Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
PERMASALAHAN mendasar terkait dengan uji coba rudal balistik Korea Utara (Korut) bukan perang, melainkan bagaimana memahami kepentingan strategis Kim Jong-un. Apa yang diinginkan Kim di balik ketegangan dengan Amerika Serikat (AS)? Para konservatif di Gedung Putih menyatakan hanya ada dua strategi bagi AS untuk menghadapi Korut, yaitu meningkatkan tekanan melalui sanksi ekonomi atau intervensi untuk mendepak rezim Kim Jong-un dari Pyongyang. Tetapi, kedua opsi ini tidak akan diambil Presiden Donald Trump sebab efek yang bisa ditimbulkan fatal bagi baik AS sendiri maupun negara-negara sekitar.
Agresi ke Korut hanya akan memberi justifikasi kepada Kim untuk benar-benar menembakkan rudal antarbenua ke kota-kota Amerika serta pasukan di Guam Pasifik Barat Daya, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel). Risikonya sangat tinggi, membahayakan keselamatan warga sipil dan nyawa tentara Amerika. Meskipun saat kampanye Trump pernah mengatakan hendak membombardir Pyongyang, setelah terpilih ia mengakui bahwa solusi terbaik ialah bernegosiasi dengan Korut. Demikian pula dengan pengetatan sanksi ekonomi yang telah dijatuhkan kepada Korut sejak pemerintahan Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama tidak efektif lagi dilakukan setidaknya dengan pertimbangan bahwa memberikan tekanan ekonomi sangat keras justru bisa mendorong Korut untuk mengakselerasi realisasi ambisi senjata nuklir yang berimplikasi semakin mengguncang stabilitas Asia Timur dan Pasifik.
Ancaman paling nyata dirasakan sekutu dekat AS, yaitu Jepang dan Korsel, karena Tokyo dan Seoul berada dalam jangkauan tembak altileri Korut. Melempar masalah Korut menjadi sentimen negatif di kawasan tidak menguntungkan bagi Washington karena dapat membuka jalan diplomasi lebih lebar buat Tiongkok untuk memengaruhi opini pembuat kebijakan keamanan di Asia Timur yang memang kurang simpatik pada Trump.
Meskipun Wakil Presiden AS Mike Pence saat mengunjungi Jepang mengatakan 'kesabaran strategis' sudah habis, bukan berarti Amerika lantas berperang dengan Korut. Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menegaskan makna kesabaran strategis sebagai titik awal bukan akhir dari sebuah perjalanan diplomasi baru demi menetralkan dinamika destruktif dari Korut. Untuk bernegosiasi terkadang dibutuhkan gertakan (deterrence) guna memperkuat nilai tawar.
Inilah yang sedang dijalankan Washington terhadap Korut untuk mitigasi efek dilema strategis. Apalagi Gedung Putih dan Pentagon tahu betul kalau teknologi rudal Korut, walaupun punya daya hancur, belum mampu untuk menghantam pusat pemerintahan dan pertahanan AS. Laporan pakar senjata AS menegaskan kapabilitas rudal Kim bahkan tidak cukup untuk melampaui separuh rute menuju New York. Korut butuh paling tidak lima sampai delapan tahun untuk merampungkan proyek persenjataan ambisius mereka. Transfer teknologi dari Rusia ataupun Tiongkok belum sepenuhnya dapat diaplikasikan Korut.
Kim lebih mengandalkan pada pola perang konvensional darat ke darat yang pasti bisa dihalau koalisi AS dan Korsel. Oleh sebab itu, perlu ditegaskan bahwa ancaman Korut terhadap AS masih bersifat potensial, belum aktual. Kepentingan Korut ialah meningkatkan komplikasi diplomatik yang dapat semakin mengikis kepercayaan negara-negara Asia Timur dan masyarakat dunia terhadap kepemimpinan AS. Di Pyongyang, walaupun Kim bersuara lantang terhadap Amerika, dan menyatakan sanggup menghadapi segala kemungkinan jika terjadi konflik terbuka dengan AS, pemimpin Korut itu juga mengisyaratkan kemungkinan jalan damai.
Sejak awal kepemimpinannya, Kim meluncurkan sebuah strategi nasional baru disebut simultaneous progress berintikan kemajuan ekonomi dan keamanan negara secara serentak. Kim juga menegaskan bahwa jutaan rakyat Korut harus bebas dari kemiskinan dan menikmati kesejahteraan seperti warga Korsel dan dunia maju pada umumnya. Sekarang konsentrasi Pyongyang pada pembangunan ekonomi. Kebijakan ini bertolak belakang dengan Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) yang menomorsatukan peningkatan kemampuan militer Korut. Para jenderal dan kader partai komunis di masa ayah Kim diberikan kekuasaan penuh guna mengembangkan kekuatan bersenjata yang didukung Beijing.
Rakyat Korut dipaksa mengencangkan ikat pinggang agar negara bisa membangun tentara yang hebat. Setelah sang ayah meninggal pada 2011, dan Kim dinobatkan sebagai pemimpin Korut, perlahan Kim mulai menampilkan wajah baru Korut yang selama periode sang ayah dikenal agresif, antimodernitas, dan eksklusif. Media pemerintah Korut dipenuhi pemberitaan Kim meresmikan berbagai pusat perbelanjaan mewah, menghadiri konser musik pop, dan bermain sepak bola. Kim menunjuk seorang teknokrat reformis Pak Pong-ju sebagai penasihat ekonomi utama yang ditugasi mendesain kebijakan pembangunan Korut.
Di tangan Pak, ekonomi Korut tumbuh sekitar 1% hingga 2% per tahun di tengah tekanan sanksi ekonomi AS. Deregulasi dan desentralisasi industri pertanian diselenggarakan demi efisiensi.
Kim memberi insentif besar-besaran bagi investor asing yang mau menanamkan modal di Korut. Hingga akhir 2016, tidak kurang dari US$50 miliar investasi datang ke Korut yang didominasi India dan Tiongkok. Sementara itu, investor Amerika sedang dalam proses untuk memperoleh akses melalui perantaraan India. Dalam kondisi ekonomi sedang berkembang, yang dibutuhkan Kim ialah epastian politik.
Kim tengah mengonsolidasikan rezim progresif dari ancaman jenderal dan petinggi partai loyalis sang ayah yang kontra terhadap langkah-langkah pembaruan Korut. Demi mengamankan posisi, Kim mengeksekusi sang paman yang dituduh membelot dan beberapa petinggi Angkatan Darat dicopot dari dinas militer. Panglima militer Korut sekarang ialah seorang jenderal yang punya visi moderat. Sinyal Kim ditangkap Trump. Pada jumpa pers 100 hari pemerintahannya (30/4) Trump menyebut Kim smart cookie yang merujuk pada seorang pemimpin muda cerdas dan berani.
Trump membatalkan penambahan porsi latihan militer AS-Korsel, dan menunda program pengembangan rudal kedua negara. Isyarat Trump bisa dimaknai ada bisnis yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan Kim. Seperti yang dikatakan Trump, "Not a madman theory, but a good deal with Kim." Proses negosiasi dimulai dengan kedatangan duta informal AS ke Korut, kemudian naik ke level diplomat senior, menteri, dan akhirnya Trump dan Kim bertemu. Oleh sebab itu, kecenderungan sejauh ini masih cukup melegakan, paling tidak AS dan Korut punya alasan kuat untuk menghindari konflik head-to-head.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved