Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Politik, Policy, dan Polisi

Lasarus Jehamat Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
01/7/2017 00:22
Politik, Policy, dan Polisi
(MI/DOK POLDA METRO JAYA)

PERINGATAN Hari Bhayangkara, 1 Juli, tahun ini menuntut banyak pihak di negeri ini untuk kembali berpikir tentang posisi dan peran polisi di masyarakat. Hal iu terutama mesti dilakukan ketika elite negara saat ini gencar mengembuskan isu penahanan anggaran bagi kepolisian lantaran polisi dinilai tidak mengindahkan perintah DPR untuk menghadirkan Miryam Haryani ke gedung parlemen. Editorial MI (22/06) menyebutkan polisi terpaksa dibawa masuk ke arena politik karena Panitia Hak Angket DPR RI, entah lupa atau bahkan tidak tahu, fungsi dan peran polisi dalam menangani sebuah kasus kriminal. Kapolri terang menjelaskan menghadirkan Miryam Haryani ke gedung parlemen bukan urusan hukum.

Benar bahwa komisi yang memanggil tahanan KPK itu ialah komisi politik dan hukum DPR RI. Meski demikian, asas pro justiciar yang dianut sistem hukum kita berikut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jelas melarang polisi untuk masuk ke wilayah politik. Dengan demikian, keinginan politisi Senayan untuk memaksa kehendak kepada polisi dalam kasus Miryam Haryani patut disesalkan dan laik digugat. Saya tidak sedang mempersoalkan kapasitas anggota dewan di kasus ini. Yang sering menjadi perbincangan masyarakat ialah bukankah lembaga kepolisian menjadi mitra kerja Komisi III DPR RI? Pertanyaan bernada interogatif sering dilontarkan masyarakat dalam banyak kesempatan. Termasuk proses pemilihan calon Kepala Kepolisian RI. Sebab, yang melakukan uji kelaikan dan kepatutan terhadap calon pimpinan Polri ialah Komisi III itu. Lalu, bukankah Komisi III dipenuhi kaum melek hukum dan sadar politik?

Tulisan ini ingin menjelaskan polemik dan kekisruhan jagat politik Tanah Air. Alasannya, anggota parlemen sudah sampai pada mengancam untuk membekukan anggaran bagi kepolisian jika tidak mengikuti kehendak mereka. Hemat saya, inilah contoh dagelan yang sungguh tidak lucu. Tidak lucu karena ancaman seperti itu justru dikeluarkan komisi yang membidangi politik dan hukum di lembaga terhormat, legislatif. Bacaan saya menunjukkan politisi Senayan memang tahu esensi politik dalam arti luas. Bahwa politik ialah mekanisme perumusan kebijakan (policy) dalam pengertian yang luas. Di sana, politisi paham benar bahwa politik tidak identik dengan cara mendapatkan kekuasaan semata.
Masalahnya, politisi sulit membedakan mana wilayah politik dan mana arena kebijakan. Benar bahwa kinerja polisi sangat bergantung pada dua aspek itu; politik dan kebijakan. Meski demikian, harus dipahami pula bahwa dua hal itu harus dibedakan meski sulit dipisahkan. Kinerja polisi disebut berkualitas jika ada kebijakan politik yang mendukung berbagai program yang dibuat polisi secara kelembagaan. Maka, ketika DPR mencampuradukkan urusan politik dengan kebijakan bersama dalam diri polisi, yang salah bukan polisi, melainkan politisi.

Kuasa kekuasaan
Dalam Political Power And Social Theory, Davis dan Go (2009) mengingatkan persoalan kekuasaan terbentang mulai hegemoni negara, kekuasaan kelas, ideologi pemerintah, hingga soal kewarganegaraan. Dua term yang paling dominan muncul di sana ialah kekuasaan kelas-kelas tertentu dan class action sendiri. Ketika wakil rakyat mengasosiasikan diri sebagai kelompok pemilik kekuasaan, sebagai wakil rakyat, melalui berbagai mekanisme politik di lembaga perwakilan, mereka seakan mau mengadakan class action untuk dan atas nama kekuasaan. Wakil rakyat berasumsi karena mewakili rakyat, mereka boleh melakukan apa pun untuk tujuan kekuasaan.

Karena realitas politik sering menampilkan fakta dominannya kelas yang berkuasa dalam setiap pengambil keputusan politik, oleh Deese (2008), realitas seperti itu hanya dapat dijelaskan sejauh memahami transaksi politik. Transaksi yang dimaksud ialah soal harapan dan kenyataan yang terjadi dalam sebuah sistem kekuasaan.
Kepentingan harus disebut di sana sebab setiap keputusan wakil rakyat selalu saja dilandasi kepentingan, lepas dari apa dan berapa jenis kepentingannya. Dalam World Trade Politics: Power, Principles, and Leadership, Deese menyebutkan setiap pemangku kekuasaan selalu berurusan dengan kepentingan. Itulah alasan mengapa kemudian Weir dan Beetham (1999) mengingatkan sejak lama kepada pemangku kekuasaan dan rakyat kebanyakan akan mekanisme kontrol atas kekuasaan. Dalam Political Power and Democratic Control in Britain, Weir dan Beetham menjelaskan kekuasaan itu memang cenderung menunjukkan wajah dominatifnya jika tidak dikontrol. Kekuasaan akan cenderung menampilkan diri sebagai pemilik sah kekuasaan jika tidak memahami esensi keterwakilan dalam model politik representasi.

Ego kepentingan
Jika ancaman dewan terkait dengan anggaran bagi kepolisian dan KPK dibaca, sulit untuk tidak mengatakan dewan memang merasa diri sangat hebat dalam kasus ini. Dewan jelas memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki itu sengaja diperlihatkan agar rakyat dapat mengatakan memang mereka wakil rakyat.
Dewan lupa bahwa rakyat Indonesia saat ini sudah semakin cerdas. Rakyat sudah cerdas membaca mana urusan untuk rakyat dan mana soal pribadi yang terus diusahakan mereka yang disebut wakil itu di Senayan.

Ketika wakil rakyat kencang mewacanakan pembekuan anggaran bagi kepolisian karena polisi tidak mengikuti kehendak hati wakil rakyat, wakil rakyat yang sama berpikir bahwa rakyat pasti ada di belakang mereka. Anggota dewan lupa bahwa rakyat sudah paham benar akan tugas KPK saat ini; yang tengah membidik anggota Dewan yang korup yang disebut Miryam Haryani dalam kasus KTP-E. Dewan rupanya tidak ingat bahwa saat ini rakyat selalu berdiri di belakang polisi karena beragam terobosan penting Polri terkait dengan usaha memberantas penyakit kronis, korupsi, yang masih mewabah di tanah ini.

Rakyat jelas lebih mendukung program Polri terkait dengan isu dan masalah terorisme dan perpecahan bangsa saat ini. Dengan kata lain, rakyat tidak bodoh-bodoh amat untuk menilai ancaman beberapa orang di Komisi III DPR RI ialah bagian dari proses pengamanan kepentingan diri dan kelompok dewan secara parsial.
Pembekuan anggaran untuk KPK dan kepolisian secara bersamaan jelas akan berdampak pada banyak hal dan menjalar ke semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini yang tidak dipikirkan anggota dewan yang amat terhormat itu.

Yang pasti, pembekuan itu, jika benar dipaksakan, akan mengganggu program pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilaksanakan KPK. Di sisi lain, program pemberantasan terorisme yang menjadi perhatian tidak saja Polri tetapi juga dewan sebagai representasi rakyat akan terbengkalai. Lalu, mengapa nian ancaman itu diembuskan? Hemat saya, jawabannya hanya terletak pada kepentingan kekuasaan dari kelompok berkuasa seperti dipaparkan Davis dan Go. Untuk mencapai tujuan kekuasaan, kelas berkuasa jelas mau meningkatkan posisi tawar politik. Itulah alasan mereka melakukan class action secara terbalik. Class action dilakukan kepada KPK dan polisi secara kelembagaan. Masalahnya, tawar menawar politik terlampau kental di sana.

Dibutuhkan usaha semua pihak untuk mengontrol kerja anggota dewan. Dewan memang amat berkuasa. Karena kekuasaan, anggota dewan bisa melakukan apa pun untuk melemahkan kerja progresif KPK dan polisi. Semua pihak harus sama-sama berdiri dan meneriakkan dewan harus kembali ke jalan yang benar. Polisi telah dituntun untuk hanya melakukan kerja keamanan negara. Maka, jangan sekali-kali menarik polisi ke ruang politik untuk dan atas nama keangkuhan dan keegoan diri kelambagaan. Selanjutnya, biarkan KPK terus melakukan kerja progresif pemberantasan korupsi, termasuk di lembaga perwakilan rakyat di Senayan. Dengan itu, dewan tidak saja diakui sebagai lembaga yang menghormati kerja masing-masing lembaga, tetapi juga diakui sangat paham posisi dan peran dewan berikut KPK dan polisi. Maka, jangan pernah lupa politik itu memang berurusan dengan kebijakan, tetapi harus pula diingat keduanya jelas berbeda.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya