Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
INDONESIA boleh berbangga diri dengan perolehan satu medali emas dan dua medali perak di ajang Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang digelar di Brasil pada Agustus lalu. Namun, di balik euforia peningkatan prestasi di Olimpiade tersebut, masih tersimpan masalah-masalah yang mengakar yang jika disepelekan akan mempengaruhi prestasi Indonesia di masa depan.
Masalah tersebut tidak lain ialah regenerasi atlet yang terhambat. Mengapa demikian? Lihatlah kesuksesan pasangan pebulu tangkis Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan peraih medali perak angkat besi Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni. Meski sukses menyumbangkan emas, mereka merupakan atlet senior yang sudah sering mengikuti kejuaraan internasional.
Eko, misalnya, sudah tiga kali tampil di Olimpiade, yakni sejak Olimpiade Beijing 2008. Begitu pula dengan Liliyana yang juga sudah tiga kali berlaga di event olahraga sejagat itu.
Saat ini, atlet-atlet muda Indonesia belum ‘unjuk gigi’ di ajang internasional. Hal itulah yang menjadi sorotan anggota Komisi X DPR RI Yayuk Basuki.
“Yang perlu kira pikirkan sekarang ini ialah realita dan kondisi bahwa kita memang kekurangan kader alias regenerasi kita masih terhambat. Alasannya pun klasik terkait dengan dana yang kurang mencukupi. Bahkan, atlet bulu tangkis yang memiliki sponsor tetap saja, prestasi atlet muda mereka tidak sebanding dengan dana yang sudah dikeluarkan,” ujar Yayuk kepada Media Indonesia, kemarin (Kamis, 8/9).
Menyoal regenerasi atlet, peranan Komite Olahraga Nasional Indonesia menjadi titik utama kemunculan atlet-atlet muda berprestasi yang kelak dapat menjadi atlet elite Indonesia. Pasalnya, KONI-lah yang berperan langsung dalam pembinaan para atlet dengan bekerja sama dengan pengurus pusat/pengurus besar cabang olahraga.
Ratu tenis Indonesia di era 1990-an tersebut pun berharap KONI harus bisa menjalankan peranan mereka dengan baik dan itu tidak bisa dilakukan sendirian.
Menurut politikus Partai Amanat Nasional tersebut, semua stakeholder olahraga, seperti Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Satlak Prima, KONI, dan juga Kementerian Pemuda dan Olahraga harus bersinergi untuk memikirkan masalah pembinaan tersebut.
“Yang saya lihat sekarang semua berjalan sendiri-sendiri, saya tidak melihat ada komunikasi di antara mereka. Walaupun persiapan atlet utama memang dipegang Satlak Prima, akar pembinaan itu ada di KONI yang seharusnya bekerja sama dengan PB sehingga jelas harus ada sinergitas antara mereka, tetapi itu enggak berjalan,” tukas Yayuk.
Terkait dengan masalah pembinaan, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Rosan Perkasa Roeslani berpikir serupa. Menurut Rosan, para pemangku kepentingan saat ini selalu berpikir instan.
“Pendanaan dan program baru dibuat dekat-dekat pertandingan, padahal Indonesia mengincar medali. Uuntuk bisa menciptakan atlet yang lebih berprestasi, dibutuhkan waktu minimal 8 tahun,” ujar Rosan.
Rosan pun berharap program, uji coba, dan pelatihan keluar negeri harus disusun sejak sekarang jika Indonesia memang ingin berbicara di ajang internasional. Apalagi di masa depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah di ajang Asian Games 2018, dan Olimpiade 2020 di Tokyo. “Khususnya masalah anggaran saya harapkan turun lebih tepat waktu,” imbuh Rosan.
Fasilitas memadai
Selain masalah regenerasi atlet, fasilitas, sarana, dan prasarana latihan pun masih kurang memadai. Hal itu sering dikeluhkan para atlet yang tengah mempersiapkan pemusatan latihan.
Eko Yuli Irawan, contohnya, atlet angkat besi tersebut mengaku kesal karena tempat latihan mereka di kawasan Stadion Gelora Bung Karno harus dibongkar demi kepentingan penyelenggaraan ASian Games 2018. Padahal, waktu itu persiapan hanya tersisa waktu beberapa bulan menjelang Olimpiade.
Tak hanya masalah fasilitas, Eko pun mengeluhkan masalah suplemen yang masih belum mencukupi. “Kalau masalah akomodiasi sudah mulai baik, tetapi belum cukup dan kalau masalah suplemen masih belum layak buat kami. Bahkan, angkat besi masih harus mencari tambahan suplemen sendiri karena suplemen yang disediakan Satlak tidak sesuai kebutuhan,” jelas Eko.
Hal senada ditegaskan mantan pebulu tangkis Maria Kristin. Menurut dia, banyak atlet berbakat dari berbagai daerah yang tersebar. Tinggal bagaimana kita menjaga bakat-bakat itu tersebut dan memolesnya secara konsisten.
“Masalah kita selama ini sebenarnya sudah tergolong klasik, yakni dana. Karena itu, jika kita bisa belajar dari pengalaman tersebut, seharusnya tidak ada lagi persoalan tersebut,” ujarnya.
Ia juga meminta semua pihak bekerja sama, duduk bersama membahas masalah tersebut. “Sebagai mantan atlet, saya tentu tahu betul bagaimana persoalan dan masalah-masalah yang mereka hadapi. Jadi jangan biarkan para atlet terbebani lagi dengan persoalan-persoalan dana, peralatan, dan sebagainya,” ujarnya. Tugas atlet, lanjut Maria, hanya berlatih sebaik-baiknya dan kemudian meraih prestasi setinggi-tinggi. (Mag/S-25)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved