Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Membangun kembali Keluarga Berkualitas

Seto Mulyadi Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
29/6/2018 01:45
Membangun kembali Keluarga Berkualitas
(MI/Seno)

BANYAK pertanyaan muncul, bagaimanakah pengertian keluarga saat ini? Dari berbagai survei dapat diperolah pemahaman bahwa masyarakat dunia memvisualisasi keluarga secara jauh lebih bervariasi. Bahkan pasangan homoseksual yang kemudian mengangkat anak pun sering diklasifikasi oleh sebagian kalangan sebagai salah satu bentuk keluarga, satu konsep yang tentu saja kita tolak mentah-mentah dan tidak akan pernah kita adopsi di Tanah Air.

Boleh jadi saat ini belum begitu banyak warga masyarakat yang maf­hum akan isi UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang di dalamnya tercantum arti yang begitu indah tentang makna keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas, di dalam UU tersebut, dimaknakan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan sah dan bercirikan: sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal. Lalu, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan YME.

Sangat luhur, sekaligus juga sangat mendalam. Namun, persoalannya bagaimana membangun dasar-dasar pemahaman tentang keluarga, apalagi keluarga berkualitas, kepada anak-anak kita sejak usia belia?

Tentu, kawah candradimuka untuk tujuan itu tak lain justru di dalam keluarga sendiri. Di dalam keluargalah, anak-anak akan menjalani pengalaman autentik tentang ‘apakah makna keluarga itu’.

Keluarga yang berkualitas akan menjadi lingkungan terbaik bagi anak-anak untuk belajar. Namun, bagaimana halnya dengan anak-anak yang suratan tangannya tidak seberuntung itu? Anak-anak, terlepas apa pun lingkungan keluarga tempat mereka hidup, harus tetap memperoleh kesempatan belajar yang sama. Tak terkecuali belajar tentang makna keluarga berkualitas. Tapi, bagaimana caranya?

Mari sejenak bernostalgia dengan kalimat berikut ini: “Ini Budi. Ini ayah Budi, itu ibu Budi.”
Nah, betapa kreatif bukan, guru-guru kita tempo doeloe? Sambil me­ngajar murid-murid untuk membaca, pada saat yang sama secara subliminal mereka pun menanam­kan pemahaman ke jiwa anak-anak didik tentang sosok keluarga idaman. Itulah yang saya tangkap saat membolak-balik buku pelajaran membaca yang dipakai di sekolah-sekolah sekian puluh tahun silam.

Selain di kelas, televisi pun menghidangkan potret tentang keluarga-keluarga berkualitas khas Indonesia. Ada drama serial Losmen Srikandi, drama satu jam mingguan tentang keluarga di Yogja yang membuka usaha penginapan sederhana, tetapi sarat akan aura kekeluargaan bagi para tamunya. Juga ada Rumah Masa Depan, kisah keluarga tiga generasi yang tinggal di bawah satu atap. Tema sentralnya ialah bagaimana ayah-bunda bersama kakek-nenek mem­besarkan Bayu menjadi anak yang berprestasi di sekolah dan berbudi pekerti luhur di lingkungan sekitar.

Di layar kaca, yang paling legendaris dan belum tergantikan hingga kini ialah cerita boneka si Unyil. Unyil ialah lakon boneka asli Indonesia yang tulen menampilkan citra keindonesiaannya: bocah sa­rungan bersongkok. Meski Si Unyil dan keluarganya ialah figur utama di film itu, tayangan Si Unyil menyajikan kehidupan sebuah perkampung­an secara utuh. Keluarga Si Unyil mampu hidup tenteram dan tangguh di tengah-tengah warga yang beraneka-ragam wataknya.

Anak-anak pada era yang sama juga tidak sedikit yang akrab dengan Bobo dan keluarganya yang riang gembira. Kartun tenar yang eksis di majalah yang juga bernama Bobo terbitan Gramedia itu kabarnya mula-mula dibuat oleh seniman Belanda. Namun, keluarga kelinci yang ditampilkan di situ terkesan bernuansa Timur, bahkan Indonesia sekali.     
 
Orang tua Bobo disapa “bapak” dan “emak”, sebutan yang hidup di masyarakat Melayu. Berbeda dengan Bobo yang namanya eksotis, adik-adiknya punya nama lokal, seperti Coreng dan Upik. Para pembaca cilik pun diperkenalkan dengan banyak sosok dalam silsilah keluarga besar Bobo. Saya tercenung; betapa bahagianya anak-anak zaman dulu.

Definisi keluarga Indonesia pada masa silam terwakili oleh keluarga Budi, Unyil, dan Bayu. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat ayah, ibu, dan anak. Mirip dalam sisi uang logam lima rupiah yang menampilkan ukiran lelaki dewasa bersafari, perempuan dewasa berkebaya, dan dua bocah yang semuanya bergandengan tangan.

Sadar atau pun tidak, terencana atau pun tidak, pendidikan tentang keluarga pada waktu silam sudah diterima oleh anak-anak kita sejak dini bukan hanya dari buku teks. Media pembelajaran tentang keluarga dikemas dengan kreatif serta masuk ke proses berpikir-berasa masyarakat bahkan anak-anak tanpa mereka sendiri sadari.

Saya pun, akhirnya, baru belakangan ini tersadar akan sebab-musabab kegandrungan saya akan kekuatan cinta. Di semua seminar dan obrolan tentang anak, saya pun tak pernah lupa menjadikan cinta sebagai bumbu inti yang mutlak harus ada.

Di hadapan para guru, saya pun bertutur tentang mengajar dengan kekuatan cinta. Di kelas parenting, saya ulas tentang mengasuh dengan kekuatan cinta pula. Bahkan kepada para pengemudi ojek online yang mendaulat saya untuk berbicara pun saya berikan ‘resep’ tentang bagaimana melayani penumpang  dengan cinta.

Cinta sebagai intisari keluarga adalah ilham yang saya peroleh dan mengendap sejak berpuluh tahun lampau. Sumbernya apa lagi kalau bukan--antara lain--nama-nama pelakon yang saya tulis di alinea-alinea di atas. Mereka muncul di serbaneka media yang saya simak  dan--pastinya-- juga bagi berbagai lapisan dan kelompok usia pemirsa saat itu.

Saat ini forum-forum edukasi keluarga sudah banyak bisa dijumpai di masyarakat. Pelatih-pelatih dan literatur-literatur parenting tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan. Semua berbicara mengenai bagaimana membangun keluarga yang penuh kekuatan cinta. Saling menghargai, saling setia, dan saling bekerja sama untuk memenuhi hak-hak anak yang ada di dalam setiap keluarga.

Bersama Lembaga Perlindung­an Anak Indonesia (LPAI) sejak beberapa tahun terakhir saya juga ikut menggalakkan pembentukan Seksi Perlindungan Anak tingkat RT (SPART). SPART kami desain sebagai unit paling awal untuk mengakarrumputkan narasi-narasi perlindungan anak ke masyarakat. Salah satu tujuan ideal SPART adalah menyemikan kembali keinsafan publik akan pentingnya membangun keluarga berkualitas di lingkungan RT masing-masing.

Namun, tak bisa disangkal, memerlukan kerja keras kita bersama guna merealisasikannya. Tantangan terbesar adalah membiasakan masyarakat dengan gambaran-gambaran keluarga berkualitas sebagai kampanye kontra terhadap berbagai pesan tentang keluarga yang mengalami kegagalan fungsi. Memang getir terdengar, pancaindera masyarakat luas kadang cukup sering dibombardir dengan pesan-pesan negatif tentang keluarga yang gagal berantakan atau sarat dengan aneka konflik.

Untuk itulah, kesempatan belajar yang setara (nondiskriminatif) bagi semua anak untuk memahami makna keluarga harmonis, serta menyajikan materi pembelajaran seluas-luasnya bagi masyarakat mengenai kurikulum yang sama, adalah dua agenda yang perlu dipenuhi secepatnya. Hal itu, dalam rangka menggemakan kembali obsesi kolektif tentang upaya membangun keluarga berkualitas.

Satu langkah penting untuk itu adalah bila hari ini juga kita sanggup menghidupkan kembali: Budi, Unyil, Bobo, Bayu, Rumah Masa Depan, dan banyak lagi sebagai tamu-tamu rutin di ruang keluarga maupun ruang-ruang kelas di banyak sekolah bagi anak-anak kita!

Selamat Hari Keluarga Nasional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya