Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
HUBUNGAN antara Palestina dan Israel kembali memanas pascapenembakan yang menewaskan dua polisi Israel oleh tiga warga Israel dari Kota Umm al-Fahm, yang mayoritas berpenduduk Palestina, pada 14 Juli 2017. Insiden itu dijadikan alasan oleh Israel untuk memasang alat pemindai metal di kompleks Masjid Al-Aqsa sehingga mengundang protes dari Palestina dan negara-negara muslim termasuk Indonesia karena menghalangi hak umat muslim untuk beribadah. Akibatnya, bentrokan demi bentrokan kembali terjadi. Pada 18 Juli 2017, Imam Besar Masjid Al-Aqsa tertembak.
Pada 21-22 Juli, terjadi bentrokan di beberapa wilayah di Tepi Barat, yang berakibat tewasnya 5 warga Palestina dan 3 warga Israel. Pada 24 Juli 2017, dua warga Yordania ditembak hingga tewas oleh petugas keamanan Israel di Kedutaan Besar Israel di Yordania. Pada 25 Juli 2017, akhirnya Israel membongkar metal detector setelah perundingan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Raja Yordania Abdullah II. Konflik antara Israel dan Palestina tidak akan pernah berakhir tanpa mengurai benang kusut atau akar masalahnya.
Pada Tragedi Jalur Gaza 2008-2009 (27 Desember 2008-18 Januari 2009), militer Israel membombardir Jalur Gaza sehingga membunuh 1.400 rakyat Palestina, termasuk ratusan anak dan wanita, yang menurut hukum humaniter internasional harus dilindungi.
Akar masalah atau permasalahan yang fundamental antara Israel dan Palestina ialah didudukinya 78% wilayah Palestina oleh Israel. Rakyat Palestina hanya menguasai sekitar 22% wilayah di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Kehidupan rakyat Palestina di kedua wilayah tersebut terisolasi satu sama lain karena dua wilayah itu terpisah dan berjauhan.
Setiap pintu akses masuk dan keluar di dalam wilayah tersebut dijaga dengan ketat oleh pasukan bersenjata Israel. Terjadi praktik diskriminasi yang ekstrem di saat hanya warga Israel saja yang diperbolehkan untuk mengakses jalan tol dan air bersih, sedangkan rakyat Palestina harus hidup dalam segala keterbatasan dan pengabaian hak-hak asasi mereka. Israel membangun tembok raksasa yang memisahkan permukiman warga Israel dan Palestina. Mahkamah Internasional telah mengeluarkan putusan bahwa pembangunan tembok dan permukiman Israel di wilayah Palestina telah melanggar hukum internasional. Namun, Israel mengabaikan dan terus melanjutkan pembangunan permukiman secara ilegal di atas tanah Palestina.
Laporan Goldstone
Pada Tragedi Jalur Gaza 2008/2009, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk tim pencari fakta yang dipimpin mantan hakim konstitusi Afrika Selatan, Richard Goldstone. Tim itu beranggotakan para ahli hukum dan HAM, di antaranya Hina Jailani (mantan Komisioner Tinggi Kantor HAM PBB). Tim itu menghasilkan Laporan Goldstone (Goldstone Report), laporan setebal 574 halaman, yang telah diserahkan ke Dewan HAM PBB pada 29 September 2009. Laporan itu berisi temuan bahwa Israel diduga telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena membunuh rakyat sipil tidak bersenjata (anak-anak, wanita, dll).
Menyerang objek yang dilindungi hukum internasional seperti sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, dll, serta mempergunakan bom curah. Laporan Goldstone diapresiasi karena menjadi dokumen yang secara tegas menyebutkan Israel diduga kuat telah melakukan pelanggaran HAM yang berat, yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan tersebut memicu kontroversi dan tensi, khususnya bagi Israel dan Amerika Serikat, karena TPF PBB dinilai tidak proporsional dan mengabaikan peran dari Hamas yang juga telah membunuh warga sipil Israel.
Karena laporan tersebut, Richard Goldstone yang merupakan seorang Yahudi sempat dilarang memasuki wilayah Israel untuk menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan kerabatnya di Israel. Laporan Goldstone ialah landmark untuk menegakkan keadilan bagi rakyat Palestina yang dijajah Israel sejak puluhan tahun yang lalu. Banyak pihak berharap laporan tersebut akan ditindaklanjuti dengan investigasi yang mendalam terhadap kejahatan Israel untuk kemudian dimintai pertanggungjawaban di pengadilan domestik dan internasional.
Laporan tersebut merekomendasikan agar Israel melakukan penyelidikan dan penyidikan secara internal atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan itu dan meminta pertanggungjawaban para pelakunya di pengadilan domestik.
Demikian pula dengan dugaan kejahatan yang dilakukan Hamas agar otoritas Palestina melakukan hal yang serupa. Namun, sayangnya, laporan tersebut tidak ada kelanjutannya sampai saat ini. Bahkan dalam berbagai kesempatan, sebagaimana dimuat di the Guardian pada 2 April 2011, Richard Goldstone menyesali isi laporannya tersebut.
Goldstone mengatakan timnya tidak mempunyai data yang cukup untuk membuat kesimpulan bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia mengaku timnya tidak mendapatkan informasi yang memadai dari pihak otoritas Israel sehingga bias. Namun, pernyataan Goldstone tersebut disanggah anggota tim lain dan menganggap bahwa pernyataan Goldstone bersifat pribadi, tidak mewakili pendapat TPF. Sejak tim tersebut dibentuk, pemerintah Israel telah menolak untuk bekerja sama dan tidak mengakui TPF.
Sampai saat ini, publik mendesak PBB agar meminta laporan pertanggungjawaban dari pihak Israel atas rekomendasi dari Laporan Goldstone. Jika tidak ada tindakan yang signifikan di tingkat domestik, PBB seharusnya segera membentuk pengadilan internasional untuk membuktikan dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel. Akuntabilitas atas rekomendasi Laporan Goldstone, yang merupakan laporan resmi Dewan HAM PBB, diharapkan akan bisa memaksa Israel untuk menghormati hukum hak asasi manusia internasional dan mengakui hak-hak rakyat Palestina.
Atas konflik yang terus berlanjut, PBB harus mengupayakan perdamaian dan perundingan yang adil di antara kedua pihak, mengakhiri diskriminasi terhadap rakyat Palestina, dan mengembalikan tanah Palestina sesuai dengan peta sebelum perjanjian 1967. Negara-negara Timur Tengah termasuk Indonesia diharapkan akan lebih berperan dalam mendorong perundingan yang adil dan setara bagi tegaknya hak-hak rakyat Palestina.
Pendapat pribadi
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved