Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
TIDAK tanggung-tanggung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan beserta jajarannya mengawal secara langsung implementasi kebijakan bahan bakar minyak (BBM) untuk mencapai keterjangkauan (affordable) dan ketersediaan (available) BBM penugasan.
Bahkan, Ignasius Jonan harus menyusuri sepanjang jalur Tol Trans Jawa untuk untuk memastikan pencapaian keterjangkauan dan ketersediaan BBM di seluruh SPBU menjelang musim mudik lebaran. Upaya menjaga keterjangkauan dan ketersediaan BBM sebagai implementasi Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191/2014, yang sudah ditanda-tangani Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Dalam revisi Perpres 191/2014 itu terkait dengan kebijakan penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM. Dengan adanya revisi perpres tersebut, maka BBM penugasan seperti premium dan solar akan wajib didistribusikan di daerah Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Pada aturan sebelumnya tidak ada kewajiban bagi Pertamina untuk mendistribusikan premium di wilayah Jamali, tetapi wajib didistribusikan di luar Jamali. Selain itu, penaikan harga seluruh jenis BBM harus mendapat persetujuan dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM.
Kendati revisi Perpres 19/2014 tidak melanggar UU Migas 22/2001, masih ada pihak yang menilai bahwa kebijakan, yang kembali mewajibkan penyediaan premium sebagai BBM Penugasan di wilayah Jamali, merupakan inkonsitensi kebijakan penyediaan BBM bersih lingkungan sesuai ketentuan Euro-4, yang sudah diratifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, revisi Perpres 19/2014 itu sesungguhnya sesuai dengan program Kementerian ESDM untuk mencapai energi-berkeadilan, dengan mengupayakan keterjangkauan dan ketersediaan BBM di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk mencapai keterjangkaun, Kementerian ESDM sejak Januari 2018 sudah menetapkan untuk tidak menaikkan harga BBM Penugasan, yang awalnya berlaku hingga akhir Maret 2018, lalu diperpanjang hingga akhir 2019. Memang tidak bisa dihindari munculnya 'syak-wasangka' bahwa kebijakan tidak menaikkan harga BBM penugasan hingga 2019 merupakan upaya untuk menaikkan elektabilitas Joko Widodo. Namun, tujuan kebijakan itu, selain untuk tetap menjaga keterjangkauan harga BBM, juga dimaksudkan untuk menjaga daya beli rakyat sebagai konsumen dan mengendalikan inflasi.
Kontribusi penaikan harga BBM terhadap inflasi memang tergolong rendah, tapi tidak bisa dihindari penaikan harga BBM menimbulkan multiplier effects, yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampaknya, rakyat berpenghasilan tetap, utamanya rakyat miskin yang tidak pernah menggunakan BBM lantaran tidak memiliki kendaran bermotor, akan terimbas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dengan demikian, ada kepentingan lebih besar untuk tetap menjaga daya beli rakyat sebagai konsumen, juga untuk melindungi rakyat miskin dalam menghadapi terpaan inflasi.
Sedangkan, tujuan kebijakan mewajibkan kembali bagi Pertamina menyediakan BBM Penugasan di wilayah Jamali ialah untuk menjaga ketersediaan BBM di seluruh wilayah Indonesia, agar tidak terjadi lagi kelangkaan di Wilayah Jamali. Beberapa waktu lalu memang sempat terjadi kelangkaan premium di sejumlah SPBU di Jawa. Kelangkaan tersebut dipicu oleh pengurangan pasokan premium di wilayah Jamali, yang memang bukan merupakan kewajiban bagi Pertamina.
Kelangkaan premium belum reda, Pertamina memutuskan menaikkan harga Pertalite dari Rp7.800 per liter naik menjadi Rp8.000 per liter. Dengan kenaikan harga Pertalite sebesar Rp200 per liter menyebabkan disparitas antara harga premium dengan pertalite menjadi semakin menganga hingga mencapai sebesar Rp1.450 (Rp8.000–Rp6.550) per liter.
Dengan disparitas kedua harga sebesar itu, tidak bisa dihindari terjadi gelombang remigrasi dari pertalite kembali ke premium, yang menyebabkan permintaan premium semakin meningkat. Kala itu Pertamina tidak menambah pasokan premium untuk memenuhi peningkatan premium akibat remigrasi konsumen dari pertalite. Akibatnya, kelangkaan premium pada saat itu menjadi semakin parah.
Untuk menghindari terulang-kembalinya kelangkaan itu, maka revisi Pepres 19/2014 mewajibkan kembali Pertamina untuk menyediakan BBM Penugasan di seluruh Wilayah Indonesia, baik di luar Jamali maupun Jamali. Dengan demikian, kebijakan itu tetap memberikan pilihan jenis BBM yang digunakan oleh konsumen. Bukan memaksa konsumen untuk migrasi ke jenis BBM yang lebih ramah lingkungan dengan cara menghapus ketersediaan premium.
Konsumenlah yang seharusnya memutuskan sendiri untuk menggunakan jenis BBM sesuai dengan kebutuhan kendaraan yang digunakan. Kewajiban pemerintah, melalui Pertamina, untuk menyediakan semua jenis BBM yang dibutuhkan konsumen.
Sedangkan untuk mencapai ketentuan Euro-4, Pertamina seharusnya menyiapkan road map, baik dari sisi kesiapan konsumen, maupun produsen. Agar konsumen bersedia migrasi dari premium ke jenis BBM sesuai Euro-4, Pertamina bisa melanjutkan distribusi pertalite sebagai bridging ke Pertamax, dengan syarat disparitas harga tidak terlalu menganga sehingga mendorong konsumen secara sukarela melakukan migrasi.
Sebagai produsen, Pertamina juga harus segera membangun kilang-kilang minyak yang dapat memproduksi BBM Euro-4, agar tidak semua BBM Euro-4 nantinya harus diimpor. Pasalnya, impor seluruh BBM Euro-4 akan menguras devisa negara, yang berpotensi melemahkan rupiah dan memicu inflasi.
Tanpa ada penyiapan konsumen dan produsen, jangan harap migrasi BBM sesuai ketentuan Euro-4 akan terlaksana dengan mulus. Bahkan, tidak menutup kemungkinan upaya mencapai Euro-4 justru akan melemahkan perekonomian Indonesia, utamanya terjadinya pelemahan rupiah dan inflasi. (X-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved