Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
IMPITAN ekonomi tinggal di kota besar, sebuah keluarga terpaksa menumpang di pos keamanan yang tidak jauh dari Kantor Dinas Sosial Kota Bandung di Jalan Sindang Sirna. Jangankan mampu menyewa rumah kontrakan, untuk makan sehari-hari pun mereka mengharap dari belas kasihan orang.
Didi Kardian, 52, kepala keluarga tinggal bersama istrinya, Yayah, 53, dan kedua anaknya Ade Yadi, 28, serta Sandi Febriyana, 17, di bekas pos keamanan Perumahan Fatamorgana di Jalan Cipedes Tengah RT 7 RW 3, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung.
Saat ditemui di pos keamanan yang hanya berukuran 2 meter x 1 meter itu, Kamis (2/2), Yayah bersama Ade tengah tiduran di dalam pos karena keduanya tidak bisa banyak beraktivitas. Sudah setengah tahun ini, Yayah menderita stroke dan kesulitan berjalan, sedangkan Ade susah berjalan karena kaki kirinya sudah dua kali patah akibat kecelakaan bermotor tiga tahun lalu saat ia kerja sebagai buruh bangunan di Palembang.
Saat memasuki pos itu, di dalamnya tak ada satu pun barang mewah. Jangankan televisi sebagai sarana hiburan, radio kecil pun mereka tidak punya. Untuk tidur mereka pun, tidak ada sekat pemisah antara dinding di bangunan yang hanya terbuat dari tripleks dan terlihat sudah usang.
Mereka sudah menghuni pos keamanan itu selama 4 bulan terakhir setelah diusir pemilik kontrakan karena tidak bisa membayar uang sewa sebesar Rp350 ribu per bulan. Ironisnya, selama tinggal di tempat itu, mereka hanya dapat mandi dua bulan sekali karena di sana tidak ada sarana mandi cuci kakus (MCK). Untuk kebutuhan MCK, mereka harus menumpang ke musala.
Mirisnya lagi, tinggal di tengah-tengah kota yang banyak berdiri kokoh bangunan rumah mewah dan pertokoan, kehidupan mereka ternyata dipandang sebelah mata. Warga seolah tidak mau peduli dengan apa yang dialami warga miskin ini.
"Dulu ibu bekerja jadi pembantu rumah tangga sehingga masih bisa membiayai kontrakan rumah dan kebutuhan sehari-hari. Tapi dengan kondisi sekarang, saya enggak bisa berbuat apa-apa karena kalau cuma mengandalkan penghasilan suami dari sopir angkot nggak bakalan cukup, soalnya dia jadi sopir tembak," kata Yayah menceritakan kisahnya.
Sebenarnya, Didi dan Yayah masih punya tiga anak lainnya tetapi mereka tidak tinggal bersama dan harus berpindah-pindah menumpang di rumah orang lain karena ukuran tempat tinggalnya yang terlalu kecil.
"Bapak yang masih sakit-sakitan karena habis dioperasi suka menumpang tidur di kios yang berada di depan pos keamanan karena di sini tempatnya nggak cukup," bebernya.
Yayah kembali menceritakan, penghasilan Didi dari sopir tembak tidak menentu yang kadang sehari hanya mendapat Rp15 ribu hingga Rp20 ribu. Namun, penghasilan itu pun tak menentu, sebab Didi hanya menjalankan angkot jika memang ada mobil yang kosong.
Untuk menopang kebutuhan hidup, Sandi, anak yang masih bersekolah di SMA PGRI 1 Bandung kini menanggung hidup keluarganya dengan menjadi juru parkir, bergantian dengan Ade dibantu tongkat hasil pemberian dari seorang anggota TNI di sebuah minimarket yang tidak jauh dari pos kemananan yang mereka tempati selama ini.
"Hanya Sandi yang masih bersekolah, sementara adiknya Faisal Mail, 13, yang baru kelas 6 SD terpaksa putus sekolah karena kesulitan biaya dan sekarang dia bantu-bantu warga berdagang. Anak-anak saya lainnya juga enggak ada yang melanjutkan sekolah, Aldi Ramdan, 23, dan Diana, 19, hanya bisa tamat SMP," lanjut Yayah.
Menurut dia, kini Aldi tinggal di rumah temannya di Sarijadi dan kerja jadi kuli angkut sampah. Sementara Diana terakhir kali jadi penjaga toko tapi kini sudah berhenti bekerja dan tinggal di rumah temannya di sekitar Cipedes.
"Kalau nanti sudah punya tempat tinggal tetap, mungkin keluarga saya bisa kumpul lagi, jadi ibu enggak terus kepikiran sama anak-anak lagi. Tapi mana mungkin bisa punya tempat baru sedangkan saat ini saja hidup kami pas-pasan, untuk makan saja harus nunggu bapak atau anak-anak pulang kerja," tambah Yayah yang mengaku sehari hanya makan satu kali ini.
Sementara itu, Afnizar, 65, seorang pensiunan guru yang merasa iba berencana akan memindahkan keluarga itu ke tempat yang lebih layak yang tidak jauh dari tempat yang mereka tinggali saat ini. Yayah bersama keluarganya akan menempati rumah singgah yang difungsikan sebagai tempat penampungan bagi warga kurang mampu.
"Kebetulan anak-anak saya sudah pisah rumah, bapak sudah meninggal. Biasanya sih rumah ini digunakan untuk pasien yang berobat di RS Hasan Sadikin tapi sekarang lagi kosong, silahkan saja kalau mau ditempati," kata Afnizar seusai meninjau kondisi Yayah dan keluarganya.
Di tempat berbeda, Kepala Sekolah SMA PGRI 1 Bandung, Muslim Triaji Sundasyah menuturkan Sandi tidak masuk sekolah selama 10 hari karena terpaksa membantu orangtuanya bekerja jadi tukang parkir. Pihak sekolah sebelumnya tidak tahu dengan kondisi Sandi dan keluarganya.
"Kami cek ke rumahnya tapi menurut tetangganya sudah pindah. Setelah dicari-cari akhirnya kami tahu kalau keluarga itu tinggal di bekas pos keamanan. Sandi mengatakan kalau dia sudah malas sekolah dan hanya mau kerja karena nggak punya lagi sepatu, tapi terus kami bujuk dan membelikan sepatu baru sehingga akhirnya ia mau bersekolah lagi," terang Muslim saat ditemui di ruang kerjanya. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved