Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

Politikus Asal ‘Njeplak’ dan Berita Miskin Konfirmasi

Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
22/6/2018 13:29
Politikus Asal ‘Njeplak’ dan Berita Miskin Konfirmasi
()

CARA paling gampang mendiskreditkan pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah cukup dengan berkata-kata dan syukur-syukur didengar wartawan dan kemudian kata-kata itu dikemas menjadi berita.

Modus seperti itulah yang selama ini dilakukan “musuh” pemerintah (baca: Jokowi) yang berada di kubu oposisi yang selalu melihat permen coklat seperti (maaf) tahi kucing, begitu pun rasanya.

Maklumlah dalam situasi seperti sekarang ini, mereka alergi dengan cinta yang dilukiskan penyanyi Gombloh dengan syair yang diciptakannya pada era 1980-an, “ketika cinta melekat, tahi kucing terasa coklat.”

Dilatarbelakangi fenomena seperti itulah (menyerang pemerintah cukup dengan kata-kata), di media massa berseliweran produk jurnalistik berjenis “talking news”.  Ya, berita yang bahan bakunya hanya kata-kata seorang tokoh, bisa politikus baik, bisa pula  politikus jahat.

Berkolaborasi dengan wartawan yang dituntut bekerja serba cepat, maka tersiarlah berita-berita kontroversial yang ujung-ujungnya memunculkan polemik berkepanjangan, melelahkan dan nggak penting pula.

Beberapa hari lalu, dari sebuah portal berita, saya menemukan berita berjudul seperti ini:  “Politikus Gerindra: Mudik Tahun Ini Seperti Neraka!”

Bagi pembaca atau anggota masyarakat bersumbu pendek, terutama yang malas membaca, berita dengan judul seperti itu pasti akan ditelan mentah-mentah, apalagi setelah mengetahui politikus yang dimaksud adalah Habiburokhman, pria “tampan” yang kalau bicara asal “njeplak”.

Para sumbu pendek yang di tahun politik ini terbiasa mengonsumsi berita-berita hoaks dan mengandung fitnah pasti bersorak-sorak gembira membaca judul berita di atas, apalagi dimuat di media mainstream. Berita semacam itu dianggap sebagai pembenaran atas ketidaksenangan mereka terhadap pemerintah, khususnya Presiden Jokowi.

Terus terang saya juga penasaran dengan isi beritanya. Portal berita itu menulis lead-nya seperti ini:  “Cerita pengalaman mudik datang dari Ketua Bidang Advokasi dan Hukum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman. Dia mengaku mudik tahun ini seperti neraka.”

Karena di sana tertera kata “pengalaman mudik” dan “mengaku”,  saya berasumsi apa yang diungkapkan pria yang pernah berjanji terjun dari Monas jika Ahok terpilih menjadi gubernur itu sarat dengan fakta tentang mudik.

Habiburokhman menuturkan, saat akan mudik ke Lampung, ia berencana membawa pulang serta kendaraan pribadinya melalui Pelabuhan Merak. Tepatnya, kata Habiburokhman, pada H-2 Lebaran.  "Mobil saya nyangkut dari habis sahur sampai jam 12.30 siang baru naik kapal gitu loh, itu lancar apanya. Itu namanya 'neraka' mudiklah gitu," katanya.

Dengan pengalaman tersebut, tulis portal berita tersebut, Habiburokhman menilai propaganda mudik lancar yang diserukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gagal. Sebab, pada kenyataannya, kemacetan terjadi saat arus mudik tahun ini.

"Kemudian saya baca di berita yang 42 kilometer yang macet di berbagai tol, ya menurut saya nggak ada kemajuan signifikan. Hanya yang nggak macet itu ya naik pesawat. Tapi itu kan bukan tolnya Pak Jokowi," ujarnya.

Singkat cerita, sang politikus menyimpulkan, berita yang mengadung fakta tentang kelancaran arus mudik tempo hari adalah hoaks yang diproduksi oleh pendukung Jokowi.  Habiburokhman berharap lewat pernyataannya, masyarakat menjadi tidak memiliki rasa percaya terhadap pemerintahan Jokowi.

Sebagai seorang politikus yang mendambakan ketua umum partainya terpilih menjadi presiden dalam Pilpres 2019, sah-sah saja Habiburokhman berbicara seperti itu, yang menurut orang waras, asal “njeplak”.

Yang saya sayangkan (semoga saya keliru), wartawan dalam kesempatan itu mengapa tidak berusaha mengonfirmasi kepada Habiburokhman guna mengetahui secara rinci apa, mengapa dan bagaimana Habiburokhman mudik.

Politikus ini bahkan sudah menyebut (mungkin hanya untuk lucu-lucuan) bahwa mudik tidak macet kalau naik pesawat terbang. Namun, wartawan tampaknya pasrah. Wartawan seharusnya saat itu bertanya (konfirmasi) kepada yang bersangkutan, “bapak sebenarnya mudik naik mobil pribadi atau naik pesawat terbang?”

Jika Habiburokhman menjawab ia dan keluarganya mudik ke Lampung naik pesawat terbang, apa pun celotehannya sebenarnya tidak layak jadi berita. Dalam soal begini, media (pers), termasuk wartawan sebaiknya bijak untuk memfilter fakta-fakta yang diperoleh di lapangan. Jangan asal tulis dan muat.

Beruntung, aparat pemerintah, termasuk Menteri Perhubungan, Budi Karya, sigap menelusuri perjalanan mudik kader militan Gerindra ini dan menemukan fakta tak terbantahkan bahwa Habiburokhman mudik ke Lampung naik pesawat terbang.

Belakangan sang politikus meralat omongan asal “njeplaknya” bahwa ia mendapatkan fakta mudik rasa neraka itu dari sang sopir yang membawa mobil sang tuan menyusul ke Lampung, sementara Habiburokhman enak-enakan naik pesawat udara.

Saya perkirakan di tahun politik sekarang ini, apalagi menjelang Pemilu Serentak 2019, bakal semakin banyak politikus yang berbicara asal “njeplak”.

Fenomenanya jelas-jelas sudah ada. Selain Habiburokhman, sebelumnya ada pensiunan politikus Amien Rais yang maaf kalau bicara juga sering ngawur tapi dikemas menjadi berita oleh insan pers padahal apa yang dikatakan tak masuk nalar.

Tempo hari Amien bilang bahwa Allah akan melengserkan Jokowi sehingga dipastikan Jokowi tidak akan terpilih lagi menjadi presiden pada Pilpres 2019. Sebelumnya dia mengatakan di Indonesia sekarang ini hanya ada dua golongan partai, yaitu partai “allah” dan partai “setan”.

Pertanyaannya, layakkah pernyataan Amien yang irasional itu dijadikan berita oleh media mainstream? Lain soal tentu jika media punya framing ingin menghina Presiden Jokowi atau menjerumuskan Amien Rais supaya “digebuk” ramai-ramai oleh musuh politiknya.

Fakta yang muncul kemudian, berita “talking news” itu malah semakin tidak menguntungan buat Amien Rais. Pepatah “mulutmu harimaumu” benar-benar mengena pada Amien Rais dan belakangan Habiburokhman.

Keduanya jadi bahan bully-an para warganet. Mereka menjadi makhluk tak berdaya di kalangan orang waras. Apakah ini yang dikehendaki para awak media? “Salahmu sendiri ngomong asal njeplak?”

Semoga tidak, sebab masyarakat tetap merindukan berita-berita sehat dan bernalar. Terus terang saya kasihan kepada Amien Rais yang seharusnya menikmati kebahagiaan momong cucu, kini namanya ikut tercemar gara-gara ujaran “setan” yang pernah dilontarkannya.

Beberapa foto wajahnya hingga hari ini belum terhapus dari Google ketika saya mengetik kata “setan” di mesin pencari itu. Gara-gara “setan” ini,  Amien Rais jadi bahan olok-olok. Kasihan.

Ke depan, ada baiknya media lebih selektif dan bijaksana dalam memilih nara sumber untuk bahan pemberitaan. Begitu pula dalam mengelola konten.  Saya heran, banyak media, terutama televisi yang malah memberikan panggung kepada politikus, tokoh dan pengamat yang sering asal “njeplak”.

Media jangan lupa pula melakukan konfirmasi dan membandingkan data. Beberapa hari lalu Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, berpidato menggebu-gebu mengungkapkan angka-angka dan asumsi untuk meyakinkan kepada publik bahwa pemerintahan sekarang salah melangkah.

Halo rekan-rekan media, Anda bukan netizen, tapi profesional di bidang informasi. Dalam waktu dekat Anda akan menemui tokoh dan konten yang aneh-aneh. Silakan kritis dengan melakukan konfirmasi dan perkuat dengan data dan nalar.

Jangan sampai berita yang  Anda tulis malah membuat orang pandai dan waras menertawakan media Anda hanya gara-gara Anda sangat percaya bahwa “mudik seperti neraka” dan “allah akan melengserkan Jokowi” benar-benar ada.(*)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya