Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
PEMILU Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak di 171 daerah akhirnya berlangsung dengan lancar dan aman. Lewat metode hitung cepat, siapa calon kepala daerah yang memenangi kontestasi pilkada sudah diketahui publik.
Selayaknya kita apresiasi rakyat yang telah berbondong-bondong datang ke TPS untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin mereka.
Kita selayaknya juga memberikan apresiasi kepada penyelenggara pilkada (KPU, KPUD, Panwaslu dan sebagainya) yang terbukti telah sukses menggelar hajatan demokrasi itu secara serentak di 171 daerah. Pekerjaan yang sesungguhnya tidak ringan.
Pilkada yang puncaknya berlangsung sejak pagi hingga siang tadi (Rabu 27 Juni 2018) berjalan tertib sekaligus menepis tudingan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dua hari lalu menyebut TNI, Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak netral dalam pilkada.
Kita bisa pahami mengapa SBY merasa perlu mengingatkan pemerintah dengan berkata keras (sayang tanpa bukti) seperti itu. Boleh jadi ketika SBY menjadi presiden, ia menciptakan "ketidaknetralan" TNI, Polri dan BIN saat pilkada digelar.
SBY berprasangka negatif seperti itu mungkin disebabkan Kepala BIN adalah Budi Gunawan yang berlatar belakang polisi dan pernah menjadi ajudan Megawati Soekarnoputri saat Ketua Umum PDIP ini menjadi presiden.Jika tuduhan (fitnah?)
SBY benar, hasil Pilkada Serentak 2018 tentu tidak seperti sekarang. Faktanya, ada beberapa calon kepala daerah (gubernur) yang diusung PDIP justru kalah (di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur). Sebaliknya calon gubernur yang diusung Partai Demokrat malah menang, padahal sebelumnya diperkirakan kalah.
Dalam pilkada yang berlangsung secara demokratis itu, para calon gubernur yang diusung dan didukung Partai NasDem justru yang menang.
Tercatat ada 11 kandidat gubernur-wakil gubernur yang diusung/didukung NasDem memenangi kontestasi, empat di antaranya merupakan kader internal partai ini.
Empat kader NasDem menang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Seorang kader lagi (posisi sebagai wakil gubernur) menang di Riau. Mari kita hargai pilihan rakyat.
Untuk diketahui, meskipun ada sementara pihak yang masih bermain-main dengan SARA, fitnah dan ujaran kebencian (meniru "sukses" pilkada di Jakarta) dalam Pilkada Serentak 2018, rakyat kini semakin cerdas.
Mereka tidak bisa lagi ditipu. Demokratisasi mereka junjung tinggi. Buktinya di Makassar, kotak kosong pun memenangi kontestasi pemilihan wali kota.Ini bukti rakyat sudah pintar dan tidak sudi dipimpin oleh pemimpin yang ditengarai bakal mengecewakan mereka.
Kebebasan memilih tetap milik rakyat. TNI, Polri dan BIN tidak bisa bermain-main. Benar apa yang ditegaskan Presiden Joko Widodo bahwa netralitas TNI, Polri dan BIN adalah prinsip dan mutlak.
Presiden pun tak boleh campur tangan siapa kandidat gubernur, bupati dan wali kota yang harus dipilih.
Kita tidak bisa menutup mata, praktik money politics, terutama dalam proses pencalonan kepala daerah di partai politik masih ada. Mahar politik masih diberlakukan oleh sejumlah parpol meskipun selalu tidak diakui.
Masih tegakah kita menyebut fakta berikut ini fitnah jika kasus mahar dalam proses pencalonan kepala daerah akhirnya terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi saat kasus suap Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa, disidangkan, Senin (25/6) lalu?
Dalam persidangan itu, sebagaimana diberitakan metrotvnewsdotcom, Partai Gerindra disebut meminta jatah Rp 2,5 miliar kepada Mustafa. Ke depan, cara-cara ala mafioso ini harus diakhiri.
Logikanya, jika Partai NasDem bisa melakukan proses dukungan dan pencalonan kepala daerah tanpa mahar, seharusnya partai-partai lain juga bisa melakukannya jika kita merindukan proses demokrasi di negeri ini berlangsung bersih, jujur dan transparan.
Hajatan pilkada yang sebelumnya ingar bingar itu telah selesai. Rakyat telah menentukan pilihannya. Suatu kali secara kebetulan saya pernah bertemu dengan beberapa bakal calon gubernur dan bupati yang berniat menjadi pemimpin melalui pemilu kepala daerah (pilkada).
Melihat dan mengetahui motivasi mereka, saya kagum sekaligus muncul keraguan, bisakah mereka menjadi pemimpin atau negarawan yang baik saat terpilih nanti?
Kepada mereka saya selalu bertanya apa motivasi mereka mencalonkan diri menjadi kepala daerah?
Pertama, apakah ingin mencari kekuasaan? Kedua, apakah ingin mencari kekayaan (motif ekonomi), atau ketiga ingin mengabdi dan melayani rakyat?
Semuanya menjawab ingin mengabdi dan melayani rakyat. Terus terang saya tidak habis pikir, jika mereka memberikan jawaban seperti ini, mengapa untuk keperluan tersebut, mereka "rela" memberikan mahar kepada partai politik.
Yang membuat saya semakin tidak mengerti, mengapa pula ada partai yang tega minta mahar kepada calon kepala daerah yang ingin mengabdikan dirinya untuk melayani rakyat?
Politik tanpa mahar dan meneliti sang calon kepala daerah dengan melihat latar belakang dan track record-nya telah dipraktikkan oleh NasDem dan terbukti telah membuahkan hasil.
Kini saatnya para kandidat kepala daerah, baik yang menang, maupun yang kalah untuk menutup buku. Pilkada sudah selesai. Kini tiba saatnya perbedaan dan pertarungan ide dalam proses kontestasi kita akhiri.
Bersiap-siaplah Anda yang terpilih untuk bekerja melayani rakyat agar mereka semakin sejahtera. Teladanilah Presiden Jokowi yang tiada lelah bekerja demi rakyat yang dicintainya.
Jangan coba-coba korupsi. Jika ini yang Anda lakukan, percayalah, ibarat setitik nila rusak susu sebelanga, reputasi Anda dan partai yang mengusung dan mendukung Anda akan hancur lebur.
Senyum manis Anda di depan kamera wartawan saat Anda digelandang ke KPK tak akan mampu menutupi kejahatan kemanusiaan Anda. Oleh sebab itu, sekali lagi, jangan coba-coba khianati pilihan rakyat.(*)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved