Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
ISRAEL kembali berulah. Pada 14 Juli 2017 lalu serdadu zionis tidak hanya membunuh dan mengancam fisik, tapi juga mencoba membunuh keyakinan. Mereka melarang kumandang azan dan salat di masjid kiblat pertama umat Islam, Masjid Al-Aqsa.
Konflik Israel-Palestina merupakan tragedi kemanusiaan terpanjang sejak Perang Dunia (PD) II meletus sampai hari ini. Bangsa Timor Leste saja yang sudah bergabung dengan Indonesia yang merdeka pada 1945 sudah dihadiahi kemerdekaan pada tahun 2000 lalu. Perundingan, summit forum, konferensi tingkat tinggi, bahkan dikibarkannya bendera Palestina di Markas Besar PBB belum dapat meredam kejahatan Israel atas Palestina.
Kemerdekaan yang ditunggu-tunggu belum kunjung tiba. Ironi Palestina adalah ironi hak asasi manusia dan para pejuangnya. Sebetulnya okupasi dan pelecehan kemanusiaan terhadap rakyat Palestina yang dilakukan Israel bukanlah pada 14 Juli 2017 saja.
Agresi pasukan Tel Aviv ini sejatinya dilakukan tiap hari sejak 1967. Bahkan jika dihitung sejak Inggris ditunjuk dunia internasional untuk menjaga kota suci Jerusalem, konflik ini sudah dimulai sejak 1940-an. Artinya penindasan dan perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaan sama dengan usia kemerdekaan Indonesia.
Namun, sampai hari ini Palestina selalu dikalahkan di PBB. Kejadian 14 Juli 2017 kemarin persis pernah terjadi di Masjid Hebron pada 2004. Tidak kurang 24 orang tewas pada tragedi penembakan salat Jumat. Dunia Islam dan internasional marah. Kasus itu pun dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Semua negara anggota tetap DK PBB akan memberikan sanksi atas kebrutalan tentara Israel tersebut. Namun, apa daya kasih tak sampai. Amerika Serikat mengeluarkan veto sanksi terhadap Israel dengan alasan bahwa pelaku penembakan ialah tentara-tentara Israel yang sakit jiwa.
Problematik Israel versus Palestina sejatinya tidaklah se-complicated Arab spring dan konflik Suriah. Pasalnya, pelaku dan aligator konfliknya sangat jelas. Inilah bentuk ketidakadilan global yang mencederai kemanusiaan. Inilah sebetulnya terorisme dalam bentuknya yang nyata. Selama ketidakadilan ini masih dipertontonkan, selama itu pula bangunan kemanusiaan akan terusik. Deradikalisasi dan kontraradikalisme yang sangat fasih kita lantunkan dalam banyak forum kita dihadapkan dengan hegemoni Israel mendadak fals.
Itulah sebabnya sampai hari ini PBB belum dapat merumuskan definisi 'terorisme' karena dari semua variable of terrorism, Israel selalu masuk di dalamnya. Kita sibuk menangani hilir hingga lupa hulu masalahnya. Sejatinya yang diharapkan Palestina ialah keadilan dan hak kemerdekaan.
Two states solution
Hadirnya negara Israel adalah jelmaan ideologi rasialisme dalam tatanan ketertiban dunia. Bagaimana tidak, kehadirannya harus meniadakan entitas bangsa Palestina. Bahkan geografi tanah leluhurnya tiap waktu berkurang. Tanggal 14 Juli 2017 ialah bukti kejahatan kemanusiaan Israel terhadap Palestina. Mereka tidak hanya membunuh fisik Rakyat Palestina, tapi juga mencoba membunuh 'tuhannya'. Masjid Al-Aqsa ditutup, azan dilarang, orang salat ditendang, dan diancam dengan moncong senapan mematikan. Dunia tidak boleh diam. Banyak negara seperti Mesir, Swedia, dan Prancis memelopori PBB untuk mengambil langkah konkret kebiadaban ini.
Indonesia pada KTT OKI luar biasa April 2015 lalu mengajukan konsep two states solution yang sebelumnya pernah diajukan parlemen Uni Eropa. Konsep itu artinya Israel dan Palestina berdiri masing-masing sebagai negara yang merdeka. Namun, bagi Palestina lewat pemerintahan Hamas memiliki definisi merdeka tersendiri. Palestina akan menerima perdamaian dan menjadi bangsa yang merdeka dengan syarat tanah yang sudah dirampas Israel sejak 1967 harus dikembalikan ke Palestina. Yang menarik, dalam salah satu statement-nya Barak Obama pernah mengatakan sudah sewajarnya Israel mengabulkan permintaan tersebut. Perundingan alot pun dilakukan hasinya nihil, hingga Hamas menurunkan jeda waktu tanah yang dirampas menjadi sejak intifadah 2 akhir tahun 70-an.
Ada apa dengan Masjid Al-Aqsa
Kenapa Masjid Al-Aqsa begitu penting bagi Israel? Sebetulnya inilah inti masalah konflik Israel Palestina; klaim kepemilikan dan penguasaan tunggal terhadap kiblat pertama umat Islam tersebut. Lembar PBB pernah mencatat Kota Jerusalem yang di dalamnya terdapat lokasi Masjid Al-Aqsa, destinasi Nabi Muhammad SAW dalam Isra', yang pernah dipegang Inggris sebagai wakil internasional. Pesan apa sebetulnya dari penyerangan Israel ini terhadap jemaah dan pelayat masjid yang disucikan ini? Pertama, saya menduga Israel cukup confidence melakukannya. Pasalnya, dunia Islam dalam kondisi yang sangat lemah.
Apalagi melihat Arab Spring, konflik Suriah, dan perseturuan Riyadh versus Doha. Semuanya sibuk panas masing-masing. Terlebih jika menggunakan teori konspirasi, adanya kontribusi Tel Aviv terhadap semua konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Kedua, Israel ingin meyakinkan dunia internasional bahwa tidak ada alasan untuk menolak kehadiran Israel state. Kebrutalan yang dilakukan Israel tidak seberapa ketimbang kejahatan ISIS (sekarang IS), walaupun sebetulnya logika ini sangat lemah.
Jika benar ISIS berjuang dengan Islam, kenapa mereka tidak hadir membela rakyat Palestina melawan Israel? Ketiga, Israel ingin menagih janji Presiden Donald Trump yang akan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota negara Israel Raya.
Trump sempat mengucapkan hal itu di awal pelantikannya. Namun, karena desakan internasinal, hal itu ia urungkan. Israel dengan cara lamanya mencoba membantu Trump mewujudkan apa yang sempat ia ucapkan.
Peran Indonesia
Indonesia lewat Menlu Retno Marsudi sudah mengambil langkah positif, berkoordinasi dengan beberapa menlu negara-negara anggota OKI. Hal yang sangat sulit dilakukan negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC). Saya berharap pemerintah RI terus ambil bagian dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina ini. Inilah saatnya Indonesia menjadi guru bagi Timur Tengah.Memastikan mereka paham ada 'tragedi kemanusiaan' di tengah lumbung petrodolar. Kita punya banyak pengalaman mampu menyelesaikan konflik walaupun dalam skala yang tidak serumit Israel-Palestina.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Indonesia yang paling memungkinan menyelesaikan konflik Syam ini. Sejarah mencatat, pembebasan Masjid Al-Aqsa selalu dilakukan bangsa selain Palestina, seperti Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi, dua tokoh besar yang menjadi negosiator sekaligus pejuang pembebasan Palestina dari tangan penjajah. Saatnya Indonesia menjadi Shalahudin dengan meningkatkan tensi negosiasi dan diplomasi yang melemahkan veto 'Paman Sam'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved