Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Menyandingkan Kekuatan Adat dan Legalitas Hutan

14/1/2017 10:05
Menyandingkan Kekuatan Adat dan Legalitas Hutan
(MI/TAUFAN BUSTAN)

SETELAH perjalanan 55 km dari Palu, Sulawesi Tengah, akhirnya saya bersama tiga rekan lain tiba di Dusun II Salubalimbi, Desa Lampo, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala.

Desa Lampo dan Dusun II Salubalimbi ialah potret menarik tentang kekuatan adat penghormatan hutan yang bersanding dengan pengakuan status hutan desa dari pemerintah. Perpaduan itu baru saja sah mereka capai tahun lalu.

Sebelumnya, meski telah turun-temurun memahami pentingnya keberadaan hutan, warga tidak punya cukup daya dan kuasa untuk melawan keinginan pihak luar yang ingin menguras sumber daya alam di sana. Mereka hanya berupaya terus menjalankan ritual-ritual adat. Salah satunya berupa permohonan izin kepada penunggu hutan dengan menggunakan sambulugana (terdiri atas pinang, siri, tembakau dan nasi) dan nogene-gene.

Pemikiran tentang perlindungan hutan secara legal baru mereka kenal secara perlahan pada 2010. Hal ini berlangsung dengan keterlibatan Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng yang mendampingi warga untuk memperoleh status hutan desa bagi wilayah mereka.

Perjalanan panjang untuk status tersebut diawali dengan proses pemetaan wilayah secara partisipatif. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif, luas wilayah Desa Lampo 852 ha, yang terdiri dari 376 ha kawasan hutan lindung dan 476 ha kawasan area penggunaan lain.

Sejalan dengan proses itu, warga mulai melakukan pembenahan lingkungan, salah satunya dengan penanaman puluhan ribu jenis pohon. Pada 2013, warga mendirikan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan mengurus administrasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada masa itu warga sudah berani menyatakan sikap atas upaya pemanfaatan lingkungan yang tidak lestari. Ketua RT Dusun II Salubalimbi, Ruspan ,34, menuturkan warga kompak menolak berbagai perusahaan yang ingin memanfaatkan sumber daya hutan mereka. “Semua yang datang kami tolak. Meski secara ekonomi menjanjikan, kami seluruh warga desa menolak. Kami takut jika nantinya perusahaan sudah masuk, pasti kami yang bermukim di desa ini yang menerima dampak jika ada musibah,” kata Ruspan.

Menurutnya, warga sudah memikirkan potensi bencana jika ratusan hektare hutan dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit. Apalagi, lanjut Ruspan, sumber air warga yang diandalkan dari aliran Air Terjun Pangasintoli akan hilang jika investasi tersebut benar-benar masuk.

Legalitas status hutan akhirnya didapatkan warga pada 5 Februari 2016. Pada tanggal itu diteken Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan tentang Penetapan Area Kerja Hutan Desa Lampo Seluas ±215 Hektare pada kawasan hutan lindung di Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

Status tersebut pun membangkitkan kesadaran lingkungan pada para petani yang bermukim di sekitar desa. “Sebelum ditetapkan sebagai hutan desa, kami sama sekali tidak tahu cara mengelola dan memanfaatkan hutan dengan baik. Yang kami tahu hanya mengambil saja apa yang ada di dalam hutan. Sekarang tidak ada lagi penebangan liar,” tutur warga Dusun II Salubalimbi, Cepi, Jumat (16/12/2016). Bapak dua anak yang telah berumur 48 tahun itu salah satu petani nilam yang bermukim di sekitar hutan Desa Lampo sejak enam tahun terakhir.

Pengelolaan terencana
Koordinator Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBN) YMP Sulteng, Edy Wicaksono, mengatakan berdasarkan keberadaan di dalam hutan lindung, pemanfaatan hutan desa oleh warga hanya hasil hutan nonkayu seperti bambu, rotan, madu, buah-buahan, aren (untuk pembuatan gula aren) serta jasa lingkungan seperti sumber air dan wisata.

Kajian YMP menemukan Hutan DESA Lampo menyimpan sejumlah fauna dan flora endemis, seperti burung rangkong (Buceros sp.), monyet hitam (Macaca nigra) dan pohon lekuto yang menjulang di bantaran sungai.

Selain itu, terdapat sumber air bersih yang ikut memasok kebutuhan Kabupaten Donggala dan air terjun yang bisa menjadi destinasi wisata. Segala kekayaan ini harus dikelola secara lestari.

Pentingnya pengelolaan hutan yang terencana juga disadari Kepala Bidang Pembinaan Hutan, Dinas Kehutanan Donggala, Rahmat Mirza Zulkifli. Ia mengatakan Pemkab Donggala melalui Dinas Kehutanan melakukan dialog secara formal dan informal untuk membicarakan apa kebutuhan warga dan apa yang harus dilakukan. “Setelah menggali mulai bawah, dinas kemudian membuat program untuk bisa memberikan dukungan maupun bantuan,” ujarnya. (TB/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya