Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
BULAN ini menandai 20 tahun terjadinya awal krisis keuangan Asia, yang dikenal sebagai krisis moneter (krismon). Krisis yang berawal dari devaluasi mata uang baht Thailand, yang akhirnya menjalar ke negara ASEAN lainnya termasuk Korea Selatan. Indonesia yang paling akhir terimbas mengalami dampak terparah. Karena itu, agar tidak terulang kembali, perlu melakukan tracking dan menganalisis apa yang telah berubah dan apa yang tidak berubah setelah krisis berlalu selama 20 tahun tersebut.
Penyebab utama dari krisis tersebut masih menjadi misteri hingga saat ini. Pengamat Barat menengarai biang keladi krisis Asia tersebut adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan ekonomi dan terbudayakannya hubungan yang sangat intim antara pengusaha dan pemerintah di negara-negara tersebut yang dikenal sebagai “crony capitalism.” Komentator Asia menyalahkan spekulator dari perusahaan pengelola dana investasi (hedge funds) yang dengan sengaja menggoyang pasar keuangan Asia semata-mata untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan langkah International Monetary Fund (IMF) yang memberikan resep ekonomi yang tidak menyehatkan, bahkan membunuh perekonomian negara-negara yang terdampak krisis tersebut.
Yang jelas kombinasi dari penyebab tersebut lebih masuk akal untuk dicerna. Misalnya, Bank Sentral Thailand (BOT) menerbitkan laporan neracanya yang membesar-besarkan ketersediaan cadangan devisanya, yang menimbulkan keraguan publik yang menunjukkan kurangnya transparansi tentang kondisi laporan keuangan yang sebenarnya.
Akhirnya spekulator menekan mata uang baht yang diikuti perusahaan hedge funds dan bank-bank investasi, yang notabene bank–bank tersebut menjadi salah satu penasihat pemerintah Thailand tentang cara mengatasi masalah tersebut. Tatkala masalah sudah semakin parah, menjadi makin parah karena saran IMF lebih pada penghematan fiskal (fiscal austerity) yang berlebihan sehingga overkill.
Namun, secara fundamental, krisis itu merefleksikan ketidaksinkronan antara model pertumbuhan ekonomi potensialnya dan pertumbuhan ekonomi aktualnya. Model pertumbuhan ekonomi aktualnya menekankan pada nilai tukar yang stabil yang merupakan syarat untuk ekspansi ekspornya. Selain itu, mengandalkan pada ekspansi investasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berada pada akselerasi tinggi lebih dari 10%, dan membuka keran pinjaman luar negeri yang berlebihan untuk mendanai belanja investasinya.
Padahal, pada 1997 ekonomi negara-negara itu sudah berada pada tahap perkembangan yang investasi saja tidak cukup menjamin pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan. Dengan mengandalkan pada pinjaman asing untuk pendanaan domestik, sempurnalah risiko yang dihadapi ekonomi negara-negara tersebut. Sementara itu, tekanan dari pihak luar semakin memperparah keadaan. Syarat Korea Selatan masuk sebagai anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) ialah penghapusan kontrol mobilitas arus dana sehingga ekonomi negara itu kebanjiran dana asing yang terkategori sebagai uang panas. Selain itu, tekanan dari IMF dan AS agar negara-negara di wilayah tersebut membuka arus dana asing yang semakin bebas, semakin memperbesar risiko. Kondisi itu diperparah dengan sistem nilai tukar tetap yang semakin problematis.
Hal-hal yang harus diperhatikan
Gambaran itu dapat dipergunakan sebagai refleksi tentang perubahan apa yang telah terjadi selama 20 tahun setelah krisis berlalu. Berikut hal-hal yang patut mendapat perhatian terkait dengan isu tersebut. Pertama, negara-negara tersebut telah menerapkan kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan investasi dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Pemerintahan di negara-negara Asia yang pernah terpapar krisis itu masih menekankan pertumbuhan sebagai prioritas utama strategi perekonomiannya, tetapi tidak segala-segalanya, atau dengan risiko terukur.
Kedua, negara ASEAN sekarang menganut sistem nilai tukar yang fleksibel. Memang tidak benar-benar sempurna fleksibel, tetapi telah me-ninggalkan sistem nilai tukar yang dijangkarkan dengan mata uang AS secara tetap, yang menjadi sumber kerawanan krisis 1997. Ketiga, negara-negara di ASEAN seperti Thailand yang dulu mengalami defisit fiskal amat besar sehingga bergantung pada pendanaan luar negeri untuk menuntupinya, sekarang sebagian besar telah mengalami surplus anggaran. Dengan menerapkan kebijakan fiskal yang surplus atau defisit terukur, negara-
negara itu mampu mengakumulasi cadangan devisa yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai amunisi atau jaminan jika krisis akan datang lagi.
Keempat, negara-negara ASEAN sekarang telah bekerja sama untuk membentengi kawasannya dari tragedi yang sama. Pada 2000, di tengah tengah pemulihan dari krisis, telah membentuk suatu lembaga yang dikenal sebagai Inisiatif Chiang Mai, yaitu suatu jaringan dan jaminan kredit serta swap regional yang bertujuan melindungi kawasan itu dari serangan krisis yang sama. Mereka memiliki Asian Infrastructure Investment Bank yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembiayaan bersifat regional.
Inisiatif itu muncul sebagai reaksi atas ketidaknyamanan dalam pengalamannya berurusan dengan IMF pada krisis 1997 tersebut. Secara fundamental, inisiatif itu menandakan hadirnya Tiongkok sebagai katalisator dan dinamisator ekonomi di kawasan Asia. Pada 1997, memang peran Tiongkok di kawasan itu belum begitu pasti,. Tiongkok bukanlah pendukung gagasan Asian Monetary Fund (AMF) yang diprakarsai Jepang. Karena kurangnya dukungan, munculnya lembaga regional sebagai kompetitor IMF, yaitu AMF akhirnya layu sebelum berkembang. Pada perkembangan terbaru, munculnya Tiongkok sebagai raksasa ekonomi kedua di dunia,. Itu menumbuhkan rasa percaya diri Tiongkok sebagai pemimpin di Asia, dan memperkuat pembentukan institusi baru dan kerja sama regional, yang tidak hanya meliputi ASEAN, tapi juga mencakup Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Perubahan itu menandai perbedaan kondisi, situasi, dan konstelasi sosio-ekonomi kawasan dan global selama 20 tahun sejak krisis menerpa Asia.
Namun, dengan munculnya Tiongkok dalam kancah perekonomian global dan pemimpin di kawasan, memaknai telah terjadi perubahan dan sebagai pengingat betapa besarnya tata kelola ekonomi yang kurang sehat masih tetap berlaku di kawasan ini. Tiongkok masih menekankan pada strategi ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan ekononi tinggi serta mengandalkan investasi tinggi untuk mencapai target itu. Tiongkok berperan besar dalam menjaga tersedianya likuiditas ekonomi seberapa pun yang dibutuhkan agar mesin perekonomian tetap melaju sesuai dengan targetnya. Ini semua mengingatkan kita tentang risiko yang pernah terjadi di Thailand sebelum krisis 1997.
Tiongkok telah mengendorkan batasan pinjaman luar negeri lebih cepat dari batas kehati-hatian, dan perusahaan Tiongkok yang terafiliasi dengan pemerintahannya mempunyai posisi utang luar negeri yang tinggi. Selain itu, sistem nilai tukar Tiongkok cenderung tetap sehingga membuat perusahaan di negara itu kurang termotivasi menempatkan obligasinya dalam denominasi mata uang asing. Posisi Tiongkok saat ini mirip dengan ASEAN pada 20 tahun lalu, yaitu prtumbuhan ekonomi aktualnya melampaui pertumbuhan ekonomi potensialnya sehingga selalu tergoda untuk memacu mesin perekonomiannya melaju sangat kencang. Dengan demikian, agar krisis 1997 tidak terulang di Asia, mewaspadai konstelasi perkembangan perekonomian, keuangan dan pasar Tiongkok ialah suatu keharusan karena sekali Tiongkok runtuh, kawasan ini akan berantakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved