MODERNISASI memberi banyak kemudahan. Semua dimudahkan dan orang tak lagi bersusah-payah mengeluarkan waktu dan tenaga untuk melakukan sesuatu. Tradisi pun terkikis. Itu pula yang terjadi dengan lefa, tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera. Modernisasi telah menawarkan pada generasi saat ini untuk tidak perlu mendayung peledang. Cukup dengan mesin tempel saja, peledang atau perahu nelayan mampu bergerak ke tengah lautan. Johnson--sebutan masyarakat Lamalera untuk sampan besar yang dilengkapi mesin temple--sudah banyak yang digunakan untuk melaut.
"Terus terang, kondisi ini membuat kami khawatir dengan tradisi yang selama ini kami pertahankan. Anak-anak muda sekarang tidak mau lagi dayung. Hampir semua perahu punya motor tempel karena mereka malas mendayung," ungkap Yohanis Wurin, 60, seorang lamafa atau pemburu paus, akhir pekan lalu. Beberapa nelayan generasi tua juga gelisah. Untungnya, kata Yohanis, saat melihat ikan paus, dalam jarak beberapa meter, mesin tempel harus dimatikan dan peledang harus didayung mendekati ikan paus, sebab ikan tersebut sangat sensitif dengan bunyi-bunyian.
"Saat melihat ikan paus, hanya peledang saja yang bisa mendekat dan menikam dalam jarak dekat. Tanpa motor tempel," tegasnya. Seiring dengan kemalasan mendayung, kata penyemangat hilibe... hilibe tidak lagi terdengar. Nyanyian lie yang memecah debur Laut Sawu, sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia karena mendapat hasil tangkapan, juga menghilang.
Tinggalkan ritual Yohanis pun menggelengkan kepala berkali-kali. Banyak ritual kecil yang juga hilang pada generasi ini. Tidak itu saja. Yang lebih mencemaskan Yohanis, nilai sosial dari penangkapan ikan paus ikut tergerus. Dengan peralatan modern yang harus dibeli dengan uang, hitungan ekonomi untuk mengembalikan modal pun terbenam di kepala. Untung, rugi, banyak, dan sedikit menjadi pertimbangan ketika seekor paus mulai dipotong dan dibagi.
"Kondisi ini mengancam tradisi yang mengharuskan adanya jatah untuk para janda, yatim piatu, dan warga levo (kampung) yang bisa ikut menikmati hasil tangkapan dengan menukarkan sepiring jagung bulat," tambah Petrus Boliona Keraf, tokoh warga Lamalera. Berburu paus di laut dengan mengeluarkan banyak biaya, mulai bahan bakar minyak hingga pembelian mesin tempel, mengharuskan para pemburu berpikir ekonomi. Lebih untung menjual hasil tangkapan dalam rupiah daripada menukarkannya dengan sepiring jagung.
Toni Lebuan, Kepala Bidang Kepariwisataan, Dinas Periwisata Kabupaten Lembata, pun merasakan kegelisahan yang sama. "Dinas Pariwisata Lembata sedang mendorong penguatan kapasitas bagi pranata sosial tradisional guna mengatasi pergeseran harmonisasi di kalangan masyarakat. "Sejak menjadi daerah tujuan wisata, banyak wisatawan datang ke Lamalera. Banyak warga Lamalera pun berusaha mencari keuntungan secara pribadi. Mereka seolah-olah lupa bahwa ada pranata sosial tradisional yang mengurus ritus ini sebelum lefa nuang (musim berburu), lefa (saat berburu), hingga proses penetang (barter). "Untuk mengatasi pergeseran harmonisasi hidup ini, kami berusaha mendudukkan semua orang Lamalera dalam sebuah forum, membicarakan dan menemukan solusi atas masalah yang terjadi," tambah Toni.