LAMALERA sudah mendunia. Perkampungan nelayan di selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu dikenal karena aksi warga menangkap ikan paus secara tradisional.
Desa Lamalera A dan B ditinggali sekitar 2.000 jiwa. Secara administratif, keduanya berada di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata.
Bangunan rumah-rumah penduduk dibangun permanen di atas bebatuan cadas di kaki bukit. Pantainya ialah butiran halus pasir berwarna hitam pekat sepanjang 150 meter. Karang-karang dan bebatuan mengisi sebagian besar bibir pantai.
Sekitar 30 rumah perahu beratap anyaman lontar yang disangga tiang kayu bulat berderet rapi. Tanpa dinding, rumah perahu atau peledang yang juga disebut naje menjadi tempat melakukan berbagai aktivitas. Di situ, warga menganyam berbagai kerajinan dari daun lontar, membuat tali-temali untuk alat tangkap, dan membuat sampan yang digunakan untuk menangkap ikan-ikan kecil.
Naje juga menjadi tempat istirahat di siang hari, kala terik matahari menyengat. Tiupan angin Laut Sawu acap kali membuat mata sulit terbuka.
Berburu paus atau lefa tidak berlangsung sepanjang tahun. Ada musim istirahat atau lefa bogel. Pada masa tersebut nelayan mencari ikan-ikan kecil.
Kepala Bidang Kepariwisataan, Dinas Pariwisata Lembata, Toni Lebuan menyatakan Lamalera sudah menjadi lokomotif untuk menggerakkan sektor pariwisata. "Wisatawan domestik dan mancanegara datang ke Lamalera untuk menikmati perburuan paus dan tradisi yang mengiringinya.
"Selain tradisi turun-temurun itu, pilihan wisata lain ialah tur tenun ikat asli Lamalera dan penyelaman untuk menyaksikan moleknya ikan mola-mola. Upacara Pada 2 Mei lalu, lefa dimulai. Musim bertarung dengan mamalia raksasa itu berlangsung selama enam bulan, dari Mei hingga Oktober. Pada saat itu, paus bermigrasi dari laut di Australia mencari air yang lebih hangat di laut tropis.
Musim lefa diawali serangkaian ritual adat yang harus dilakukan. Masyarakat Lamalera meyakini segala perjuangan mencari nafkah, mencari makan, harus dilakukan dengan hati yang bersih. Upacara tobu neme fate pun digelar.
Upacara diikuti tiga bersaudara yang sudah beranak-pinak menjadi suku Bataona, Blikololong, dan Lewotukan. Peserta lain ialah tuan tanah dan nelayan.
Dalam upacara itu, semua hal yang berkaitan dengan suku, tuan tanah, dan masalah-masalah dalam kampung dibicarakan. Semua diselesaikan saat itu.
Acara selanjutnya ialah ie gerek atau memanggil roh ikan paus di batu paus, sebuah batu besar yang berbentuk ikan paus.
Seluruh ritual adat diakhiri dengan misa pembukaan musim lefa, di kapel kecil Santo Petrus yang terletak di Pantai Lamalera. Dalam misa, lamafa atau pemburu paus, peledang, dan peralatan tangkap diberkati pastor yang memimpin misa.
Pada hari pertama musim lefa, satu peledang melakukan janji bertemu di laut, yang oleh warga dianggap pasar, tempat bertemu dengan ikan paus. Sehari sebelumnya di kapel yang sama, dilakukan misa arwah mengenang semua nelayan Lamalera yang meninggal di laut. Misa arwah ditutup dengan mengarungkan karangan bunga dan lilin yang menyala ke Laut Lamalera. Janda dan yatim piatu Pagi baru muncul di ufuk, ketika semua awak peledang yang berjumlah 7-11 orang bersiap di posisi masing-masing. Hening sesaat untuk berdoa.
Di akhir doa, percikan air berkat oleh lamafa ditebar ke semua awak dan badan peledang.
Sebagai penganut agama Katolik, nelayan Lamalera mengawali seluruh pekerjaan hari itu dengan memohon berkat dan perlindungan Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Peledang lalu didorong perlahan di atas balok-balok kayu yang sudah disusun. Para awak sigap meraih dayung, sambil berucap 'hilibe, hilibe, hilibe', keras kompak dan menghentak. Proses perburuan ikan paus pun dimulai.
Tempuling atau alat tikam yang dilengkapi tali panjang dan bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam disiapkan. Setelah menyerahkannya ke lamafa, awak peledang berdoa lagi. Tak semua jenis ikan paus menjadi incaran nelayan Lamalera. Buruan satu-satunya ialah ikan paus sperma atau Physeter macrocephalus alias koteklema.
Sebenarnya ikan paus biru atau Balaenoptera musculus atau kelaru juga sering berlalu di laut tersebut. Namun, paus terbesar itu tidak pernah diburu dan secara turun-temurun diharamkan untuk ditangkap.
Di laut, saat paus terkena tempuling, mereka tidak langsung menyerah. Dalam kondisi terluka, mereka melawan dengan mengibaskan ekor ke arah perahu. Acap kali perahu juga ditarik ke dalam laut. Ada risiko kematian, cacat, atau perahu yang hancur berkeping-keping.
Tak hanya paus biru yang diharamkan untuk ditangkap. Ikan yang sedang hamil juga tidak ditikam. Bayi-bayi paus juga dibiarkan pergi meski sudah berada di depan mata.
Berhasil menaklukkan ikan raksasa, tugas sudah tuntas. Mereka bisa pulang dengan membawa hasil yang bisa dinikmati seluruh warga kampung.
Kebahagiaan nelayan itu diungkapkan dalam syair-syair lagu adat yang disebut lie. Sebuah bendera putih kecil di ujung tiang layar akan dikibarkan sebagai tanda. Sebaliknya, jika yang tampak adalah bendera hitam, artinya ada korban jiwa dari pertarungan memburu ikan paus. Sesuai adat yang ditaati turun-temurun, hasil perburuan dinikmati semua orang. Janda dan anak yatim piatu mendapat jatah tersendiri.
"Tradisi ini tidak boleh hilang. Saat melihat ikan paus, kami mengucap janji bahwa ikan yang dibawa pulang ialah untuk memberi makan para janda dan yatim piatu," ungkap Yohanis Wurin, 60, seorang lamafa.
Bagi yang tidak ikut melaut, sepiring jagung bulat yang sudah dipipil bisa ditukarkan dengan dua potongan daging dan kulit ikan paus.
Hasil laut itu juga dibawa kaum perempuan ke wilayah pegunungan. Mereka membarternya dengan jagung, beras, atau ubi.
Dulu, para perempuan harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Kini barter lebih mudah karena sudah ada kendaraan.
Malam hari, Pantai Lamalera ialah debur ombak Laut Sawu yang tidak pernah berhenti. Kaum muda Lamalera berkumpul saat bulan terang, di atas pasir hitam pantai.
Di antara deburan ombak, lapat-lapat terdengar senandung pulang sang lamafa. 'Sora taran bala tala lefo rai tai/Tuba bera rainai ribu lefo gole/Kide ina-fai tuba bera rai nai', yang berarti Kerbau yang bertanduk gading/Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana/Seluruh masyarakat merindukan kehadiranmu/Ayo, segeralah kita ke sana. Lantunan itu mengiringi helaan seekor ikan paus berukuran 15 meter. Ia akan memberi makan tidak hanya warga Lamalera, tetapi juga warga Lembata. (N-3)