Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
BENCANA tak pernah menyapa dengan senyuman. Ia menampakan wajah garang dan ganas. Siapa pun seakan tak kuasa untuk melawannya. Namun, kita dapat meminimalkan korban bencana, salah satunya dengan membangun pendidikan siaga bencana.
Pendidikan siaga bencana ialah sarana mendidik masyarakat siap, tanggap, dan cekatan saat bencana datang. Masyarakat tidak lagi kaget atau sekadar histeris saat melihat gempa merobohkan seluruh bangunan hingga rata dengan tanah. Masyarakat pun tidak sekadar menganggap wilayahnya aman dari bencana. Kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui rekayasa sosial, terutama dalam sistem pendidikan menjadi hal utama dalam pendidikan siaga bencana.
Membangun kesadaran
Pendidikan memainkan peran penting dalam membangun kesadaran manusia. Manusia Indonesia perlu sadar bahwasanya mereka hidup di wilayah cincin api (ring of fire). Wilayah yang sangat mungkin terkena gempa dan tersapu tsunami. Oleh karena itu, mempersiapkan diri untuk menghadapi itu menjadi sebuah keniscayaan. Melalui pendidikan, masyarakat akan mampu memahami bahwasanya bencana ialah sahabat manusia. Oleh karena itu, kita membutuhkan seperangkat alat kesadaran.
Alat kesadaran itu dipupuk dari ruang dialog bernama pendidikan. Pendidikan siaga bencana dimulai pemahaman secara komprehensif bahwa Indonesia berada di sesar aktif gempa. Keberadaan gunung yang berjejer rapi pun menjadi anugerah sekaligus dapat menimbulkan bencana. Sesar aktif plus gunung berapi itu perlu dipahami guru dan siswa. Siswa perlu mendapatkan pemahaman bahwa suatu waktu bencana bisa datang tanpa kabar berita.
Saat alam bawah sadar sudah terbangun, kesiapan menghadapi bencana akan tumbuh. Siswa akan teteg (kuat, teguh), saat bencana hadir. Mereka tidak akan mudah panik. Namun, mereka telah paham dan tahu apa yang harus dilakukan saat gempa terjadi.
Selanjutnya ialah membekali keterampilan teknis menghadapi bencana. Di Jepang, misalnya, siswa dilatih untuk setiap saat siap menghadapi gempa. Siswa di Jepang setiap hari membawa bantal ke sekolah. Bantal itu digunakan untuk melindungi kepala dari reruntuhan gedung. Siswa di Jepang juga sudah dilatih bagaimana mereka harus menyelamatkan diri saat terjadi gempa. Berlindung di bawah meja, misalnya, telah menjadi pilihan utama saat gempa terjadi. Mereka pun dilatih untuk berlindung di sisi-sisi gedung jika tidak mendapatkan tempat perlindungan yang sekiranya aman.
Teknis-teknis ini perlu latihan. Latihan siaga bencana dilakukan setiap saat. Jika memungkinkan seminggu bisa disimulasi dua kali. Simulasi ini penting agar mereka benar-benar tahu dan sigap menghadapi bencana.
Simulasi itu pun perlu didukung struktur bangunan di sekolah yang ramah terhadap gempa. Sekolah perlu ada petunjuk pintu keluar darurat dan titik kumpul jika terjadi gempa. Struktur bangunan tahan gempa dan ramah lingkungan perlu menjadi budaya di sekolah. Pasalnya, dari sinilah siswa akan belajar. Mereka akan mengamati sekeliling dan menjadi persepsi.
Relawan guru
Selain itu, pemerintah tampaknya perlu memberikan tugas kepada guru di seluruh tingkatan pendidikan untuk dapat menjadi relawan di tempat yang tertimpa musibah. Penerjunan guru akan menguatkan pengalaman mereka dalam mengajarkan kepada siswa. Memberikan waktu khusus kepada guru untuk langsung belajar menjadi relawan pun akan menjadi bahan dalam proses pembelajaran. Mereka pun akan mempunyai catatan-catatan ringan dan mungkin menjadi bagian dari riset yang memadai.
Program ini dengan demikian mempunyai dua keuntungan. Pertama, melatih guru dan membekali mereka dengan pengalaman riil di tengah masyarakat. Kedua, mereka punya waktu untuk melakukan penelitian berbasis pengalaman menjadi relawan gempa. Pemerintah pun akan memanen banyak cerita dan tulisan yang menarik dari guru-guru tersebut. Guru pun akan terbantu dalam menulis artikel ilmiah guna kenaikan pangkat/golongan.
Pendidikan siaga bencana pun perlu masuk seluruh mata pelajaran. Semua guru perlu mengajarkan sikap ramah menghadapi bencana dari berbagai perspektif. Dalam perspektif pendidikan agama Islam, misalnya, siswa diajak untuk menelaah dan memahami bahwa gempa/bencana bukanlah akibat kutukan Tuhan. Gempa atau bencana yang lain ialah hal alamiah. Paradigma ini akan meruntuhkan pandangan bahwa bencana akibat dosa manusia. Pandangan yang benar terhadap bencana akan memudahkan masyarakat bangkit saat tertimpa musibah.
Kearifan lokal
Mata pelajaran bahasa daerah (Jawa/Sunda), sosiologi/antropologi, dan pendidikan sejarah, juga dapat berkontribusi dengan memberi perspektif kearifan lokal. Masyarakat lokal selalu mempunyai kearifan dalam menghadapi bencana. Misalnya, saat gempa, dalam bahasa Jawa disebut lindu. Pemahaman kearifan lokal ini akan menguatkan ingatan bahwa wilayah tersebut pernah mengalami bencana. Ingatan itu akan membantu warga semakin tanggap bencana.
Persoalan masyarakat modern saat ini mereka lebih acuh terhadap narasi kearifan lokal yang ada. Mereka menganggap bahwa kearifan lokal yang berbentuk cerita itu hanya khayalan saja. Sikap cuek itulah yang mengakibatkan masyarakat tidak sigap saat bencana menyapa.
Penelitian Ahmad Arif, wartawan Kompas saat ‘ekspedisi cincin api’ menunjukkan warga masyarakat sudah mulai melupakan kearifan lokal itu. Kearifan lokal bencana hanya ‘diingat’ orang-orang tua. Generasi muda terlalu cuek dan menganggapnya sekadar cerita masa lalu yang tak bermakna.
Oleh karena itu, ruang belajar menjadi sarana yang efektif untuk memperpanjang ingatan. Selain itu, sekolah dapat menjadi ruang untuk mengisahkan kearifan lokal, belajar darinya, dan selalu menjadi narasi alternatif untuk memahami bencana.
Pada akhirnya, pendidikan siaga bencana merupakan seperangkat cara humanis untuk menyadarkan manusia. Manusia Indonesia berada dalam rumah besar yang rawan bencana. Oleh karena itu, pendidikan perlu menjadi narasi agar masyarakat sadar, akrab, siaga, dan sigap menghadapi bencana. Bencana bukanlah untuk diratapi kedatangannya. Namun, perlu disapa dengan senyum riang kesiagapan melalui proses pendidikan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved