Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Toleransi Beragama ala Kiai Hasyim Muzadi

Khariri Mamun Direktur Moderation Corner, peneliti Institute Hasyim Muzadi, dan Direktur Kerja Sama Luar Negeri ICIS
23/8/2017 07:15
Toleransi Beragama ala Kiai Hasyim Muzadi
(Thinkstock)

SIKAP toleransi dalam beragama merupakan bagian dari ajaran Islam. Karena itu, jika umat Islam tidak memiliki sikap to­leransi beragama, sebenarnya mereka belum sepenuhnya mengamalkan ajaran Islam. Di sinilah diperlukan sikap yang seimbang antara toleransi dan keimanan. Dengan keseimbangan ini, umat Islam dapat bekerja sama dan hidup berdampingan dengan kelompok agama lain secara damai. Kiai Hasyim Muzadi dikenal sebagai tokoh Islam yang sepanjang hidupnya konsisten memperjuangkan nilai-nilai moderasi Islam dan mengimplementasikan konsep toleransi beragama secara proporsional.

Sejak tinggal di Malang dan aktif di setiap jenjang kepengurusan NU hingga menjadi Ketua Umum PBNU, Kiai Hasyim bersama tokoh lintas agama bekerja keras melawan upaya intoleransi di RI. Dalam pandangan sederhana, Kiai Hasyim menganggap toleransi agama seperti meja dan kolong meja. Setiap meja pasti memiliki kolong karena itu masuk bagian dari sunatullahnya. Hampir tak mungkin ada meja tanpa kolong. Sebagaimana kerukunan antarumat beragama dalam sebuah negara yang plural, juga keniscayaan. Jika kerukunan lintas agama terkoyak, kehidupan bernegara menjadi tidak sehat dan tidak akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai negara.

Di atas meja biasanya diletakkan sebuah taplak penutup meja, fungsi taplak selain sebagai penghias, ialah melindungi meja. Taplak itu bisa diibaratkan sebagai toleransi, sedangkan meja ibarat agama atau keyakinan. Toleransi bukan esensi agama, tapi melindungi hubungan antarumat beragama. Taplak meja mudah dilipat dan dibawa ke mana-mana, tapi meja tidak perlu dilipat dan dibawa ke mana-mana. Demikian toleransi itu bisa dibawa ke mana-mana, tapi agama tidak bisa digeser pada posisi yang bukan pada tempatnya. Toleransi itu bukan berarti pemeluk Kristen ikut jumatan di masjid atau umat Islam ikut ibadah di gereja. Setiap umat beragama silakan beribadah sesuai keyakinan dan tempat ibadahnya karena toleransi bukan mencampurkan adukkan keyakinan. Kalau hal itu terjadi, yang terjadi penodaan agama, bukan toleransi agama.

Toleransi harus dilandasi keyakinan beragama, bukan dilandasi humanitas karena humanitas terkadang memisahkan diri dari ketuhanan. Toleransi tidak boleh dibangun dengan mening­galkan nilai keyakinan agama. Sebagian besar pemicu konflik agama di dunia disebabkan robohnya bangunan toleransi antarumat beragama. Selain faktor kesalahpahaman dalam memahami agama-agama, terdapat faktor lain yang menjadi alasan terjadinya konflik sosial dan konflik antaragama yang didasarkan pada kepentingan nonagama yang mendom­pleng ajaran agama dan menggunakan agama sebagai motif untuk tujuan yang tidak ada kaitan dengan agama, seperti kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang ‘diagamakan’.

Toleransi hari ini masuk pada tahap yang mengkhawatirkan. Kepentingan politik praktis dengan membawa segmentasi keyakinan bisa membawa malapetaka. Menurut Kiai Hasyim, kerukunan dan toleransi antarumat beragama di RI harus diperkuat dan terus dipupuk. Konstruksi toleransi agama harus dibangun melalui dialog dan keterbukaan antaragama. Hampir setiap doktrin agama memberikan ruang atau tempat bagi nilai-nilai universal kemanusiaan yang dapat digunakan semua agama untuk saling membantu dan bekerja sama. Kiai Hasyim berpandangan ada lima tahapan yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk menyemai benih to­leransi. Fase Pertama, tiap-tiap agama berjalan sendiri-sendiri. Setiap umat beragama hanya memikirkan kepentingannya dalam lingkup kepentingan sempit pada fase ini tidak mungkin terjadi toleransi.

Fase kedua, tiap-tiap agama sibuk dengan urusannya sehingga tak ada ruang bagi umat beragama peduli urusan umat lain. Pada tahapan ini juga kerukunan dan toleransi tidak terwujud. Fase Ketiga, perjumpaan antara agama dan agama lain dengan menonjolkan perbedaan. Karena mereka bertemu dan menonjolkan perbedaan, yang terjadi justru saling menyalahkan dan mempertajam permusuh­an. Tahapan ini disebut apologetic predatorial. Pada tahapan ini, alih-alih terwujud toleransi, justru terjadi permusuhan. Fase keempat, agama berjumpa dengan agama lain dalam lingkup sosial, budaya, dan kemanusian. Pada fase ini umat beragama sudah tidak lagi berbicara perbedaan doktrin, tetapi nilai-nilai universal dan kemanusian yang diperjuangkan setiap agama. Perjumpaan lintas agama yang dilandasi niat mencari solusi masalah sosial dan kemanusiaan akan bermuara titik temu yang konstruktif. Setiap agama akan bersepakat melakukan kerja sama.

Tahapan ini disebut fase koeksistensi. Suatu tahapan ketika para pemeluk agama yang berbeda keyakinan hidup berdampingan dan melakukan aksi memberi pesan pentingnya perdamaian dan kesejahteraan. Fase Kelima, tahapan perjumpaan agama dengan agama lain dengan niat saling menghidupi. Tahapan ini disebut proeksistensi. Proeksistensi merupakan semangat hidup bersama secara dinamis dan harmonis di tengah kemajemukan dan perbedaan dengan mengedepankan visi kerja sama pemberdayaan ekonomi. Dalam pandangan Kiai Hasyim Muzadi, konstruksi toleransi pada tahapan ini berfokus visi pemberdayaan ekonomi sehingga toleransi tidak cukup hanya membiarkan pemeluk agama lain ada (koeksistensi), tapi lebih dari itu, memberdayakan dengan berparti
sipasi aktif mengada-kan (mengeksiskan) pemeluk agama lain (proeksistensi).

Transformasi dari sikap koeksistensi menuju proeksistensi ini hendaknya tidak hanya mewujud wacana, tapi juga sikap, konsep, rumusan, dan format pemberdayaan ekonomi masyarakat. Apalagi di era globalisasi ekonomi yang semakin mengkhawatirkan dalam menciptakan pola kemiskinan yang baru, pemberdayaan kekuatan-kekuatan lokal tidak bisa diabaikan begitu saja. Gagasan toleransi Kiai Hasyim ini penting dikemukakan kembali karena keterpurukan kita sebagai bangsa dan hilangnya harga diri kita sebagai masyarakat telah membuat hancurnya martabat kita sebagai manusia. Seluruh elemen lintas agama harus bisa bekerja sama saling menghidupi untuk memutus mata rantai keterpurukan ekonomi dan kemiskinan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya