Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PRESIDEN ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono kembali mengungkapkan kegalauannya lewat media sosial dan konferensi pers.
Karena sering curhat di medsos, rasanya kok layak jika beliau kita nobatkan sekalian saja sebagai "Netizen RI". Ya, Netizen Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Terbaru, SBY, begitu Susilo Bambang Yudhoyono biasa disapa, galau lantaran TNI, Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) dicurigai tidak netral dalam Pilkada Serentak 2018 yang digelar di 171 daerah Rabu (27/6).
Sebagaimana diberitakan mediaindonesia.com, presiden ke-6 RI itu membeberkan kondisi ketidaknetralan pemerintah dalam perhelatan pilkada serentak.
Dalam mengungkapkan kegalauannya, SBY memang piawai berkomunikasi di medsos dan di depan wartawan. Ia lihai menempatkan sosoknya sebagai korban sekaligus siap menanggung risiko walaupun posisinya pernah menjadi presiden. Istilah "tercyduk" pun dibawa-bawa.
Terkait pernyataan kerasnya itu, SBY pun menyatakan siap menerima risiko. "Biarlah saya SBY, warga negara biasa, penduduk Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang bicara. Kalau pernyataan saya ini membuat BIN tidak nyaman, ingin menciduk saya, silakan," katanya sebagaimana dikutip mediaindonesia.com.
Sebelum menggelar konferensi pers, lazimnya "Netizen RI" itu memanaskan situasi dengan membuat cuitan di Twitter.
Hebat, warga negara biasa, penduduk Cikeas yang memang luar biasa, karena setelah itu yang bersangkutan menggelar jumpa pers, dihadiri banyak wartawan dan disorot kamera televisi. Ia bukan netizen biasa.
Ucapannya pun tersiar menjadi berita, viral di medsos dan memunculkan tanda tanya, ada apa toh Presiden, eh, Netizen RI Bapak SBY kok bicara seperti itu?
Sebenarnya sih gampang ditebak. Ia ingin diperhatikan, terutama oleh pemerintahan Jokowi yang belakangan sibuk bekerja, sehingga melupakan sang mantan.
Dilatarbelakangi keinginan dan kegalauan seperti itulah, SBY merasa dirinya paling suci dan kerap menyisipkan kata-kata "apakah pemerintahan sekarang tidak takut kepada Allah?" dalam pesan yang disampaikan.
Merasa sebagai pembela rakyat, SBY bahkan tak segan berujar "semoga rakyat tidak melakukan perlawanan." Kalimat halus ala orang Jawa yang sebenarnya mengandung pesan agar rakyat melawan pemerintah.
SBY kejam dan melakukan provokasi? Tidak, meskipun beda tipis. Saya cuma bisa mengira bahwa itu dilakukan SBY lantaran beliau sedang galau, terutama menghadapi Pemilu Serentak 2019 yang di dalamnya ada pemilihan presiden.
Ia punya "putra mahkota" Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terlanjur tak bisa meniti karier sebagai tentara dengan pangkat terakhir "cuma" mayor, sementara SBY berpangkat jenderal.
Masa sih sang anak tidak bisa sama dengan bapaknya? Apa mau dikata, ini gara-gara -- entah siapa yang berambisi -- AHY disiapkan menjadi gubernur DKI Jakarta dan kalah oleh Anies Baswedan.
Kita layak memberikan apresiasi kepada SBY dan istrinya yang begitu sayang kepada sang putra, sehingga mereka terus memiliki semangat dan membangun mimpi agar AHY bisa berkiprah sebagai pemimpin bangsa.
Dengan begitu ke depan jika AHY jadi presiden, di saat negeri ini menggelar pilkada, maka TNI, Polri dan BIN bisa tetap netral, tidak sebagaimana yang sekarang dikhawatirkan SBY. Begitu pula ke depan, di negeri ini tidak muncul kasus mega-skandal Bank Century atau proyek-proyek mangkrak.
Namun, fakta politik yang sekarang berkembang, tampaknya tertutup bagi Partai Demokrat yang dipimpin SBY untuk mengusung calon presiden sendiri lantaran perolehan suaranya sebagaimana diatur dalam UU Pemilu tidak cukup.
Partai-partai kecil yang diharapkan bisa dirangkul untuk berkoalisi ternyata sudah punya agenda sendiri-sendiri.
Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya sudah menggadang-gadang Zulkifli Hasan, Hatta Rajasa dan Amien Rais. Mereka diplot sebagai capres, namun jika pun apes, jadi cawapres juga tidak apa-apa. Namanya juga usaha.
PKS yang menggebu-gebu "2019 Ganti Presiden" juga sudah berwacana memasangkan Prabowo Subianto (capres) dengan Anies Baswedan (cawapres).
Fakta-fakta itu tentu membuat Demokrat limbung dan Netizen RI SBY galau. SBY sebenarnya bisa saja merapat ke koalisi Jokowi dan mengajukan AHY sebagai cawapres. Tapi, siapa yang bisa menjamin ibu kita Megawati menerima dengan suka cita skenario semacam itu?
Kalau tidak jaga gengsi, Demokrat sebetulnya bisa merapat ke Gerindra (Prabowo). Namun, SBY malu-malu. Pada Pilpres 2014, Demokrat sudah terlanjur ogah merapat ke Koalisi Merah Putih dengan dalih ingin menjadi penyeimbang.
Akankah pada Pilpres 2019, Demokrat kembali menjadi penyeimbang?
Tampaknya tidak. Oleb sebab itulah SBY merasa perlu melakukan pendekatan kepada Jusuf Kalla. Keduanya bertemu di rumah SBY yang ada di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (25 Juni).
Seusai pertemuan itu, kepada wartawan, Kalla mengatakan bersama SBY, mereka tidak membicarakan soal politik.
Percaya? Saya tidak percaya. Saya menduga lewat pertemuan itu, Demokrat akan membuat poros ketiga dan mengusung pasangan gaek dan milenial, Jusuf Kalla-AHY.
Berkali-kali Kalla mengatakan bahwa ia akan pensiun dari pemerintahan, baik sebagai wapres, apalagi sebagai calon presiden meskipun undang-undang memungkinkan ia dicapreskan.
Alasan Kalla, "saya sudah tua." Tapi, dalam politik, apalagi untuk mengobati netizen SBY yang sedang galau, politik sering membuat lidah semakin tidak bertulang.(*)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved