sangat bagus melambangkan upaya ‘menggali’ ke jantung peradaban masa silam ketika Indonesia masih dalam bentuk kerajaan. Namun, sosialisme, komunisme, nasionalisme, rasionalisme, dan islamisme yang datang dari dunia luar terus disimak penuh minat.
Itulah bentuk kecerdasan, kebesaran jiwa, keluasan wawasan, sikap lapang, dan pribadi yang percaya diri. Kaum pribumi yang memaknai kepribumiannya itu secara kosmopolit. Pribumi bukan sebagai antitesa dari asing, melainkan lebih merujuk pada makna kepribadian yang diacukan pada nilai-nilai budaya luhur leluhurnya. Pribumi yang ditancapkan pada kebudayaan yang berkepribadian seperti tercantum dalam Trisakti, di samping politik berdaulat dan ekonomi yang berdikari.
Pohon Pancasila
Bukan kebetulan ketika Bung Karno menyodorkan Pancasila pada periode 2 Juni, 7 Juli, dan 18 Agustus 1945, ingatan yang diaktifkannya ialah peristiwa ketika si Bung Besar itu menjadi manusia buangan di Ende, Flores. Salah satu kebiasaannya ialah tafakur di pinggir laut dengan pemandangan elok pepohonan sepanjang garis pantai. Yang selalu menarik perhatiannya ialah pohon sukun bercabang lima dan kelak lima ini yang menjadi asal-usul lima sila Pancasila itu.
Pancasila tidak jatuh dari langit, tapi dimunculkan dari perut bumi Nusantara. Dari akar pohon budi negeri Nusantara yang dalam hal ini disimbolisasikan pohon sukun itu. Bukan pohon berakar tunggal, melainkan akar serabut bercabang banyak. Serabut agama, budaya, etnik, bahasa, dsb. Pancasila ialah pohon kebangsaan yang menjadi payung seluruh serabut akar itu.
Bermula dari kesepakatan bersama seperti pernah diungkapkan Bung Karno dalam rapat BPUPK Juni 1945: “...Alangkah benarnya perkataan Dr Soekiman, Ki Bagus Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita semua mencari philosophische grondslaag, mencari satu weltanschauung yang kita semua setujui.
Saya katakan lagi setujui! Yang Saudara Yamin setujui, yang ki Bagus Setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui. Pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.”
Ucapan selamat Natal dan ucapan untuk hari-hari besar agama lainnya perlu digalakkan. Ucapan seperti ini bukan hanya penting, melainkan juga suatu keniscayaan untuk semakin mengukuhkan rute kebangsaan yang lapang. Meneguhkan bahwa Pancasila ialah jalan pijakan bersama dalam menyambut tahun-tahun yang akan kita singgahi.
Di tahun politik 2019, yang harus kita rayakan bukan politik kebencian, pelintiran hoaks, dan politisasi SARA, melainkan politik yang ditancapkan di atas keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung nilai universal (Kant), menghormati daya imajinasi kreatif (Schiller), dan menjadikan gotong royong (Bung Karno) serta periketuhanan (M Yamin) sebagai oksigen politik kebudayaan kita.
Selamat Natal dan Tahun Baru 2019. Semoga keberkahan dan kedamaian menjadi napas bangsa ini. Semoga 2019 politik mengalami sublimasi, perubahan ke arah kimia politik yang lebih tinggi dengan mengedepankan kedalaman, akal sehat, dan adab.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved