UPAYA melanggengkan tradisi perburuan ikan paus atau lefa di Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menjadi tema sentral dialog, awal November lalu. Pesimisme pun muncul.
Ada pertarungan egoisme antara perbaikan taraf hidup warga dan upaya melanggengkan aspek sosiologis, filosofis, ekonomi, dan budaya yang melingkupi tradisi unik itu. Kesepakatan pun muncul saat semua bersuara bahwa tradisi harus dipertahankan. Orang Lamalera pun berikhtiar untuk bersatu kembali.
Poros Photo Jogjakarta, lembaga yang peduli terhadap tradisi dan budaya masyarakat lokal, menginisiasi diskusi malam itu. Bertempat di aula Yayasan Bina Sosial milik Markus Sidu Batafor, sesepuh orang Lamalera di Lewoleba Arnold Simanjuntak dan Ides dari Poros Photo Jogjakarta, menampilkan video dan foto yang menggambarkan fakta tanda-tanda keruntuhan budaya menangkap ikan paus yang termasyhur itu.
"Anak-anak sekarang tidak memiliki spirit menjadi matros atau nelayan apalagi mendalami budaya menangkap ikan paus. Lefa ialah 'ibu' yang harus memberi makan tidak hanya orang Lamalera, tetapi juga desa-desa di Lembata," ujar Arnold.
Tujuan penelitian yang ia lakukan ialah menggali kearifan lokal, sebagai bahan mendukung kebijakan pemerintah, sehingga memberi manfaat bagi levo (kampung) Lamalera.
Temuan Arnold dan Ides memperlihatkan banyak tradisi yang mengiringi lefa yang hilang.
Tobo neme vata, misalnya, salah satu ritual menuju perburuan mamalia raksasa itu, sudah tidak dilakukan lagi.
Ritus itu menghadirkan tetua adat dan tuan tanah yang menasihati para matros atau nelayan tentang bagaimana menikam ikan yang benar, mendayung peledang (kapal), serta merefleksikan perjalanan hidup para pemburu ikan sebelum melaut.
Saat berburu pun, nelayan Lamalera kini sudah menggunakan jonson, perahu yang dipasangi mesin dengan kekuatan 15 PK.
Saat paus sudah di tangan, aksi sosial memberikan potongan daging ikan paus kepada janda dan yatim piatu kerap diabaikan.
"Rokok lebih dipilih menjadi barang barter. Sikap egoisme dan apatisme terhadap upaya memajukan kesejahteraan warga, baik oleh pemerintah maupun swasta, semakin tidak terkendali, bahkan memunculkan permusuhan di antara warga Lamalera," ujar Arnold. Terkikis Petrus Boliona Keraf, mantan penjabat Bupati Lembata, yang juga putra Lamalera, menyatakan peledang merupakan perahu persekutuan warga. Tidak sekadar sarana tangkap, peledang itu menjadi alasan persatuan seluruh warga suku.
"Butuh banyak biaya dan tenaga guna menyelesaikan ritual pembuatan peledang Lamalera. Sangat tidak dibenarkan memburu ikan paus dengan perahu bertenaga mesin. Penggunaan perahu bermotor ini menghilangkan semua mantra dalam syair penuh makna sejak menaikkan layar, hingga mendekati ikan paus sampai kembali ke bibir pantai," ujar Petrus.
Pemuda Lamalera, Bosko Bataona, mengakui perkembangan zaman dan tuntutan hidup layak memaksa nelayan Lamalera mengikuti pergeseran itu. "Kami sudah terjebak dan masuk jurang akibat pengaruh globalisasi. Orang tidak peduli tradisi. Kami hanya tangkap ikan paus dan menjual hasilnya. Ritus tidak masuk hitungan lagi.''
Bataona masih ingat penggunaan mesin pada peledang terjadi sejak 2007 dan terus berkembang hingga saat ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, 17 peledang melaut masih dengan dayung.(Alexander P Taum/N-3)