Kembalinya Sentra Batik di Gunungkidul

Furqon Ulya Himawan
23/12/2015 00:00
Kembalinya Sentra Batik di Gunungkidul
Perajin batik(Antara)

INSIATUN, 16, perempuan tamatan SMP, bermimpi bisa melanjutkan sekolah lagi. Namun, warga Dusun Hargosari, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu tidak bisa bersekolah lantaran alasan ekonomi.

Selain itu, ia tinggal di daerah perbatasan DIY dengan Kabupaten Klaten, yang jauh dari sekolahan. Daerah tempat tinggalnya penuh perbukitan kapur dan sulitnya transportasi.

Keinginan Insiatun bersekolah lagi terkabul setelah ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di SMK Negeri 2 Gedangsari, dua tahun lalu. Kini siswa kelas 2 SMKN 2 Gedangsari itu bisa melanjutkan mimpi yang tertunda.

Problem putus sekolah juga terjadi pada teman-teman sebaya Insiatun. Namun, dengan beasiswa pendidikan, teman-temannya bisa melanjutkan sekolah di SMKN 2 Gedangsari, Gunungkidul. Intan Purnama Sari dan Mega Anjaswati, dua teman Insiatun, kini bersekolah di SMKN 2 Gedangsari jurusan tata busana.

Pelajaran membatik
SMKN 2 Gedangsari merupakan sekolah kejuruan yang berlokasi di pinggiran, perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Tepatnya terletak di Dusun Candi, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY.

Sekolah tersebut mengembangkan pelajaran membatik menjadi unggulan pada jurusan tata busana. Para guru mengajari mulai membuat batik, mendesain baju batik, hingga memasarkan hasilnya.

Materi pendidikan membatik dari hulu ke hilir itu menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY. Kepala Disdikpora DIY Kadarmanta Baskara Aji, sekaligus pemangku tanggung jawab pendidikan di DIY, mengungkapkan asal usul muatan lokal batik di SMKN 2 Gedangsari berawal dari daerah itu dulunya merupakan sentra batik.

Mayoritas penduduknya ialah pembatik. Bahkan ada warga yang memiliki kerajinan batik atau sebagai buruh batik. Namun, seiring berlalunya waktu, banyak perajin batik gulung tikar. Para buruh pun memilih pindah ke kota atau bekerja di sektor lain. "Dari situlah kami kembangkan sekolah berbasis batik dan menjadikan Gedangsari sebagai sentra batik di Gunungkidul," jelas Baskara.

Cerita Baskara diamini Hartini, 62, pembatik asal Gedangsari. Sejak muda ia telah bekerja sebagai pembatik. Menurutnya, saking banyaknya pembatik di kampung halamannya, para pekerja asal Gedangsari pun rela menjadi pembatik di Klaten.

Kondisi itu berbeda dengan saat ini. Desa Gedangsari kini tidak memiliki pembatik. Hartini pun sudah meninggalkan profesinya sebagai pembatik. Anak-anaknya pun tidak bisa membatik dan bekerja di luar daerah.

Cerita Baskara Aji diamini Hartini, perempuan berusia 62 tahun yang sejak kecil tinggal di Gedangsari. Masa muda Hartini ialah seorang pembatik. Banyak warga yang berprofesi sebagai pembatik di daerahnya, Dusun Hargosari, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul.

Saking banyaknya, mereka sampai ada bekerja sebagai pembatik ke Klaten, Jawa Tengah, yang berbatasan dengan daerahnya.

Kondisi itu berbeda 180 derajat dengan sekarang, pembatik sudah tidak ada. Hartini pun sudah lama meninggalkan profesinya sebagai pembatik , bahkan anaknya sendiri tidak bisa membatik dan harus pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan lain.

Putusnya generasi pembatik dan hilangnya sentra batik di Gedangsari mendorong Disdikpora DIY untuk menjadikan SMKN 2 sebagai kawah candradimuka bagi para pembatik generasi baru.

Bersama dengan Yayasan Pendidikan Astra Michael D Ruslim (YPA-MDR), dibuatlah terobosan pembangunan gedung baru untuk mewadahi para siswa agar terampil membatik.

"YPA-MDR membangunkan gedung baru SMKN 2 Gedangsari untuk program keahlian busana butik dan mengasah keterampilan membatik, mulai membuat batik, mendesain, hingga memasarkannya," jelas Baskara Aji.

Kepala SMKN 2 Gedangsari Sudaryono menambahkan gedung baru SMKN 2 Gedangsari jurusan tata busana diresmikan pada Maret lalu. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Gubernur DIY Sri Sultan HB X turut hadir dalam peresmian gedung baru bantuan YPA-MDR.

Sri Sultan HB X pun telah menetapkan Gedangsari sebagai sentra batik di Gunungkidul dan SMKN Gedangsari menjadi kuncinya.

YPA-MDR membiayai pembangunan gedung SMKN 2 Gedangsari senilai Rp14,9 miliar. Pembangunan gedung baru itu juga menjadi jawaban kebutuhan masyarakat tentang pemerataan pendidikan. Apalagi siswa selama ini harus berjalan kaki ke sekolah sekitar 1 jam dengan menempuh jarak 10 km.

Gedung sekolah program tata busana butik dibangun di atas tanah seluas 3.078 m2 dengan luas bangunan dua lantai 2.697 m2. Isi bangunan terdiri dari ruang kantor, ruang kelas, perpustakaan, ruang laboratorium komputer dan bahasa, ruang unit produksi dan teaching factory, ruang peragaan dan pameran, ruang unit pengembangan usaha, beranda batik dan musala. Selain membangunkan gedung sekolahan, menurut Sudaryono, YPA-MDR membina guru-guru di SMKN 2 Gedangsari khususnya untuk program keahlian tata busana batik.

Ketua Pengurus YPA-MDR Arietta Adrianti menjelaskan pendampingan pendidikan yang diberikan YPA-MDR di Gedangsari merupakan wujud komitmen Astra untuk meningkatkan mutu pendidikan. "Ini merupakan salah satu dari empat pilar tanggung jawab sosial perusahaan (CSR/corporate social responsibility) Astra, yakni pendidikan, lingkungan, UKM, dan kesehatan. Kami melakukan pendampingan pendidikan sejak 2007 mulai SD, SMP, hingga SMK," kata Arietta.

YPA-MDR memilih mengembangkan batik di SMKN 2 Gedangsari karena sesuai dengan potensi lokal daerah itu. Yayasan tersebut juga menyiapkan ruang teaching factory (tefa) di SMKN 2 Gedangsari agar para siswa yang sudah lulus bisa mendapatkan pembinaan lanjutan selama satu tahun di situ sebelum terjun ke sektor bisnis batik. (N-4)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya