Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Revolusi Proyek Jembatan

Tasroh Tim Ahli Pengadaan Proyek Infrastruktur Pemkab Banyumas Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
01/11/2017 00:01
Revolusi Proyek Jembatan
(MI/Abdus Syukur)

AMBRUKNYA jembatan tol di Desa Cukurgondang, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, yang menewaskan seorang pekerja dan melukai dua lainnya pada Minggu (29/10) seolah mengulang kisah klasik 'tragis' terkait dengan pembangunan infrastruktur jembatan yang dikerjakan BUMN kita. Pada bulan sebelumnya, kasus ambruknya jembatan yang konon sudah dirancang dengan teknologi tinggi itu juga terjadi di Desa Tanipah, Kecamatan Mandastana, Kabupaten Batola, Kalsel, yang juga menelan korban 4 pengendara mobil dan 7 pengendara sepeda yang sedang melintas ketika terjadi bencana ambruknya jembatan senilai Rp17 miliar itu.

Jika dirunut, setidaknya selama setahun terakhir terjadi 5 kali jembatan ambruk yang tersebar di berbagai daerah. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (2017) menyebutkan bencana demikian lebih disebabkan kelalaian pengelolaannya atau kesalahan konstruksi akut. Kementerian PU dan Polri kini menyelidiki penyebab sesungguhnya atas ambruknya jembatan tol di Pasuruan sekaligus melakukan evaluasi proyek-proyek infrastruktur khususnya bidang jembatan.

Harus diakui agresivitas pembangunan infrastruktur tol dan jembatan di era pemerintahan Jokowi–JK memang 'revolusioner'. Tak hanya anggaran infrastruktur 2017 yang mencapai Rp326 triliun dengan Rp98 triliun khusus untuk proyek jembatan di seluruh Indonesia, tetapi juga kuantitas jembatan yang demikian masif dibangun di banyak tempat. Total sejak 'revolusi' infrastruktur digelar sejak 2014, sudah terbangun 276 jembatan yang terkoneksi dengan agenda tollisasi (toll-ization) di berbagai daerah di Indonesia.

Padahal, pada era sebelumnya (era Susilo Bambang Yudhoyono), misalnya, dalam waktu 10 tahun 'hanya' mampu membangun jembatan sebanyak 53 buah dengan panjang maksimal hanya 80 meter (kecuali Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura). Sebaliknya di era Jokowi tidak hanya rentang panjang jembatan (tol) yang rata-rata mencapai 300 meter, tetapi juga jumlahnya yang mencapai ratusan buah (Koran Tempo, 31/10/2017).

Kementerian PU (2017) melaporkan bahwa agresivitas pembangunan infrastruktur khususnya Jembatan di era Jokowi karena diakui pembangunan dan pengadaan proyek jembatan di era rezim sebelumnya kurang diperhatikan serius. Tidak hanya miskin teknologi dan dibangun ala kadarnya, jembatan-jembatan di masa sebelumnya juga minim anggaran sehingga sering tidak menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan pengadaan proyek infrastruktur jalan.

Yang harus 'direvolusi'

Memang diakui berbagai kalangan termasuk Bank Dunia dalam laporan akhir 2016 lalu menyebutkan bahwa pembangunan dengan proyek infrastruktur tollisasi, termasuk pembangunan jembatan di Indonesia, sejak dikendalikan pemerintahan Jokowi tergolong 'luar biasa'. Dalam waktu tiga tahun pemerintah sudah mampu membangun tol sepanjang 757 km, dan juga secara simultan membangun ratusan jembatan. Banyak pengamat menyebutkan proyek revolusioner sedang digalang di era Jokowi.

Sayangnya, proyek-proyek jembatan yang dibangun belum beranjak dari tradisi, yakni terkait dengan 'model kejar tayang' yang terus dilakukan. Padahal, dampak proyek jembatan kejar tayang, seperti disimpulkan dari hasil riset pakar konstruksi ITB, Dr Agung Hermawan (2017), dalam Proyek 'Khusus' Jembatan di Indonesia, setidaknya diperlukan tiga prasyarat mutlak yang dikenal sebagai 'revolusi proyek'. Pertama, harus dikerjakan pengembang konstruksi jembatan khusus yang memiliki teknologi dan pengalaman dengan track record mumpuni. Sayangnya, kemampuan teknis jembatan pada perusahaan-perusahaan nasional kita belum sepenuhnya teruji.

Kedua, dikerjakan tanpa jam kerja yang manusiawi. Dengan target perusahaan (BUMN) yang ketat dengan alasan efisiensi dan produktivitas kerja, tenaga kerja di bidang konstruksi Jembatan kita sering tidak diperlakukan secara manusiawi. Di samping secara status lebih sering diperlakukan sebagai 'pekerja harian' (sehingga berimplikasi pada alpanya standardisasi jam kerja, gaji dan fasilitas sebagai pekerja), buruh proyek jembatan sering dibiarkan perusahaan yang mempekerjakan tinggal berbulan-bulan di bawah 'kolong jembatan' tempat proyek jembatan digelar.

Pada proyek jembatan tol, seperti kasus proyek tol Pasuruan–Probolinggo (Pas-Pro), misalnya, sudah berbulan-bulan ratusan pekerja buruh harian itu 'keleleran' sehari-hari, bermalam di kolong jembatan tol seperti 'gembel'. Perlakuan perusahaan demikian menyebabkan para buruh proyek jembatan bekerja ala kadarnya, dan terlihat rajin hanya ketika mandor sedang mondar-mandir.

Ketiga, daya tahan konstruksi jembatan yang seumur jagung. Dampak perlakuan tak manusiawi pada sebagian besar pekerja proyek jembatan di negeri ini secara langsung berimplikasi pada usia dan daya tahan jembatan yang dibangun. Kementerian PU (2017) mencatat bahwa harus diakui, usia dan daya tahan jembatan di Indonesia tergolong paling 'ringkih' jika dibandingkan dengan jembatan-jembatan yang dibangun di era penjajahan Belanda atau Jepang, ratusan tahun yang lalu.

Demikian juga jika dibandingkan dengan usia dan daya tahan jembatan di negara-negara ASEAN, Indonesia menduduki rangking ke-8 dari 11 negara. Usia dan daya tahan jembatan di negara-negara kawasan ASEAN mencapai di atas 15 tahun. Sebaliknya usia dan daya tahan Jembatan 'produk teknologi Indonesia', 'hanya' dalam rentang '5-10' tahun. Bahkan belakangan seperti laporan Masyarakat Konstruksi Jembatan Indonesia (2017), dengan alasan kondisi morfologi tanah dan lokasi kawasan jembatan yang labil, mudah longsor dengan kontur aliran daerah aliran sungai yang berubah-ubah (karena anomali cuaca dan iklim), daya tahan jembatan di Indonesia di bawah 6 tahun!

Atas dasar fakta itu, kasus ambruknya jembatan tol di Pasuruan sejatinya tidak hanya diperlakukan kasuistis dengan penanganan dan evaluasi sektoral belaka. Tetapi harus menjadi 'warning' pemerintah melalui kementerian terkait dan BUMN/perusahaan pengembang proyek jembatan lainnya untuk segera berbenah. Khususnya dalam tiga hal di atas (yang selama ini terlupakan). Dengan demikian, proyek infrastruktur khususnya jembatan tidak sekadar mengejar jumlah dan target fisik proyek an sich.

Namun, jauh lebih strategis ialah mewujudkan tiga hal di atas agar proyek jembatan ke depan benar-benar menjawab persoalan infrastruktur jembatan nasional kita seutuhnya, yakni jembatan yang aman, kuat, dan tahan lama, sehingga menghemat anggaran negara dalam proses pembangunannya serta panjang umur karena dikerjakan dengan cermat, penuh 'kemandirian, memanusiakan para pekerja konstruksi jembatan itu sendiri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya