Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Gugus dan Klaster

Dony Tjiptonugroho Redaktur Bahasa Media Indonesia
10/3/2018 23:20
Gugus dan Klaster
(ANTARA FOTO/R. Rekotomo)

ADA kata yang terkait cukup erat dengan perjalanan saya sebagai editor bahasa, yakni cluster. Awal 2000-an sektor pro­perti di Indonesia banyak diwarnai pembangunan perumahan baru bersistem cluster. Istilah cluster dipakai karena para pengembang mengacu pola perumahan mengelompok dengan satu pintu untuk akses masuk sekaligus keluar.

Betapa sering istilah cluster itu muncul di pemberitaan tentang perumahan sehingga saya merasa ‘kelelahan’ melihat kata asing itu. Saya pun memikirkan padanan dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Inggris-Indonesia John M Echols & Hassan Shadily yang saat itu saya rujuk, cluster diberi dua padanan untuk nomina, tandan dan kelompok. Kata tandan dan kelompok saya pikir kurang mengena untuk menggantikan kata cluster di bidang properti.

Akhirnya saya teringat buku cerita Lima Sekawan dan Seri Petualangan karangan Enid Blyton yang saya baca sewaktu SD, yang salah satu episodenya menceritakan kondisi pulau-pulau yang membentuk sebuah gugus dengan satu jalur untuk akses masuk sekaligus keluar. Sulit mencari akses selain jalur yang hanya dikenal George, salah satu tokoh di Lima Sekawan.

Saya merasakan kemiripan antara cluster dan gugus. Karena itu, saya usulkan kepada rekan-rekan sesama editor bahasa di Media Indonesia penggantian cluster dengan gugus terutama di berita perumahan, kecuali di kutipan langsung. Begitulah, sese­ring cluster muncul, sekerap itu pula kami di Media Indonesia menggantinya dengan gugus. Biasanya diawali ‘...gugus (cluster)...’ lalu berlanjut dengan gugus saja.

Namun, di ‘belahan dunia’ yang lain, cluster juga disorot. Kalangan lain menggunakan cluster dengan kekerapan yang tinggi sehingga mereka juga memikirkan pengindonesiaan cluster. Muncullah klaster. Pengindonesiaannya didasari adaptasi fonologi. Cluster dieja /klaster/ maka jadilah serapannya klaster.

‘Gerbong’ pengguna klaster sangat besar dan berpengaruh karena termasuk kementerian, ilmuwan, dan peneliti statistik. Jadilah klaster sebagai arus utama padanan cluster. Memang menulis klaster langsung mengingatkan pembaca kepada cluster. Menariknya, klaster baru muncul di KBBI V aplikasi dan daring dengan makna ‘beberapa benda atau hal yang berkelompok menjadi satu; gugus’. Turunannya ialah mengklaster dan pengklasteran. Jadi, sebenarnya kami ‘menyumbang’ makna ‘gugus’.

Penyerapan yang diutamakan sebenarnya ialah menggali padanan dari khazanah bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang memiliki cakupan makna identik. Adaptasi cluster menjadi klaster mengingatkan saya pada Malaysia yang memalaysiakan bicycle menjadi basikal.

Kalau toh ingin mengindonesiakan cluster tanpa menggali khazanah bahasa sendiri, kita dapat merujuk pada kasus club. Kata club sudah lama diserap menjadi klub, selain kelab. Dengan acuan klub, cluster diserap menjadi kluster, atau kelaster. Andai kluster, atau kelaster, dianggap aneh, sebenarnya begitu pula awalnya klaster bagi sebagian penutur bahasa Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya