Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Pekerja Anak dan Ujian Pendidikan Kita

Nurul Lathiffah Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial RI,Penulis Buku Bacaan Anak di Balai Bahasa Yogyakarta
13/11/2017 00:34
Pekerja Anak dan Ujian Pendidikan Kita
(Ilustrasi--thinkstock)

KEBERADAAN pekerja anak kembali mengemuka pascamusibah ledakan gudang petasan di Tangerang. Pasalnya, ditemukan korban berusia anak yang diduga merupakan pekerja anak di perusahaan itu. Tanpa menyebutkan nama, bisa jadi fenomena pekerja anak yang kian terungkap itu merepresentasikan kondisi yang seragam di daerah lain. Fenomena maraknya pekerja anak ibarat fenomena gunung es. Hanya sedikit fakta yang dapat terungkap, sedangkan yang lain tak (di)muncul(kan) ke permukaan. Anak-anak seharusnya tidak ditemukan bekerja di tempat produksi.

Sebab, mempekerjakan anak berarti telah merampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan layak. Pada 2017, data statistik mengemukakan terdapat 1,6 juta pekerja anak yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka memiliki usia di bawah 17 tahun dan meninggalkan bangku sekolah demi mencari nafkah. Kenyataan ini tentu memprihatinkan sebab tanpa pendidikan layak, anak-anak akan sulit memutus mata rantai kemiskinan di masa depan.Selain itu, pekerja anak juga dirugikan sebab ia sebagai korban eksploitasi SDM. Mereka bekerja sekuat tenaga, bahkan mengimbangi kekuatan orang dewasa, tetapi upah yang diterima sangat minim.

Penyebab munculnya pekerja anak dapat dipancing beberapa faktor. Keputusan anak untuk bekerja bisa disebabkan kondisi ekonomi keluarga, kejenuhan belajar, atau bahkan drop out. Sebagaimana kita pahami, bahwa kondisi keluarga yang prasejahtera cenderung sulit membiayai biaya pendidikan anak. Terlebih jika menganggap anak sebagai aset ekonomi, keluarga tak akan melarang anak bekerja dengan risiko kehilangan mendapat pendidikan. Selain faktor ekonomi dan penelantaran pendidikan anak dalam keluarga, faktor lain yang memicu kehadiran pekerja anak ialah putus sekolah.

Anak-anak yang putus sekolah, bahkan meski orangtuanya bertekad membiayai pendidikan, cenderung memilih bekerja jika dibandingkan melanjutkan sekolah. Biasanya, hal ini dipicu ketidakmampuan melakukan penyesuaian terhadap materi pelajaran. Anak-anak dengan prestasi akademik yang jauh tertinggal, dapat memutuskan berhenti sekolah karena merasa belajar merupakan aktivitas yang berat dan membosankan. Dengan menyimak hal ini, ada baiknya kita mengevaluasi ulang peran keluarga dalam memberikan kesempatan anak-anak bersekolah.

Kita perlu menggerakkan hasrat secara kolektif dan massal bahwa anak bukanlah modal meraup keuntungan. Sebaliknya, pendidikan merupakan investasi modal manusia. Hal ini harus disadari agar mereka berusaha menyekolahkan anak-anaknya sebagai upaya meningkatkan taraf kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga di masa depan. Di sisi lain, sekolah dan guru juga harus terus melakukan perbaikan.Jangan sampai, ada anak putus sekolah disebabkan trauma, takut terhadap sulitnya materi, dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan di dalam kelas.

Anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang menyenangkan, aman, dan ramah. Dengan begitu, sekolah akan dipersepsi sebagai suatu hal yang menyenangkan. Bagaimanapun juga, keberadaan pekerja anak akan memengaruhi wajah pendidikan kita. Bahkan, maraknya pekerja anak menjadi cermin betapa pendidikan harus selalu berbenah. Tak hanya itu, bahkan kita memiliki tugas berat, yakni mengembalikan pekerja anak ke bangku sekolah, atau setidaknya memberikan wadah pendidikan non formal. Sebenarnya, pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan anak dari putus sekolah.

Meski demikian, upaya ini ternyata begitu menantang dan menemukan banyak liku yang tak mudah. Memberikan pemahaman pada keluarga agar tidak menelantarkan pendidikan anak, tak semudah membalik telapak tangan. Terlebih, membujuk anak-anak untuk kembali mengenyam bangku pendidikan. Namun, upaya ini harus terus diupayakan demi cerahnya wajah pendidikan. Jangan sampai, anak-anak tergoda atau terpaksa bekerja, dan meninggalkan 'dekapan' pendidikan. Sebab pendidikan yang layak dan baik menjanjikan kesempatan menggapai masa depan gemilang.

Meski tantangan yang kita alami tidak mudah, kita bersyukur bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk membebaskan anak dari pekerjaan yang belum layak ditangani. Sebagaimana sebagai Conditional Cash Transfers (CCT) atau Bantuan Tunai Bersyarat, Kementerian Sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) berkomitmen mengurangi kesenjangan dan memutus mata rantai kemiskinan. PKH merupakan salah satu program perlindungan sosial melalui pemberian uang kepada keluarga penerima manfaat (KPM) yang memiliki komponen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.

Peserta PKH menerima bantuan apabila menyekolahkan anaknya dengan tingkat kehadiran minimal 85% (terverifikasi oleh pendamping). Upaya ini efektif untuk mencegah pekerja anak, khususnya dalam keluarga yang menjadi peserta PKH. Secara tidak langsung, program ini mampu menggairahkan partisipasi kasar dalam pendidikan, sejak SD hingga SMA sederajat. Selain itu, melalui family development session (FDS) PKH yang rutin diberikan setiap bulan kepada pengurus keluarga, tercapai peningkatan kapasitas keluarga prasejahtera dalam mendidik anak, mengasuh, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dan kesadaran terhadap perilaku produktif di berbagai bidang.

Edukasi terhadap ibu rumah tangga sangat diperlukan sebagai bekal mengasuh anak dengan produktif dan bahagia. Dalam pertemuan bulanan yang diisi kegiatan FDS, ibu rumah tangga yang menjadi peserta mendapatkan materi yang menarik dan aplikatif tentang mengasuh anak, merawat lansia, memahami perilaku anak, dsb. Tentu saja, hal ini menunjang keberhasilan pengasuhan dalam keluarga. Dampaknya, ibu lebih mudah memahami perilaku anak, menanganinya secara bijak, dan mengarahkan anak pada perilaku lebih baik.

Program Keluarga Harapan menyediakan semacam 'sekolah bagi orangtua', yang di dalamnya terdapat ilmu terapan yang dapat diterapkan dengan mudah. Selain itu, pertemuan bulanan juga menumbuhkan kesadaran keluarga untuk melindungi hak anak. Hal ini memungkinkan setiap ibu rumah tangga peserta PKH memiliki kepiawaian sikap dalam memotivasi anak untuk belajar dan menuntaskan pendidikan. Kesadaran keluarga untuk menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi buah hati merupakan modal utama memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi.

Perlahan, tapi pasti, kesadaran ini terus dibangkitkan, salah satunya melalui PKH. Selanjutnya, kita terus-menerus menularkan semangat agar setiap keluarga terus berusaha menyekolahkan anak-anaknya meski harus berjuang dan bekerja lebih keras. Pendidikan ialah modal yang tak akan pernah surut nilainya. Maka, jangan sampai kita menikmati hasil kerja anak yang hanya sedikit dan dinikmati sebentar dengan mengorbankan masa depan mereka. Anak-anak harus bersekolah. Mereka harus mengenyam pendidikan yang layak.

Keluarga memiliki tanggung jawab memotivasi dan memfasilitasi anak agar bersemangat meraih asa. Sekolah bersama orangtua harus bermitra dalam upaya memberikan pendidikan yang ramah anak. Negara harus tetap hadir dalam permasalahan kemiskinan dan memberikan akses yang mudah bagi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan. Pekerja anak merupakan ujian bagi bangsa kita. Sedapat mungkin, penambahan pekerja anak harus kita cegah, dan yang sudah terlanjur sebagai pekerja diupayakan kembali ke sekolah. Selain itu, pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang mempekerjakan anak agar ada efek jera bagi perusahaan 'nakal' yang nekat melipatgandakan keuntungan dengan mempekerjakan anak di bawah usia (kerja).

Semua pihak harus saling bersinergi. Keluarga merupakan elemen pertama dan utama yang seharusnya bisa mencegah penelantaran pendidikan anak. Keluarga harus memiliki daya juang tinggi untuk menyekolahkan anak sekaligus memberikan motivasi belajar dengan cara yang menyenangkan. Wallahu'alam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya