Headline

Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan

Fokus

Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.

Membaca Geodiplomasi RI di Asia Tenggara

Boy Anugerah Analis Kerja Sama Luar Negeri di Lembaga Ketahanan Nasional RI
10/8/2017 00:16
Membaca Geodiplomasi RI di Asia Tenggara
(Ilustrasi)

DALAM studi politik, geografi diyakini sebagai determinan utama yang memengaruhi identitas, perilaku, dan interaksi suatu negara (David Newman, 2001). Geografi memiliki signifikansi penting bukan saja karena dipersepsikan secara politis, melainkan juga memiliki fungsionalitas dalam penetapan strategi politik dan pertahanan (geopolitik dan geostrategi), kebijakan ekonomi (geoekonomi), serta corak diplomasi yang dimainkan suatu negara (geodiplomasi). Kiranya inilah yang mendasari keputusan lima negara Asia Tenggara menandatangani Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 silam di Bangkok, Thailand.

Asia Tenggara pada dekade 1960-an tak luput dari pertarungan kepentingan antara AS dan USSR (Perang Dingin). Seperti halnya di belahan bumi lainnya, pertarungan dua kekuatan besar itu selalu menimbulkan implikasi negatif. Menyadari hal ini, negara-negara kunci Asia Tenggara merespons dengan membentuk wadah kerja sama regional yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian, serta menciptakan stabilitas kawasan. Melalui simpul ASEAN, mereka diharapkan mampu meningkatkan semangat kebersamaan agar sanggup memitigasi segala ancaman, utamanya dari eksternal kawasan.

Peran Indonesia
RI sebagai negara terbesar di kawasan, baik dari aspek geografis maupun demografis, memainkan peranan penting dalam lika-liku dan dinamika ASEAN, sejak awal berdiri hingga kini. Sentralnya peran RI dalam ASEAN didasari persepsi bahwa Asia Tenggara merupakan ruang hidup tempat RI berada. Persepsi ruang hidup inilah yang menempatkan negara-negara tetangga RI di Asia Tenggara memiliki makna penting. Terlepas dari fakta bahwa RI juga menjalin dan tergabung dalam beragam kerja sama bilateral, multilateral, bahkan global, kerja sama ASEAN tetaplah yang utama.

Peran sentral pertama RI dalam 50 tahun ASEAN ialah status sebagai founding father ASEAN. Eksistensi dan kontribusi RI dalam pembentukan ASEAN merupakan keputusan yang didasari pertimbangan sangat matang dan filosofis. Pemerintah RI pada masa itu memiliki pemikiran bahwa kesamaan negara-negara Asia Tenggara dalam bahasa, budaya, cara hidup, persepsi terhadap ancaman, terlebih lagi mendiami ruang hidup yang sama, memerlukan legalisasi formal dalam bentuk konstruksi kerja sama kawasan.

Pemikiran ini tidak terlepas dari sejarah kemerdekaan nasional di saat keinginan untuk hidup bersama dari penduduk di berbagai pulau di Nusantara pada akhirnya diikat dalam bentuk proklamasi kemerdekaan yang menjadi wadah bersama untuk mencapai tujuan nasional. Kedua, RI turut memberikan kontribusi dalam bentuk internalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa di ranah kawasan.
Gotong royong sebagai karakter bangsa dan saripati Pancasila sangat kental mewarnai pola-pola hubungan antarnegara Asia Tenggara.

Gotong royong menjadi faktor pendorong utama lahirnya budaya musyawarah mufakat (konsensus dan konsultasi) di ASEAN. Melalui musyawarah mufakat, setiap anggota ASEAN memiliki konfidensi yang tinggi bahwa apa pun perbedaan di antara mereka dapat diselesaikan dengan mekanisme damai dan adil. RI juga sangat mendorong pentingnya mengimplementasikan prinsip kesetaraan dalam komunikasi antarnegara.

Ketiga, meskipun menyandang status sebagai negara terbesar dalam hal atribut nasional, RI menjalankan peran kepemimpinannya dengan ramah, jauh dari spirit untuk menghegemoni. RI benar-benar mempraktikkan pola kepemimpinan yang diajarkan bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Sebagai role model di ASEAN, RI paham benar posisinya untuk selalu memberikan contoh yang baik kepada negara-negara lain (ing ngarso sung tulodho), membangun semangat regionalisme, bukan unilateralisme (ing madyo mangun karso), serta mendorong agar selalu maju bersama-sama (tut wuri handayani).

Prinsip-prinsip kepemimpinan itu secara empiris dapat dilihat dari kontribusi RI dalam mendorong disepakatinya Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOFPAN), Treaty of Amity and Cooperation (TAC), menjadi tuan rumah berbagai KTT ASEAN, menjadi pengusul elemen-elemen pokok ASEAN Community's Post 2015 Vision. Termasuk akhir-akhir ini menjadi mediator yang adil dalam kasus sengketa Laut China Selatan yang melibatkan empat negara anggota ASEAN.

RI juga sangat mafhum bahwa khitah ASEAN bukanlah sebagai pakta pertahanan atau aliansi militer strategis seperti halnya NATO atau Pakta Warsawa. Oleh karena itu, relasi yang dijalin dengan negara-negara anggota lebih dititikberatkan aspek low politics seperti ekonomi dan sosial budaya. Ini juga yang menginspirasi negara lain untuk menerapkan pola yang sama.
Hasilnya cukup menggembirakan. Kerja sama ekonomi negara-negara ASEAN mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Indikatornya cukup jelas, pertumbuhan PDB ASEAN pada 2016 berada di kisaran 4,8%, jauh di atas PDB global yang berada pada angka 3,1%. Aktivitas pertukaran pelajar dan ekspedisi kesenian antarnegara ASEAN juga semakin intens dari tahun ke tahun.

Tantangan dan respons
Asia Tenggara tak akan pernah kedap dari pengaruh kekuatan eksternal serta perubahan global. Beberapa capaian yang diraih selama 50 tahun berdiri juga dibayangi berbagai tantangan yang harus dihadapi di masa datang. Tantangan yang dihadapi bisa bersumber dari kawasan sendiri, juga intervensi pihak luar. Kemajuan di bidang teknologi yang menghapus batas-batas geografi secara fisik mengonversi semua tantangan itu menjadi ancaman yang harus disikapi secara serius. RI dan negara-negara ASEAN harus mampu menyikapi ini secara tepat agar eksistensi dan kesinambungan ASEAN mampu menjejak 50 tahun yang kedua.

Ketahanan nasional setiap negara juga menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan ketahanan kawasan. Dari sisi internal, RI dan negara-negara ASEAN harus mampu mencermati sekecil mungkin ancaman yang dapat memecah soliditas kawasan. Preseden Brexit di Uni Eropa, respons unilateral anggota ASEAN terhadap konflik Laut China Selatan, merebaknya terorisme dan radikalisme di beberapa negara kawasan hendaknya dicermati. Negara memang selalu bergerak berdasarkan kepentingan nasional.

Namun, sekali mengikatkan diri dalam kerja sama kawasan, kepentingan nasional sudah selaiknya diselaraskan dengan kepentingan kawasan yang lebih besar. Asia Tenggara merupakan ruang hidup bersama bagi seluruh negara yang menjadi anggota ASEAN, tidak terkecuali RI. Oleh karena itu, sekecil apa pun dinamika di kawasan, tentu akan menimbulkan gangguan terhadap kepentingan dan ketahanan nasional RI.

Dengan demikian, untuk menjamin stabilitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di berbagai aspek, RI harus memperkuat kedelapan gatra dalam perspektif ketahanan nasional, yaitu geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Ketahanan nasional yang tangguh akan menciptakan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih aman dan sejahtera meski berbagai ancaman muncul dari lingkup kawasan regional maupun global.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya