Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Bahaya Emotional Hijacking

Khoirudddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
18/9/2017 00:16
Bahaya Emotional Hijacking
(Khoiruddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta. DOK PRIBADI)

DI saat kami sedang melepas lelah di kolong jembatan dekat kemah Mina, Arab Saudi, setelah seharian wukuf di Arafah yang sangat panas, dan mabit bermalam di Muzdalifah tiba-tiba ada jemaah Bangladesh ikut nimbrung di tikar kami yang sempit. Spontan kami semua merasa terganggu dan dengan halus mengatakan pakai bahasa isyarat bahwa tempat tersebut sudah ada yang menempati. Namun, teman Bangladesh ini tetap ngotot minta izin untuk duduk sambil memegang kepala. Untung ada sahabat baik hati yang cepat tanggap. Rupanya yang bersangkutan mengalami dehidrasi. Wajah dan tangannya memerah, napas tersengal-sengal, dengan suhu badan sangat tinggi. Kami berusaha memberikan pertolongan pertama sebisanya, dengan memberikan banyak minum dan menyemprotnya dengan air dingin.

Belakangan dokter kloter menjelaskan, kalau tidak segera tertangani, korban dapat mengalami heat stroke. Kondisi shocked akibat terlalu lama terpapar panas yang sangat tinggi. Alhamdulillah, meski dengan sangat menyesal, kami berhasil membantunya dengan baik.
Ya, sangat menyesal kalau mengingat respons pertama kami yang buruk. Meski dengan halus, tetap saja intinya adalah kami tidak mau diganggu, untuk tidak mengatakan mengusirnya. Inilah yang disebut emotional hijacking, pembajakan emosi, yaitu respons cepat seseorang ketika dihadapkan pada situasi kritis. Spontan saja naluri teritorial kami seperti terusik dengan masuknya orang asing.

Menurut teori teritori, setiap individu memiliki naluri respons cepat, dapat benar atau salah. Kami tanpa sadar telah memberikan respons yang salah pada awalnya. Memang orang memiliki kesadaran teritorial. Dalam hal ini adalah pola sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang atau kelompok yang didasarkan pada pengendalian objek, atau gagasan, yang mungkin melibatkan pertahanan, personalisasi, dan penandaan wilayah. Menandai berarti menempatkan objek atau substansi dalam ruang untuk menunjukkan maksud teritorial individu. Kami menggelar tikar untuk menandai bahwa itu adalah tempat kami.

Pembajakan amigdala
Penelitian menunjukkan 'ledakan emosional' semacam itu sebenarnya pembajakan saraf. Pada saat seperti itu, pusat sistem limbik (bagian otak), yang disebut amigdala, pusat kendali semua emosi di otak, mengambil alih neokorteks. Neokorteks merupakan bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran kita. Di saat neokorteks berhenti berfungsi, amigdala dipicu dan dalam seketika mengendalikan otak, dalam arti membajaknya. Oleh karena itu, kemudian dikenal dengan istilah pembajakan emosi. Aneh memang, jemaah yang ingin menjadi haji mabrur, penuh kebaikan, tiba-tiba saja dapat bersikap egois dengan tidak memperbolehkan tempat umum untuk dipergunakan bersama. Nalar kritis, atau pengetahuan agama yang dimiliki, tidak berjalan dengan semestinya. Itu digantikan naluri primitif yang ingin menguasai teritori.

Jalan pintas yang dikomandani amigdala ini sebetulnya merupakan modalitas yang dikaruniakan Tuhan kepada umat manusia sebagai 'senjata' pertahanan diri terhadap ancaman. Namun, jika dipergunaan tidak sebagaimana mestinya, ini dapat berubah menjadi respons tidak tepat terhadap situasi tertentu. Dalam kasus lain, pembajakan emosi biasanya dikaitkan dengan situasi marah atau menakutkan yang kemudian berujung pada tindakan agresif. Sehubungan dengan agresi, biasanya berupa ledakan emosi tiba-tiba terhadap orang lain.
Ini ledakan emosional yang ekstrem atau ledakan emosional yang disebabkan sebuah kejadian yang dapat memicu kemarahan atau ketakutan pada individu. Insiden semacam itu sering terjadi, dan dalam beberapa kasus yang bersangkutan gagal mengendalikannya.

Terdapat sejumlah situasi yang seseorang tiba-tiba saja marah atau merasa terganggu, tanpa memikirkan apa pun kemudian menyerang orang lain secara verbal atau bahkan secara fisik. Dalam kasus yang lebih ekstrem, seseorang bisa membunuh orang lain karena ledakan kemarahan. Kasus yang heboh belakangan, suami membunuh istrinya dengan senjata rakitan, bisa jadi merupakan salah satu contoh. Keadaan tertekan yang berkepanjangan memang dapat memicu ledakan emosi yang tidak terkendali. Peserta didik semestinya sejak awal dilatih agar memiliki kemampuan untuk tidak saja mahir memahami, tetapi juga mengontrol dan mendayagunakan emosi. Tentu hal itu dapat terjadi manakala yang bersangkutan mampu berkosentrasi mengolah rasa-emosi.

Oleh karena itu melatihkan konsentrasi, perasaan, emosi dengan olah rasa menjadi sangat penting. Ketidakmampuan anak menyadari, mengelola, dan mendayagunakan perasaan cenderung menyebabkan anak tidak stabil, moody. Perasaan hatinya sangat mudah berubah sesuai dengan 'arah angin'. Pada mereka ini, pembajakan emosi sangat mudah terjadi.

Olah rasa
Terdapat sejumlah cara untuk melatih emosi. Pertama, latihan konsentrasi. Latihan konsentrasi ialah latihan memusatkan pikiran pada suatu objek sesuai dengan tujuan. Misalnya pikiran fokus pada hapalan ayat kitab suci, penjelasan guru di kelas, atau pada topik kajian yang sedang menjadi pokok perhatiannya selama ini. Pikiran kita fokus, tidak terbagi dengan berbagai hal yang lain di luar itu. Lakukan latihan konsentrasi misalnya dengan belajar terus memusatkan perhatian memandang baris-baris kalimat di buku sembari menonton TV. Kalau pikiran kita masih tergoda oleh acara menarik di TV, ini berarti kita masih belum dapat berkonsentrasi dengan baik. Atau terus menulis artikel di keramaian ruang tunggu stasiun kereta. Kemampuan konsentrasi menjadi modal dasar individu dalam upayanya mengontrol pembajakan emosi.

Kedua, latihan imajinasi. Latihan ini dilakukan untuk mengolah daya khayal peserta didik, seolah-olah hal itu benar-benar terjadi saat ini dan mereka merasakannya. Cara ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Latihan permainan imajinasi, misalnya dengan berimajinasi pergi berpetualang ke hutan konservasi, membayangkan deburan ombak menghantam pantai laut selatan, atau mengunjungi kawasan tertentu dan bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Pada latihan imajinasi sebaiknya ditentukan suasana-suasana yang berbeda setiap kali latihan. Ini dimaksudkan agar imajinasi kita menjadi beragam menyangkut banyak situasi, seperti kota-kota, sawah, dan karakter orang. Seperti kata Einstein, "Imagination is more important than knowlegde." Kenyataan di lapangan menunjukkan anak-anak kita miskin imajinasi.

Kekayaan imajinasi ini berkaitan langsung dengan banyak sedikitnya alternatif respons yang tersedia, ketika seseorang tiba-tiba dihadapkan pada situasi kritis. Ketiga ialah latihan mengingat emosi. Latihan ini dilakukan dengan cara mengingat-ingat kembali berbagai emosi yang pernah kita alami, atau kita pernah melihat orang lain dengan emosi tertentu. Sudah barang tentu kita sendiri, atau setidaknya sepanjang sejarah hidup kita pasti sering melihat orang sedih, gembira, marah, kecewa, ragu-ragu, putus asa, kegelian, lucu, tertawa terbahak-bahak, dan berbagai emosi lainnya. Emosi yang pernah kita alami atau yang dialami orang lain, kita tampilkan satu per satu saat latihan sehingga akan tampak jelas dalam benak kita bagaimana ekspresi wajah dan tubuh ketika emosi tertentu muncul.

Pengenalan terhadap gejala dan ekspresi emosi akan sangat membantu subjek menghindarkan diri dari pembajakan emosi. Keempat, latihan empati. Empati ialah kemampuan untuk secara akurat menempatkan diri kita 'pada sepatu orang lain' untuk memahami situasi, persepsi, dan perasaan orang lain dari sudut pandang mereka--dan untuk dapat mengomunikasikan pemahaman itu kembali kepada orang lain. Empati ialah keterampilan penting bagi siapa pun agar dapat menjadi pemimpin berhasil.

Empati dapat berkembang antara lain dengan berinteraksi bersama orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Pengalaman multikultural menjadi sangat penting di sini. Kebiasaan bergumul dengan perbedaan akan memudahkan individu dalam mengenali perasaan dan perspektif orang lain apa adanya. Akan lebih bagus jika peserta didik juga dibiasakan untuk menanyakan perasaan dan perspektif orang lain secara langsung, sebagai bentuk konfirmasi, sesuai dengan yang mereka rasakan dan pikirkan, bukan menurut interpretasinya sendiri. Selamat mencoba.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik