Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
ALIH-ALIH mempraktikkannya, kita soroti bahaya post-truth bagi kehidupan sosial kita. Disadari atau tidak, akhir-akhir ini post-truth banyak dipraktikkan, terutama oleh para pihak yang terlibat dengan perebutan pengaruh. Guna menciptakan opini publik yang sesuai dengan kepentingan diri masing-masing, mereka membuat wacana sambil dengan sengaja mengabaikan fakta objektif. Mereka kedepankan emosi ketimbang rasio; kepercayaan pribadi jika dibanding fakta lapangan.
Seperti halnya dalam pembentukan wacana pada umumnya, praktik post-truth juga melibatkan tiga elemen pembentukan wacana. Bedanya, wacana dalam post-truth didedikasikan untuk mengaduk-aduk emosi sebanyak mungkin audiens. Ketiga elemen itu, pertama, framing atau seleksi muatan wacana, baik dalam aspek masalah atau tema, situasi atau waktu, atribusi atau karakter, argumen atau alibi, alur cerita maupun risiko dan tanggung jawab. Kedua, signing atau pemilihan tanda (sign) dalam bentuk kata, istilah, gambar, simbol, frasa, slogan, termasuk dalam urutan, ukuran, tipe dan warnanya. Dalam post-truth, tanda bahasa lebih dari sebatas mewakili realitas, tetapi justru untuk mengonstruksi realitas.
Ketiga, priming atau penonjolan, yakni wacana itu sebisa mungkin sampai ke audiens melalui langkah-langkah secara simultan: memperbesar peluang untuk diakses (opportunity to access/OTA), peluang untuk dibaca (opportunity to read/OTR), peluang untuk diingat (opportunity to memorize/OTM) dan peluang untuk dibagi (opportunity to share/OTS).
Forensik komunikasi
Sebagai sebuah praktik pembuatan wacana (discourse), sebetulnya post-truth merupakan bagian dari penggunaan bahasa dengan latar belakang dan tujuan tertentu. Jika meminjam istilah dari James Paul Gee (2005), post-truth pada dasarnya termasuk ke wacana atau Discourse (dengan D besar). Gee (2005: 26) membedakan wacana ke dalam dua jenis. Pertama, discourse (d kecil), yang melihat penggunaan bahasa pada tempatnya (on site) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Di sini, penggunaan bahasa bersifat murni sesuai tata bahasa.
Kedua, Discourse (D besar) yang mencoba merangkaikan unsur linguistik pada discourse (dengan d kecil) bersama-sama dengan unsur-unsur nonlinguistik (non-language ‘stuff’) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language ‘stuff’ ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language ‘stuff’ itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.
Menyadari bahwa di balik Discourse (D besar) mengandung unsur-unsur non-linguistik (non-language ‘stuff’) maka sebetulnya kita dapat melakukan forensik komunikasi atas praktik post-truth. Ada makna dan motivasi apa di balik tanda-tanda (signs) yang dipakai dalam wacana post-truth? Teori dan metode analisis wacana bisa sangat membantu untuk melakukan forensik komunikasi ini. Lebih dari itu, jika forensik komunikasi yang kita lakukan juga menggunakan teori kritis (critical theory) niscaya kita dapat melihat ideologi dan atau kekuatan apa (siapa) di balik pesan verbal dan non-verbal di balik suatu wacana post-truth.
Science communication
Satu disfungsi yang sangat mendasar dari post-truth ialah hilangnya kesejatian. Dalam aspek isi (content), post-truth bisa mengaburkan bahkan menghilangakan kesejatian informasi. Jika post-truth dilakukan oleh jurnalis, khalayak menjadi tidak tahu kejadian sebenarnya. Kalau yang melakukannya peneliti, pembaca bisa mempertanyakan apakah laporan yang ditulis peneliti itu history ataukah his story atas objek penelitiannya.
Andaikan ilmuwan atau akademisi melakukan post-truth, teori-teori yang disusunnya akan kehilangan objektivitasnya dalam arti tidak bisa diverifikasi ulang. Paradigma ilmu pun bisa berubah menjadi dogma keyakinan. Bilamana post-truth itu dilakukan oleh pejawat beserta pengikutnya dan atau penantang berserta pendukungnya, kita bisa kehilangan kesejatian dalam memilih pemimpin; yang akibatnya bisa fatal pada kehidupan sosial masyarakat yang dipimpinnya.
Untuk itulah kita perlu hidupkan kembali science communication. Dalam arti praktis, science communication berarti mengomunikasikan ilmu atau teori atau hasil penelitian melalui berbagai metode dan media.
Sebagai anti tesis dari post-truth, science communication juga bisa diartikan sebagai sebuah strategi bahwa saat berkomunikasi (membuat Discourse dengan D besar) hendaknya kita menyampaikan suatu topik pembicaraan sesuai dengan teori, penalaran topik pembicaraan tersebut. Dengan memakai empat komponen utama science communication: data (bukan asumsi), analisis kausalitas (bukan klaim), interpretasi (bukan pembenaran), dan kesimpulan (bukan evaluasi) kita imbangi bahkan kita eliminasi post-truth. Kita raih kembali kesejatian informasi dan kehidupan sosial kita.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved