Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
POLITIK rezim Orde Kurawa (Orku) pimpinan Prabu Duryudana yang menguasai Astina dikenal bermazhab Machiavellis. Politik nir-keadaban. Politik tanpa moral, etika, apalagi keluhuran atau kemuliaan. Patronnya hanya
berani, rai gedhek (tidak tahu malu), dan nekat. Maka, tidak aneh bila aneka fi tnah tumbuh dan menyebar bak jamur di musim hujan. Isu-isu
tidak nalar dikapitalisasi untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik. Membabi-buta tanpa ingat karma. Kurawa pun tidak risih mengolok-olok asal usul (bapak) Pandawa, Pandudewanata, yang tengeng. Kematian Pandu di usia
muda pun disebut sebagai akibat tindakan bodoh. Selain tega meninggalkan lima anaknya yang masih kecil-kecil, Pandu dianggap pemimpin yang tidak bertanggung jawab kepada rakyat karena hanya memburu kesenangan pribadi.
Itulah wajah politik Kurawa. Tanpa tedeng aling-aling (secara terbuka) mereka berusaha menghancurkan Pandawa dengan segala cara. Padahal, pandawa sesungguhnya bukan hanya sebangsa dan setanah air, tetapi juga sedarah, sama-sama trah Abiyasa alias Kresnadwipayana. Jalani pembuangan
Politik Kurawa yang bertujuan memusnahkan Pandawa dari pusaran kekuasaan tidak ada jeda. Dimulai sejak masih sama-sama belajar di Pedepokan Sokalima hingga Pandawa sedang menjalani hukuman pembuangan, juga
penyamaran di Negara Wiratha. Di Wiratha itulah kemudian menjadi tonggak perlawanan Pandawa terhadap Kurawa, saudara sepupu mereka. Negara itu
menjadi basis laku dan perjuangan kelima bersaudara tersebut merebut kembali hak-haknya, yakni kedaulatan atas Amarta (Indraprastha) dan Negara Astina. Alkisah, Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan
di Hutan Kamyaka selama 12 tahun. Ini sebagai konsekuensi dari kekalahan mereka dalam permainan dadu melawan Kurawa yang penuh tipu muslihat.
Permainan dadu yang diinisiasi patih Astina, Sengkuni, itu merupakan strategi Kurawa menghabisi Pandawa setelah upaya lain sebelumnya berulang kali gagal. Kebengisan Kurawa tersebut semata-mata demi melanggengkan
kekuasaan mereka atas Astina dan Indraprastha. Kurawa memperhitungkan,
dengan hidup di belantara selama itu, Pandawa bakal kelaparan dan pada akhirnya menemui ajal. Untuk mengetahui gerak-gerik Pandawa, Kurawa mengintip dengan menyebarkan mata-mata. Di saatsaat tertentu Kurawa menggelar pesta besar-besaran malam suntuk di bagian wilayah hutan
dengan maksud membuat Pandawa stres, tersiksa. Akan tetapi, semua yang
diskenariokan Kurawa meleset. Pandawa tidak konyol di hutan, malah justru menjelma menjadi kesatria-kesatria tangguh. Mereka menghidupi diri tanpa bantuan pihak mana pun. Kelima saudara itu menjalani pembuangan dengan
laku prihatin. Misalnya Arjuna. Ia menghabiskan waktu dengan banyak bertapa. Berkat kegenturannya mahas ing asemun (samadi), ia mendapat
berbagai anugerah dari dewa. Di antaranya panah pasopati. Pusaka ampuh
itu jadi salah satu senjata andalannya dalam Bharatayuda. Kemampuan
Pandawa menjalani penderitaan dengan sabar, sareh, lan semeleh (sabar, tenang, dan pasrah kepada Yang Mahakuasa) seperti itu berkat didikan sang ibu, Kunti Talibrata. Petuahnya, lelakon adile dilakoni, manusia
itu kewajibannya menjalani hidup tanpa dendam ataupun kebencian.
Kudeta gagal Setelah menjalani hukuman 12 tahun dengan mulus, tibalah
waktu melakukan penyamaran selama satu tahun. Sesuai dengan kesepakatan ketika main dadu, bila selama penyamaran diketahui publik, Pandawa mesti mengulang, menjalani pembuangan dari awal. Periode inilah yang dimanfaatkan Kurawa. Mereka mengerahkan seluruh balanya mencari Pandawa.
Dengan berbagai cara, mereka lalu mengklaim Pandawa gagal menyamar. Mereka menyebarkan kabar bohong tersebut. Padahal, sesungguhnya tidak
ada satu pun yang mengetahui di mana Pandawa berada. Pandawa seolah
hilang ditelan bumi. Mereka sesungguhnya telah masuk ke wilayah Negara Wiratha, salah satu negara tertua di dunia. Negara itu dipimpin
Prabu Matswapati. Puntadewa menyamar menjadi lurah pasar bernama Wijakangko. Werkudara sebagai tukang jagal hewan bernama Abilawa atau
Bilawa, Arjuna sebagai guru tari dan karawitan di istana dengan
nama Wrahatnala. Nakula mengurusi kuda bernama Kinten, dan Sadewa menjadi penggembala bernama Pangsen. Sementara itu Drupadi, yang mendampingi
suaminya (Puntadewa) menjalani hukuman, menyamar sebagai perias istana bernama Salindri. Dengan begitu rapatnya penyamaran mereka, Pandawa
berhasil melewati masa hukuman tahap akhir tanpa cacat. Inilah yang membuat Duryudana uring-uringan, gusar. Ini berarti kekuasaannya atas kedaulatan Astina dan Indraprastha terancam. Dalam tahap akhir penyamaran
Pandawa itu terjadi peristiwa menggiriskan, yakni upaya kudeta yang dipimpin patih sekaligus senapati Wiratha sendiri, yakni Kincaka Rupa. Elite Wiratha yang ikut dalam aksi inkonstitusional tersebut ialah Rupakenca dan Rajamala. Kudeta itu akhirnya bisa digagalkan. Semua pelaku tewas di tangan Abilawa yang sejatinya Werkudara. Belum pulih dari peristiwa kelam itu, tiba-tiba Wiratha diserang tentara dari Triharga
yang dipimpin Prabu Susarma dan pasukan Astina di bawah komando senapati Karna Basusena. Namun, lagi-lagi, Abilawa dibantu Wrahatnala tampil ke depan mengeyahkan satru (musuh) dan memulihkan stabilitas politik
Wiratha. Kurawa sirna Setelah keamanan terkendali, Matswapati mengadakan
acara syukuran yang dihadiri semua komponen negara. Pada kesempatan itu sang raja membangga-banggakan putra mahkotanya, Raden Utara, yang
disebut-sebut yang berjasa mengalahkan musuh-musuh Wiratha.
Sejenak seusai berpidato, Wijakangko matur bahwa yang mengembalikan situasi keamanan Wiratha ialah Wrahatnala dan Abilawa, bukan Utara. Matswapati membantah. Ketika Wijakangko kembali menegaskan bahwa
dua orang yang ia sebut itulah yang berjasa besar, Matswapati marah. Ia lalu mengambil pas bunga yang ada di depannya dan memukulkannya ke kening
Wijakangko hingga keluarlah darah putih Darah putih itulah yang
membuat Matswapati terhenyak, tertegun. Ia lalu menyelisik hingga
kemudian terkuaklah sejatinya lima kesatria dan satu putri yang
menyamar. Mereka ialah Pandawa dan Drupadi. Poin dari kisah ini ialah Kurawa menerapkan politik menghalalkan segala cara demi kekuasaan.
Kodratnya bukan Pandawa yang sirna, melainkan Kurawa yang lenyap dalam gelanggang Perang Bharatayuda di Kurusetra. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved